Judul Buku: Ekonomi Politik Musik Rock: Refleksi kritis Gaya Hidup
Penulis: Abdullah Sumrahadi
ISBN: 978-602-7984-29-5
Penerbit: LP3ES
Layaknya suatu agama, musik sudah menjadi bagian hidup setiap manusia modern. Lirik serta instrumennya bak wahyu-wahyu yang mengisi pendengaran setiap harinya. Dari perkampungan sepi hingga kota-kota metropolitan. Insan yang memainkannya laksana nabi bagi para pengikutnya. Genre-genrenya menyerupai sekte dalam suatu kepercayaan, dengan sebaran pengikut yang luas. Ada yang khusuk mendengarkan, adapula yang secara fanatik meresapinya.
Musykil memutuskan musik hanya sekedar pemuas telinga saja, dalam artian hiburan belaka atau bisa berdampak lebih dalam kehidupan masyarakat?. Theodor Adorno, salah seorang tokoh mazhab Frankfrut. Beranggapan bahwa musik populer, tidak terlepas dari industri budaya dan di dalamnya terdapat dua ciri khas yaitu standarisasi dan individualisasi semu.
Jika ditilik lebih lanjut gagasan Adorno soal musik populer berakhir pada kategorisasi musik rendah (pop) dan tinggi. Hal ini dibuktikan dengan tiga poin pokok dalam analisisnya. Industri budaya sebagaimana perusahaan pada umumnya, menitikberatkan produksinya (musik) sesuai selera pasar. Hal ini berujung pada standarisasi ketat rekaman mana yang layak dan tidak untuk dijual ke masyarakat. Guna melengkapinya maka dihadirkan suatu ciri khas pembeda antar suatu band atau genre, yang baginya tak berdampak signifikan.
Hal ini berujung pada kemandekan kreativitas bermusik dalam kalangan musisi. Sehingga memaksa mereka mengikuti selera pasar. Tak ayal lirik-liriknya hanya membahas masalah percintaan atau hal remeh temeh semata. Meski terdapat perdebatan musik-musik populer yang dilabeli rendahan. Namun, musik pop memiliki akar sejarah panjang dan menjadi embrio bagi lahirnya genre-genre sejenis.
Musik-musik pop mulai digandrungi pada akhir abad ke-19, khususnya Amerika dan Eropa Barat. Sebab hal-hal berkaitan dengannya dapat dibeli dengan harga rendah. Sejak itu musik menjadi pelengkap keseharian masyarakat. Bahkan turut mempengaruhi penampilan anak-anak muda. Mereka mencoba mencontoh segala sesuatu dari idolanya, mulai dari potongan rambut, pakaian, hingga cara berbicara.
Maka tak mengherankan fenomena berjamurnya industri rekaman serta sponsor yang mendukung produksi musik. Sebab potensinya begitu besar untuk meraup keuntungan, itupun belum termasuk konser, penjualan pernak-pernik dan tetek bengeknya. Selain itu musik-musik populer bayak dikritik, karena menghanyutkan masyarakat dalam anggapan dunia baik-baik saja. Dalam tanda kutip, mematikan kesadaran soal maraknya kebobrokan dalam kehidupan sehari-hari.
Rock Menjelajah Dunia
“Revolusi pertama tanpa darah adalah musik rock.” Perkataan Ian Fender tersebut sebenarnya tak terlalu berlebihan, jika melihat fenomena kehadiran musik bergenre rock. Ciri khas instrumen dengan ketukan cepat dan cadas melekat pada aliran ini. Kelahiran musik rock tidak bisa dilepaskan dengan embrio musik pop. Sebab, dirinya hadir sebagai kritik atas kemandekan bermusik di era tersebut. Namun, tidak ada catatan yang tepat kapan genre tersebut secara resmi dicetuskan.
Ada yang merujuk pada penggunaan kata rock ‘n roll pada pembukaan acara musik suatu stasiun televisi, tahun 1981. Atau sejak hadirnya lagu Rock Around the Clock oleh Bill Haley tepatnya pada 1954. Tetapi, belum lengkap jika kemunculan musik rock tidak ditautkan dengan sosok Elvis Presley. Dirinya menjadi inspirasi dari kalangan musisi baik dari genre sejenis dengannya ataupun tidak.
Pada dekade 50an, hadir beberapa musisi yang membawakan musik rock. Tetapi, distribusinya baru berlangsung secara aktif sejak meledaknya lagu Rock Island Line oleh Lonnie Donegan. Lagu tersebut diterima di kalangan anak muda di Eropa, terutama Inggris.
Dekade selanjutnya, musik rock mengalami kemajuan pesat. Semula, genre tersebut banyak dinyanyikan dengan solo vokal. Kehadiran The Beatles dengan format group band, menjadi suatu terobosan baru dalam dunia musik rock. Lagu-lagu mereka begitu fenomenal hingga kini, semisal I Want to Hold Your Hand, Let it be, dan Love Me Do. Meski pada akhirnya bubar, The Beatels telah menelurkan album sebanyak 13 buah dengan jumlah penjualan 600 juta kopi. Jumlah yang begitu fantastis dan belum terpatahkan oleh band manapun di muka bumi ini.
Sejalan dengan kehadiran The Beatles muncul kelompok musik ataupun musisi rock. Seperti Led Zeppelin, Jimi Hendrix, dan Rolling Stones. Dekade 60an juga menjadi ladang eksperimen bagi pengembangan instrumen dalam penggunaan alat musik. Pengganti melodi piano ke gitar, merupakan salah satunya. Kebanyakan musisi atau kelompok beraliran rock mengisi kekosongan di tengah lagu (interlude). Menggunakan melodi gitar dengan beragam efek.
Selain itu, penggunaan gitar dua belas senar yang sebelumnya kurang digandrungi musisi, turut berkembang akibat penggunaanya dalam lagu Stairway To Heaven oleh Jimmy Page, gitaris Led Zeppelin. Dekade selanjutnya berkembang irisan-irisan baru dalam genre musik rock. Seperti rock underground, heavy metal, trash metal, serta rip rock. Tetapi, tahun 80an kebanyakan band rock memainkan genre Pure Rock.
Barulah pada 1990 terdapat tiga grup musik rock yang memiliki pengaruh besar bagi perkembangan genre tersebut kedepannya. Yakni Linkin Park, Korn, Limp Bizkit, selain itu adapula Slipknot. New rock tersemat pada nama-nama band diatas.
Hadirnya new rock, menampilkan beberapa perbedaan dari sebelumnya. Mulai dari memasukkan unsur teknologi seperti turn table, biasa dimainkan oleh disc jockey (DJ). Hingga penggunaan jeans, kemeja, atau kaus oblong ketika konser. Terkesan lebih trendy dari kebanyakan musisi rock zaman sebelumnya, yang menonjolkan cara berpakaian serba hitam dan lusuh.
Seiring bertumbuhnya jumlah musisi yang membawakan musik jenis tersebut. Maka kantung-kantung penggemar pun turut hadir. Hal itu membuat label-label rekaman internasional terus melakukan ekspansi untuk membuka pasar baru di setiap negara.
Tak jauh berbeda dengan perkembangan musik rock di dunia. Indonesia mengenali musik rock pada dekade 60an. Namun satu tahun sebelumnya, tepatnya 1959, pemerintah Indonesia mengeluarkan kebijakan antineokolonialisme-imperialisme, dengan maksud menyelesaikan revolusi Indonesia untuk mencapai sosialisme Indonesia. Hal ini turut berpengaruh terhadap perkembangangan kancah musik nasional. Radio Republik Indonesia (RRI) yang sebelumnya turut menyiarkan lagu-lagu barat mengganti siarannya dengan lagu-lagu nasional. Hingga muncul istilah musik “ngak-ngik-ngok” terhadap musik-musik barat.
Namun sejumlah masyarakat kelas menengah perkotaan, yang kala itu mampu membeli alat musik mulai membentuk kelompok bermusik. Mereka kebanyakan memainkan genre-genre pop dan rock n’ rool. Ada Koes bersaudara yang kemudian hari kita kenal sebagai Koes Plus. Namun akibat kebijakan pemerintah sebelumnya, personel band tersebut mendekam di penjara Glodok.
Barulah pasca runtuhnya kekuasaan rezim orde lama, kancah permusikan Indonesia mulai mendapatkan angin segar. Tidak ada pelarangan dalam memainkan musik jenis apapun. Menjamurnya industri rekaman, membuat bermunculan band-band dan musisi pendatang baru yang membawa warna musik beragam.
Jangka waktu 1980 hingga akhir 1990 merupakan zaman emas bagi perkembangan musik di Indonesia, khususnya rock. Serta terdapat perbedaan mencolok dengan generasi sebelumnya. Paruh waktu tersebut, lirik-lirik sarat kritik sosial mulai digandrungi. Serta, kemunculan Kota Surabaya sebagai kota musik rock. Hingga fenomena industri rekaman independen, guna mensiasati industri-industri rekaman mayor.
Baca Juga: Sebuah Pesan dari Kabar Burung
Lirik Perlawanan dan Transformasi Sosial
Musik rock mengembara ke seluruh dunia. Mereka menyimbolkan suatu kebebasan. Hal itu tercermin dari lirik-lirik cadasnya, gebukan drum yang cepat dan keras, lengkingan gitar khas rock menjadi pelengkap. Semuanya menjadi suatu harmoni pendobrak tradisi bermusik dari aliran-aliran pendahulunya.
Abdullah Sumrahadi, dalam bukunya Ekonomi Politik Musik Rock: Refleksi Kritis Gaya Hidup memaparkan alasan tentang urgensi kajian music rock. “Terdapat tiga alasan musik rock layak dikaji secara lebih mendalam. Pertama musik rock lahir di negara-negara maju sebagai respon terhadap kemandekan dalam bermusi, termasuk negara-negara berkembang seperti Indonesia. Kedua setiap musisi atau band rock memiliki basis masa pengikut (fans). Ketiga musik rock dengan alunan nada keras memiliki kekuatan pendobrak sebagai sarana perlawanan terhadap kemapanan, setidaknya dikalangan seniman sendiri.” (hlm 5)
Sumrahadi menggunakan pendekatan terstruktur dalam analisisnya soal musik rock. Salah satunya lewat kajian teks atau hermeneutika. Menurutnya lirik-lirik lagu musik rock memiliki suatu unsur magis, dan dapat menjadi arena penyadaran masyarakat terhadap lingkungannya. Dengan tetap memperhatikan batasan antara latar belakang kehidupan penulis lirik dan karyanya. Sebab, kajian hermeneutika memang sangat hati-hati menjaga keorisinilan teks dari kehidupan pribadi sang pencipta.
Rata-rata band rock di Indonesia berkembang pada dekade 90an. Beberapa di payungi label-label industri rekaman besar. Sedangkan, lainnya menggunakan format rekaman independen (Indie). Sehingga, distribusi hasil karya sang musisi bergantung pada aktifnya lingkaran penggemar.
Edane, Boomerang, Jamrud, Pas Band dibedahnya sebagai studi kasus. Bagaimana musik rock memiliki sebuah potensi besar menjadi penyulut semangat transformasi sosial. Meski hanya Edane yang benar-benar murni memainkan aliran rock. Namun, kesemuanya mempunyai lagu-lagu hits yang sarat akan kritik kepada pemerintah.
Seperti Slank, dalam lagunya “Seperti Para Koruptor”, secara eksplisit menyindir budaya korupsi sebagai sesuatu yang buruk dan tak membahagiakan. Grup band tersebut juga turut didaulat sebagai duta antikorupsi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tahun 2007. Setali tiga uang, Pas Band menuangkan kritik lewat lagu “Jengah”. Lagu tersebut mengkritik wakil-wakil rakyat yang kebanyakan hanya mengumbar janji kosong belakang. “Kita jengah dengarkan banyak alasan// Kita bosan dengarkan cerita”.
Keduanya bergerak di jalur indie. Slank memang awalnya berada di bawah naungan industri rekaman mayor. Namun, akibat banyaknya tekanan dalam menciptakan sebuah lagu yang mengkebiri kebebasan mereka sebagai seniman, Slank memutuskan memilih jalur indie. Sedangkan Pas Band, dari awal terbentuknya memang sudah menggunakan strategi tersebut. Serta, dalam distribusi hasil karyanya memang berpusat pada jaringan kantung-kantung penggemar mereka yang bernama “Passer”.
Demikian dengan band-band rock lainnya, paling tidak mempunyai satu atau dua buah lagu sarat kritik sosial di dalamnya. Hadirnya mereka dapat menjadi simbol pembawa pesan perubahan dan kebebasan. Serta kantung-kantung penggemar yang potensial, dapat menjadi agen-agen transformasi sosial.
Akan tetapi, ibarat pisau bermata dua, band-band rock serta penggemarnya bisa juga menjadi agen-agen yang melanggengkan kekuasaan. Maka, tetap diperlukan media-media penyadaran lain di tengah masyarakat. Agar dapat menjadi suatu gerakan perubahan berkepanjangan, dan tidak berhenti jika band tersebut bubar.
Lewat buku ini, Abdullah Sumarhadi berhasil menghasilkan suatu kajian yang jarang disentuh oleh peneliti ilmu sosial di Indonesia. Sehingga, menambah khazanah baru dalam pusaran diskursus sosiologi tanah air. Ternyata musik bukan sekedar karya seni hiburan saja, tetapi dapat menjadi media interaksi aktif menuju perubahan yang lebih baik.
Penulis: Abdul
*Resensi ini diikutsertakan dalam lomba resensi buku mahasiswa kategori ekonomi dalam rangka HUT ke-50 LP3ES dan meraih juara ketiga.