Sepulang dari tukang sayur, Ibu membawa berita bahwa di RT mereka sedang ada tuyul. Korbannya adalah Mama Fina yang rumahnya nempel dengan rumah mereka. Selembar seratus ribuan lenyap dari tabungan yang disimpan di lemari baju. Hal ini baru disadari Mama Fina ketika hendak menggunakan uang tersebut. Mama Fina ingat betul berapa jumlah terakhir uang yang baru diambilnya di atm itu.
Galang masih belum menghentikan tawanya. Sebuah fakta menggelikan bahwa Ibunya yang rutin pengajian siang-malam masih percaya dengan hal klenik macam itu.
“Tuhan itu menciptakan jin dan manusia,” sanggah Ibu dengan agak tersinggung.
“Jin, Bu. Bukan tuyul,” ledek Galang. “Paling Ibu dikerjain sama Mama Fina. Itu pasti kelakuannya si Fina, Ibu tau sendiri Fina anak seperti apa.”
Fina kecil memang sangat nakal. Waktu itu Ibu masih membuka warung kecil. Acap kali Fina datang, ada saja jajanan yang berkurang. Ibu tahu kalau Fina yang mengambil. Tapi Ibu tidak pernah melaporkannya. Sebab Ibu paham betul bagaimana sifat Mamanya yang galak dan tidak segan-segan memukul anaknya di depan orang lain.
“Fina kan seumuran kamu, masa masih begitu?” Ibu terlihat ragu.
“Ya atau nggak itu kelakuannya si om,” Galang masih mencoba mengalihkan Ibu.
“Nggak mungkin. Suaminya lagi dinas keluar kota,” kata Ibu. Lalu Ibu menambahkan, ia jadi memercayai Mama Fina lantaran baru kali itu ia melihat Mama Fina ketakutan. Menurut Ibu, Mama Fina itu ibarat Rambo yang tidak takut akan siapapun yang terlihat mengganggu hidupnya. Lain dengan hari ini.
“Bisa saja sekarang cuma ambil uang, nanti bagaimana kalau ternyata dia mengganggu anak perawannya?” Ibu bergidik seketika.
Waduh, enak jadi tuyul. Begitu kira-kira yang terlintas di pikiran Galang. Meski kecilnya nakal, Fina tumbuh menjadi perempuan dengan proporsi tubuh yang menarik. Tidak terlalu tinggi, tidak terlalu gemuk. Wajahnya juga masuk standar cantik tv Indonesia. Berkulit putih, hidung mancung, dan bibir bervolume. Tapi tetap saja tidak ada manusia yang sempurna. Sekalipun sama-sama mahasiswa, Fina terhitung lamban berpikir. Jarang nyambung ketika diajak berbicara dan suka tiba-tiba tertawa sendiri.
“Tapi kenapa tuyul cuma ambil selembar?” tanya Galang.
Ibu menggeleng. “Mungkin karena tubuhnya kecil, Lang.”
Galang tertawa lagi. Kali ini sampai membuat Ibu melemparkan kacang panjang yang diambilnya dari keranjang.
“Ibu tau darimana kalau tuyul tubuhnya kecil?”
“Nah ini,” Ibu berjalan ke dapur diikuti Galang. “Makanya kalau Ibu lagi nonton pintu hidayah itu jangan diganti siaran bola.”
Galang hendak tertawa. Tapi melihat ibu memegang pisau, ia telan ludah. Setelah itu Ibu malah menceritakan salah satu episode yang ditontonnya. Ibu membuat Galang terpaksa mengurungkan niat untuk mandi.
Dia merupakan si miskin yang kerap iri dengan kekayaan tetangganya. Atas saran sang istri, akhirnya ia mendatangi seorang dukun dan minta resep untuk menjadi kaya raya dengan cara mudah. Sang dukun yang sudah tua renta memberinya tuyul dengan syarat dia harus membawakan sang dukun ari-ari bayi tiap malam purnama.
“Bu, katanya dia miskin, tapi ada uang buat ke dukun,” Galang memotong.
Ibu terlihat kesal. “Namanya juga cerita, Lang. Dengar saja sampai habis,” titah Ibu.
Benar saja. Dia seketika kaya raya. Kecuali senin malam, tuyul itu selalu membawakannya sejumlah uang. Sampai tiba masa para tetangganya gelisah karena semakin hariuang mereka menghilang tanpa sebab. Kemudian mereka menaruh curiga pada si miskin yang tak pernah terlihat bekerja tapi bisa membayar lunas utangnya dan membeli sejumlah barang elektronik.
Alhasil, kecurigaan makin menjurus ke si miskin ketika dipergoki tengah menggali tanah di samping rumah yang baru saja melahirkan. Si miskin dikejar-kejar. Namun di ujung jalan ia tertabrak truk dan terkapar. Warga yang mengejar, membiarkannya. Hingga berhari-hari lamanya tak ada yang mau mengurus jenazah tersebut.
Ibu mengakhiri ceritanya. Galang hanya manggut-manggut dan meraih handuk. Tanpa komentar apapun, ia berjalan ke kamar mandi. Ibu sempat mengayunkan pisau ke arahnya. Tapi ia tahan. Ia tak butuh daging tambahan untuk menu sarapan.
Karena hari libur, sepanjang siang Galang hanya menghabiskan waktu dengan mengganti-ganti stasiun tv. Sekarang sedang tren sinema macam pintu hidayah di beberapa stasiun tv. Judul dan pemerannya saja yang berbeda. Formula kisahnya persis. Pemeran utama antagonis akan berbuat jahat kepada si protagonis hampir sepanjang film. Lalu menjelang tamat, si antagonis akan mengalami kecelakaan bisa tertabrak, bisa kebakaran, lalu kejadian itu yang membuatnya sadar. Di bawah derai hujan ia akan menemui si protagonis dan minta maaf. Seperti sebagai utusan Tuhan yang menyerupai nabi, si protagonis akan tersenyum memaafkan.
Sedangkan sedari tadi ibu tidak ada di rumah. Mungkin sedang menghibur Mama Fina. Atau baiknya kalau sampai menggalang dana untuknya. Tapi ya semua orang juga tahu kalau Mama Fina termasuk kelas ekonomi menengah ke atas. Seratus ribu tentu bukan apa-apa. Lantas kenapa heboh sedemikian rupa? Sampai-sampai membawa tuyul. Apa benar tuyul itu ada?
Kalau memang ada, seperti apa rupanya? Bertubuh kecil-botak-dan hanya berkolor? Galang pernah menonton kalau di sebuah rumah memelihara kepiting, tuyul tidak akan mengambil uang, sebab tuyul sibuk bermain dengan kepiting tersebut. Tapi rumah macam apa yang memelihara kepiting? Rumah makan?
Terlihat di jendela, Ibu tergopoh-gopoh menuju rumah. Beberapa ibu-ibu lain juga bubar dari rumah Mama Fina. Galang tak sabar menunggu kisah lucu apa lagi yang akan dibawa oleh Ibu.
“Uang kas RT juga hilang!”
Galang hampir tidak percaya. Semua juga tahu kalau Pak RT merangkap pemuka agama. Masa tuyul juga masuk di rumah yang rajin diibadahkan?
“Tuyul ini sungguh kurang ajar,” kata Ibu dengan geram. Ia segera masuk ke kamarnya. Galang membuntuti dari belakang. Ibu mengeluarkan sejumlah uang dari laci meja tata riasnya.
“Ngapain, Bu?” Galang duduk di tepi ranjang.
“Ibu jadi was-was, Lang. Ini kamu yang simpan ya,” pinta Ibu seraya menyerahkan empat lembar lima puluh ribuan.
Galang terlihat bingung. “Kok Galang?”
“Kamar kamu kan banyak poster-poster menyeramkan. Namanya tuyul –anak kecil, jadinya takut masuk ke kamar kamu,” terang Ibu yang langsung disambut tawa terbahak-bahak Galang.
“Beberapa hari lalu Ibu bilang kalau kamar Galang sarang setan.”
Ibu menggeleng. Ia bersikukuh untuk meminta Galang menyimpan uang tunai yang dimilikinya. Melihat kesungguhan Ibu memercayainya, akhirnya Galang membawa uang tersebut ke kamarnya.
Setiba di kamar, Galang kebingungan harus menaruh di mana uang itu. Dua orang korban cukup membuatnya parno juga. Kalau korbannya seperti Mama Fina lagi sih Galang tidak akan berpikir dua kali untuk meledek Ibu. Tapi ini Pak RT, guru agamanya yang dikenal amat baik dan suka menolong. Sosok yang hampir mustahil bila berbohong.
Keesokan harinya, Galang berangkat ke kampus. Ternyata topik mengenai tuyul juga hangat di tongkrongannya. Meski yang mereka bicarakan baru sebatas katanya dan belum ada satupun yang merasakan langsung.
Cerita tentang Pak RT masih belum membulatkan keyakinan Galang akan tuyul. Di kepalanya masih dipenuhi kemungkinan-kemungkinan yang bisa terjadi selain tuyul. Ia bahkan menertawakan beberapa temannya yang terlihat amat memercayai keberadaan tuyul.
“Kebanyakan nonton pintu hidayah kayak Ibu gue,” selorohnya. Kemudian ia beranjak dari tongkrongan. Belum sampai jauh, Beno memanggilnya.
“Udah bawa uangnya?” Beno menagih uang buku yang wajib dimiliki untuk salah satu mata kuliah. Mulanya Galang ingin meminjam saja lantaran harga bukunya cukup mahal. Tapi apa daya, sang dosen memaksa dengan dalih telah memesan sejumlah daftar hadir di kelasnya.
“Maaf nih,” Galang mengelus pundak Beno. Hal yang menjadi senjata utamanya untuk merayu.
Beno menghempaskan tangan Galang. Sebagai ketua angkatan, dia hapal betul tindak tanduk Galang. “Dosennya udah nagih terus nih. Gue nggak bisa nalangin.”
Galang menggaruk kepalanya. Lalu ia membuka dompet. Ada empat lembar uang kertas biru dan selembar berwarna hijau.
“Itu ada uang,” Beno langsung menyambar. Secepat kilat ia mengambil dua lembar si biru.
Galang hendak merebutnya kembali, sayangnya gagal. “Itu uang Ibu gue, Ben.”
“Ya tinggal bilang,” Beno pergi tanpa menghiraukan Galang lagi.
Galang galau setengah mati. Ibu bisa marah kalau uang yang dipercayakan padanya raib begitu saja. Galang tidak bisa jujur begitu saja kalau uang tersebut untuk buku kuliah. Sebab minggu lalu ia sudah meminta kepada Ibu dan uangnya malah dihambur-hamburkan dalam bentuk paket internet. Tapi kalau tidak jujur, Galang harus memberi alasan apa?
Seketika Galang ingat tuyul.
Tamat
Latifah