Stop complaining! said the farmer,
Who told you a calf to be ?
Why don’t you have wings to fly with,
Like the swallow so proud and free ?

             Perihal apa yang menyebabkan proses belajar menjadi stuck dan kaku hanya terjadi di ruang-ruang kelas. Mahasiswa yang disuapi oleh dosen, dan sampai di situ proses transfer ilmu sudah terjadi. Lantas dengan adanya proses suap-menyuapi di ruang kelas itu mahasiswa telah merasa cukup.

Tak ayal, bahwa ada kecenderungan mahasiswa tidak peka terhadap keadaan sekitar. Ruang gerak dan proses dialektika mereka hanya berputar di ruang kelas. Anggapan mereka dengan mengerjakan tugas, masuk kelas dan mendengarkan ceramah dosen, ya tanggung jawab mereka sebagai seorang mahasiswa sampai disitu telah cukup.

Seandainya mereka mengetahui tanggung jawab yang ada pada mereka lebih besar dari yang dibayangkan, tanggung jawab mereka bukan hanya dalam hal menerima transfer ilmu dari dosen. Justru tanggung jawab mereka ada di masyarakat. Mereka memiliki pertanggungjawaban moral terhadap masyarakat. Mereka memang diharapkan menjadi agen perubahan.

Kenapa pengharapan masyarakat terhadap eksistensi mahasiswa besar, karena mahasiswa dianggap kaum intelektual tertinggi yang kepentingannya tidak tercemar oleh kaum penguasa atau golongan tertentu. Akan tetapi jika mahasiswa merasa cukup hanya dengan duduk di ruang kelas mendengarkan ceramah dosen itu sangat disayangkan. Menjadi rajin memasuki ruang-ruang perkuliahan bukan berarti menjadi jaminan mahasiswa perihal dengan label baik.

Tidak hanya ruang-ruang kelas, mahasiswa juga harus memanfaatkan ruang-ruang lain. Mahasiswa dituntut kreatif untuk mengembangkan dirinya. Bukan hanya tentang potensinya, tetapi juga mengenai kultur akademiknya.

Iklan

Kultur akademik mahasiswa selama ini telah berjalan. Mahasiswa biasa melakukan proses membaca, menulis, dan diskusi. Akan tetapi jangan sampai proses dialektika yang ada hanya di ruang perkuliahan, masih banyak ruang-ruang yang lain yang bisa digunakan mahasiswa untuk menampung aspirasi dan pikirannya. Bahkan ruang-ruang lain itu bisa jadi proses penajaman pikirannya. Mahasiswa harus merasa membutuhkan ruang-ruang yang bisa di jadikan proses dialektika.

Menurut ketua jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia perihal mengenai mahasiswa yang aktif di organisasi, mendukung adanya mahasiswa yang berorganisasi, karena tidak semua mahasiswa bisa mengemukakan pikirannya di ruang kelas, sehingga di luar mahasiswa bisa lebih berkembang, dengan syarat mahasiswa tetap  menjalani kewajibannya sebagai mahasiswa dan tepat waktu kuliahnya.

Nantinya proses dialektika, dapat dimanfaatkan mahasiswa untuk menajamkan pisau analisisnya tehadap masalah di sekitar mereka. Dengan begitu mereka akan bisa melihat dari banyak perspektif. Dan bukan ayal lagi mahasiswa dapat mengambil peran sebagai agen perubahan, karena mereka akan peduli terhadap masalah atau kejadian yang ada di sekitar mereka.

Cahayani Citra, mahasiswa FBS 2010 sendiri berpendapat entah kenapa, ia tidak biasa mengikuti organisasi apapun, selama kuliah, memang itu semua sudah terjadi semenjak smp, saya suka memiliki pemikiran yang berseberangan dengan orang yang berorganisasi. Memang mahasiswa yang biasa melakukan proses dialektis, akan memiliki pandangan yang berbeda, dan memiliki sikap yang berbeda. Hal ini bisa dinilai misalnya dari sikap yang kritis. Citra sendiri meski mahasiswa yang memilih untuk tidak memiliki ruang-ruang lain selain ruang perkuliahan termasuk mahasiswa yang cerdas.

Hanya saja patut dipertanyakan kenapa harus cukup dengan proses transfer ilmu, sementara di ruang-ruang lain tadi ada banyak ilmu yang bisa dikail. Terlebih lagi jika mahasiswa melakukan proses dialektis, akan memiliki kesadaran sosial yang selama ini ada dalam diri mereka. Di dalam teori kritis sendiri realitas di bentuk secara konstan dan di bentuk ulang oleh dialektika. Jadi tidak salah jika proses dialektika akan berbanding lurus dengan sikap kritis.

Indah Hidayatie