Sabtu (25/1/2020), diskusi tentang pemikiran Ki Hajar Dewantara kembali dilangsungkan. Ini merupakan pertemuan kelima yang masih dalam tajuk Kelas Membaca Ki Hadjar Dewantara, diselenggarakan Yayasan Taman Pembelajar Rawamangun. Pada kesempatan ini, Wahyu Arifin dan Indra Gunawan menjadi pemateri, membahas Bab III tentang Pendidikan Kanak-kanak. “Pemikiran Ki Hadjar Dewantara tentang pendidikan kanak-kanak sangat dipengaruhi oleh pemikiran Friedrich Froebel dan Maria Montessori,” terang Kahfi selaku pemantik.
Wahyu Arifin membuka materi dengan menyinggung mahalnya biaya pendidikan Taman Kanak-kanak (TK) yang beredar di media-media. Menurutnya, berdasarkan informasi, mahalnya biaya pendidikan TK dipengaruhi pula oleh perspektif tentang pendidikan kanak-kanak memengaruhi perkembangan manusia seterusnya.
Anak-anak dalam pemikiran Friedrich Froebel, menjadi suatu ketotalan antara manusia dengan alam. “Froebel menolak pemahaman tentang anak-anak hanya sekedar manusia yang belum dewasa,” tegas Wahyu. Berdasarkan pemahaman tersebut, Froebel membangun metafora yang menyebutkan anak sebagai tanaman, yang harus dirawat dengan telaten.
Bertitik tolak dari pemahaman tersebut, lanjut Wahyu, Friedrich Froebel membuat sekolah yang mendekatkan anak dengan alam. Alasannya, untuk menumbuhkan rasa estetika anak dan kebahagiaannya. Selain itu, peran guru hanya menjadi penuntun dalam menumbuhkan itu.
Kemudian, beralih ke pemikiran Maria Montessori, pemikir pendidikan asal Italia, yang turut memengaruhi pemikiran Ki Hadjar Dewantara. Memiliki latar belakang sebagai dokter yang banyak bersentuhan dengan anak-anak keterbelakangan mental. Maria Montessori melihat perkembangan anak dalam beberapa masa peka, yakni usia 3-7 tahun. Wahyu mengatakan, “pada masa itu perkembangan harus diperhatikan.”
Tidak berhenti sampai disitu, Wahyu melanjutkan, Montessori memiliki sedikit perbedaan dengan Froebel. Montessori menyatakan bahwa anak tidak cukup hanya bahagia saja, melainkan harus dilatih panca indranya.
“Namun, keduanya memiliki persamaan dalam metode pendidikan, yakni dialogis dan menempatkan anak-anak sebagai subjek pendidikan,” pungkas Wahyu.
Melanjutkan Wahyu, Indra Gunawan, menerangkan pembacaannya tentang pemikiran Ki Hadjar Dewantara. Menurutnya, yang membuat Ki Hadjar Dewantara mengutip dua tokoh tersebut karena keduanya sangat radikal pada masa itu, tepatnya awal abad ke 19. “Keduanya memandang anak-anak sebagai subjek, yang bertentangan dengan pandangan tradisional,” tegas Indra.
Indra menyebutkan, praktek pendidikan TK kini banyak menyalahi kodrat anak-anak, dengan memaksakan Baca, Tulis, dan Berhitung (Calistung). Karena, pendidikan masa kanak-kanak adalah bermain, dan permainan adalah pendidikan kanak-kanak. Bermain menjadi salah satu pengembangan potensi anak-anak, baik fisik dan jiwanya, bahkan menjadi proses kematangan berpikir.
Kendati banyak mengutip Froebel dan Montessori, lanjut Indra, Ki Hadjar Dewantara turut mengkritik kedua tokoh tersebut. Salah satunya kepada Froebel, Ki Hadjar Dewantara menngkritik praktek perintah melalui ketertiban. Kritik Ki Hadjar Dewantara terhadap Maria Montessori yang menurutnya, cenderung sangat bebas. “Oleh karena itu, Ki Hadjar Dewantara mencari titik temu diantara kedua pemikir tersebut, yakni bolehnya ganjaran selama dalam batasan-batasan tertentu,” pungkas Indra.
Sementara itu, Kahfi penanggap dalam diskusi tersebut turut mempertanyakan pemaparan pemateri. Menukil artikel dari Wahyu dan Indra, yang menyebutkan bahwa hakikat manusia adalah makhluk bermain. “Lalu, seberapa jauh batasan bermain dalam pembahasan pendidikan kanak-kanak?” tanyanya.
Menjawab Kahfi, Wahyu, merujuk pemikiran Maria Montessori, permainan adalah bagian dari pelajaran. Wahyu melanjutkan, beberapa kali Montessori menciptakan media pembelajaran yang sesuai dengan pertumbuhan panca indra anak-anak. Hal itu kembali mempertentangkan Montessori dan Froebel. Sebab, Froebel dalam pembelajarannya banyak menghabiskan waktu di alam dengan asumsi bahwa panca indra penglihatan harus diutamakan.
Wahyu menegaskan, masa kanak-kanak adalah masa krusial yang didalamnya terdapat masa peka. Walaupun tidak diketahui secara pasti masa peka itu muncul. “Oleh karena itu, TK harus memunculkan permainan yang mengembangkan panca indra, sebab permainan memunculkan titik pekanya,” pungkas Wahyu.
Penulis/Reporter: Ahmad Qori H.
Editor: M. Muhtar