Judul film : Once Upon a Crime
Tahun rilis : 2023
Durasi film : 1 jam 47 menit
Sutradara : Yûichi Fukuda
Genre : Petualangan, Komedi, Kriminal, Fantasi, dan Misteri
“Tidak! Orang jelek sepertimu dilarang masuk. Pulanglah!” terdengar larangan masuk pesta dansa dari pengawal kerajaan kepada sosok perempuan yang berpakaian lusuh.
Diproduksi oleh Disney, Cinderella merupakan salah satu film terpopuler di dunia. Film ini begitu digandrungi oleh banyak orang karena sarat dengan fantasi dan kisah cinta kerajaan. Ditambah lagi, tokoh-tokoh dalam film Cinderella digambarkan mempunyai fisik yang cantik dan tampan.
Tokoh utama film Cinderella adalah seorang perempuan cantik yang berkulit putih dan bersih. Dengan karakteristik fisik tersebut, hati pangeran jatuh cinta kepada sang pemeran utama. Implikasi dari kisah tadi, wacana sosial yang terbentuk di masyarakat, yakni perempuan harus memiliki kulit putih dan bersih supaya bisa digandrungi oleh lelaki rupawan seperti Pangeran.
Berdasarkan jurnal Paradigma yang berjudul “Negosiasi Wacana Femininitas Melalui Film-Film Animasi Putri Disney”, disebutkan kisah Cinderella dipengaruhi perkembangan masyarakat dalam memahami definisi feminitas. Dirilis pada 1950, Cinderella termasuk ke dalam kategori film yang muncul pada gelombang pertama gerakan feminisme. Saat itu dominasi laki-laki terhadap perempuan masih masif dari segi pekerjaan, pendidikan, dan politik di Amerika Serikat.
Dengan demikian, perempuan mempunyai ruang yang sempit untuk melakukan aktualisasi diri, sehingga kehidupan mereka sangat bergantung kepada lelaki. Maka dari itu, perempuan harus menjadi cantik agar dilirik oleh para lelaki. Hal-hal itu yang membuat anasir nilai dalam film princess produksi Disney cenderung bersifat diskriminatif terhadap perempuan.
Bertolak belakang dengan kisah Cinderella, film adaptasi Jepang yang berjudul Once Upon a Crime besutan Yûichi Fukuda memberikan terobosan. Dengan latar dan tokoh yang sebagian besar sama dengan film Cinderella, Yûichi memasukkan tokoh perempuan baru yang bebas dari diskriminasi gender. Tokoh perempuan itu bernama Si Kerudung Merah yang mempunyai kemampuan bak detektif.
Konflik dimulai saat kereta kencana yang ditumpangi oleh Si Kerudung Merah dan Cinderella menabrak jasad manusia di tengah perjalanan menuju istana. Lantas mereka berdua menghentikan kereta kencana. Didapati oleh mereka berdua, mayat tersebut merupakan jasad Hans sang penata rambut kerajaan. Berkat ketelitiannya, Si Kerudung Merah menyatakan Hans meninggal karena dibunuh.
Baca juga: Memaknai Mode Pakaian Anak Skena
Untuk menutupi jejak insiden tabrakan, Si Kerudung Merah pun mengubur mayat Hans dengan dedaunan yang berserakan di pinggir jalan. Ia tidak ingin pertemuan Cinderella dengan Pangeran dalam malam pesta dansa sirna.
Alur film memasuki fase klimaks setelah pengawal kerajaan berhasil menemukan mayat Hans yang terkubur di hutan. Sontak, para peserta dansa terkejut. Malam pesta dansa pun dibatalkan dan semua tamu dilarang untuk pulang.
“Penjahat keji itu ada di ruangan (pesta dansa) ini,” penasihat agung raja mengumumkan teorinya.
Di tengah situasi yang kalut, Si Kerudung Merah unjuk gigi mencari pelaku pembunuhan sebenarnya. Ia meluruskan asumsi-asumsi liar terkait pembunuhan Hans. Adapun muncul asumsi pangeran sebagai pembunuh, tetapi ada sosok perempuan misterius yang berpakaian lusuh tiba-tiba membela pangeran.
Si Kerudung Merah sepakat dengan kesaksian perempuan misterius itu. Meskipun, kesaksian perempuan misterius itu sempat diragukan oleh Raja. Sebab, penampilannya yang dianggap tidak merepresentasikan gaya berpakaian kelas bangsawan.
“Lihatlah orang jelek dan kotor ini. Dia pengemis dan orang rendahan. Kita tak bisa mempercayainya,” ujar ibu tiri Cinderella.
Pembunuh Hans masih belum ditemukan hingga malam pesta dansa itu usai. Selanjutnya, Si Kerudung Merah bekerja sama dengan penasihat agung eaja mencari bukti baru untuk melengkapi puzzle peristiwa pembunuhan Hans. Akhirnya, film ini memberikan plot twist. Si Kerudung Merah mengungkap pelaku pembunuhan Hans, yaitu Cinderella.
“Orang-orang di kerajaan ini hanya mencoba melihat yang indah. Menguburnya dengan merpati berarti tak ada yang akan menggali merpati kotor. Kau memahami orang-orang kerajaan ini lebih baik dari siapapun,” tandas Si Kerudung Merah.
Standar Kecantikan Mengekang
Penilaian cantik atau jelek ditentukan secara dinamis oleh masyarakat. Penilaian itu dipengaruhi oleh perkembangan masyarakat yang bertransformasi dari corak produksi tradisional ke arah corak produksi kapitalisme. Akibatnya, opini masyarakat yang mulanya terbentuk berasal dari budaya tradisional berubah dan mengacu kepada pasar.
Evolusi masyarakat itu dilatarbelakangi oleh masifnya industrialisasi. Industri berorientasi kepada akumulasi modal, sehingga produk-produk yang banyak diminati terus diperluas pemasarannya. Ekspansi modal ini mendorong transfer budaya antar masyarakat.
Masifnya industrialisasi Barat sampai hari mempengaruhi kebudayan sebagian besar masyarakat di dunia, termasuk dalam hal kecantikan. Dengan adanya film seperti Cinderella, yang dimaksud cantik oleh seluruh masyarakat seolah berpatokan sesuai bentuk fisik tokoh utama dalam film itu. Hal tersebut menimbulkan pengekangan terhadap kebebasan perempuan.
Demi memenuhi standar kecantikan yang telah dikonstruksi, tidak sedikit perempuan melakukan operasi plastik dan perawatan dengan biaya besar. Dengan tampil sesuai dengan standar kecantikan, perempuan mendapatkan banyak keistimewaan di masyarakat. Jika tidak, maka anggapan negatif dari masyarakat kemungkinan besar akan menimpa mereka. Oleh karena itu, standar kecantikan yang ada begitu menindas perempuan.
Baca juga: Perempuan dalam Gerakan Feminisme: Sebuah Usaha Dekonstruksi
Hal tersebut tercermin pula dalam film Once Upon a Crime ketika tunangan Pangeran, yakni Putri Remi merasa inferior akibat luka yang membekas di wajahnya. Luka itu membuatnya mengalami depresi. Remi pun memilih untuk melarikan diri dari istana. Sebabnya, wajah yang dimiliki oleh Remi sudah tidak sesuai dengan standar kecantikan kerajaan.
Di akhir cerita, terungkap identitas perempuan misterius yang membela raja di pesta dansa ialah Putri Remi. Ia pun ragu untuk bertemu kembali dengan Pangeran karena tampilannya yang sudah berubah. Walakin, tampilan Putri Remi tetap diterima oleh pangeran. Hal tersebut membuktikan tidak ada standar kecantikan yang berlaku kaku.
Sayangnya, sisi komedi dari film Once Upon a Crime kurang ditampilkan secara sukses hingga akhir cerita. Sebab, adegan film yang terdapat dalam film ini justru terbilang cukup serius.
Penulis : Naufal Nawwaf
Editor : Andreas Handy