Selasa (25/06), Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Didaktika, Sigma TV, Kelompok Mahasiswa Peminat Fotografi (KMPF) juga Era FM, menyelenggarakan Pekan jurnalistik (Pekjur). Kegiatan yang berjudul Milenial dan Hoakstersebut diselenggarakan di Gedung Daksinapati selama tiga hari (25-27) Juni. Di hari pertama panitia menghadirkan Indra Gunawan Periset dari Respublica Institute, untuk membahas bagaimana peran pers mahasiswa melawan hoaks.
Dalam diskusi tersebut Indra Gunawan memaparkan, pengguna internet di Indonesia, di tahun 2018 mencapai 56% sementara, informasi hoaks yang ada mencapai 60%. Menurutnya, ada empat alasan mengapa hoaks bisa begitu massif, yang pertama adalah akses internet yang sudah begitu massif menjangkau seluruh lapisan masyarakat membuat orang-orang menjadi terhubung satu sama lain.
Kedua, terjadinya polarisasi politik. Hal itu mengakibatkan masifnya penyebaran berita hoaks demi kepentingan politik. Bahkan, menyebabkan munculnya hate speech, yang merupakan tingkatan tertinnggi dari bentuk kebohongan informasi. Karena dapat memprovokasi kebencian di masyarakat.
Ketiga adalah akibat berkembangnya algoritma untuk teknologi informasi, orang menjadi homogen. Lantaran algoritma itu membuat informasi yang didapatkan seseorang hanya menyediakan apa yang diinginkanya. Dengan begitu, lanjut Indra, mengakibatkan informasi yang didapatkan hanya kebenaran yang diinginkanya saja. “Padahal dunia heterogen, tapi dampak algoritma membuat alam pikiran manusia menjadi homogen,” ucapnya. Kacenderunganya, orang-orang lebih mencari informasi yang menurutnya benar dan mengabaikan fakta.
Terakhir, karena tuntutan dunia yang serba cepat, orang membutuhkan informasi yang instan dan cepat. Sehingga, orang-orang menjadi tidak teliti dengan informasi yang didapatnya. “Misalnya, orang kantoran karena kesibukannya dalam bekerja. Akhirnya mereka belajar agama hanya melalui youtube yang cenderung menyederhanakan”, katanya.
Meski begitu, bagi Indra, itu semua adalah konsekuensi dari negara demokrasi. Maka, yang dituntut adalah kecerdasan warganya dalam memverifikasi informasi. Karena hoaks pasti terjadi di negara yang demokratis.
Mahasiswa, masih menurut Indra, harus berpikir kritis dan tidak terjebak dalam informasi instan. Karena mahasiswa dituntut berpikir secara ilmiah. Tuntutan berpikir ilmiah itu, mengharuskan mahasiswa mampu menyaring informasi dengan menarik kesimpulan berdasarkan fakta-fakta ilmiah bukan berdasarkan asumsi belaka.
Bagaimana Pers Mahasiswa Melawan Hoaks
Mahasiswa pun, memiliki media versinya sendiri yang biasa disebut pers mahasiswa. Dahulu, zaman pemerintahan Soeharto, pers mahasiswa menjadi alternatif dari media arus utama. Karena, konten yang dibawakan mahasiswa adalah alternatif dengan isi yang lebih kritits terhadap pemerintahan. Media mainstream tidak bisa kritis karena ancaman bredel.
Menurut Indra Pers Mahasiswa saat ini pun haruslah menjadi media alternatif. Namun, pers mahasiswa juga harus memiliki data-data yang kuat dan memiliki standar jurnalistik yang baik, sehingga kualitas pers mahasiswa membaik. “Tidak menjadi media propaganda,” ungkapnya.
“Misalnya SPU itu harus diverifikasi lebih lanjut contohnya apakah betul uang kampus surplus, harus dengan riset yang baik,” katanya. Maka pers mahasiswa harus punya standar dan mekanisme jurnalistik yang ketat.
Pers mahasiswa juga harus meluruskan pemberitaan hoax dengan diskusi rutin. Pers mahasiswa pun berkewajiban memberikan edukasi dan menggerakan budaya kritis. “Pers mahasiswa juga harus lebih merangkul dan tidak terjebak dalam dirinya sendiri,” pungkasnya.
Aditya Septiawan
Editor : M. Muhtar