Judul buku: Petualangan Semiologi
Penulis: Roland Barthes
Penerbit: Pustaka Pelajar
Jumlah halaman : 454 Halaman
ISBN: 978-979-1277-69-3
Berbagai konotasi yang melekat pada skena musik indie dapat dilihat dari cara orang-orang di dalamnya berpakaian
Kiwari, skena menjadi istilah yang marak digunakan oleh kalangan kawula muda. Mereka memakai skena sebagai rujukan untuk mengelompokan selera dan minat yang sama, terutama dalam musik dan budaya pop.
Setiap aliran musik memiliki skena-nya masing-masing, seperti skena rock dengan irama cepatnya ataupun skena dangdut dengan tabuhan kendangnya. Pada masing-masing zaman, biasanya ada satu skena yang lebih menonjol dari skena-skena lainnya. Belantika musik Indonesia sempat diisi oleh skena pop, berlanjut ke skena rock, dan hingga sekarang pada skena musik indie. Itu dapat dilihat dari banyaknya festival musik hari ini yang rata-rata diisi oleh musisi indie.
Indie sendiri sebenarnya bukan sebuah genre, namun musisi yang meluncurkan albumnya secara independen atau mandiri. Maka dari itu, skena indie bisa mencakup beberapa musisi dengan genre sekaligus. Ada band The Panturas dengan ciri khas surf rock-nya, Jimi Jazz dengan aliran metal, hingga Fourtwnty yang ke arah folk. Band–band tersebut memiliki satu kesamaan, yaitu mereka memproduksi serta mendistribusikan albumnya secara mandiri.
Benih-benih musik indie Indonesia dapat dilacak sejarahnya di kota Bandung pada dekade awal 90an. Gedung Olahraga (GOR) Saparua menjadi saksi bisu terselenggaranya konser musik yang menyatukan musisi, penikmat lagu, serta aktor lain. Para musisi di dalamnya memainkan lagu-lagu yang tidak ditemukan di skena arus utama saat itu. Hingga pada 1993 Pas Band, band bergenre rock asal Bandung mengeluarkan album debutnya secara indie pada tahun 1993. Album bertajuk 4 Through the Sap itu berhasil terjual sebanyak 4.700 buah di awal-awal perilisannya.
Setelah itu mulai banyak band–band lain yang mengikuti jalan indie sebagai cara merilis karya. Kota-kota besar seperti Bandung, Jakarta, Surabaya, Malang, dan Yogyakarta adalah ladang subur bagi musisi indie. Pasca Orde Baru, band–band asal Jakarta dan Bandung seperti The Adams, The Sigit, dan Mocca turut meramaikan skena indie.
Lagu-lagu rock yang mereka bawa terdengar lebih modern dari sebelumnya, perlahan mempengaruhi pergeseran yang dimaksud anak skena. Dari yang sebelumnya berpenampilan serba hitam dan urakan–yang identik dengan skena musik metal–kini anak skena tampil dengan gaya yang lebih kasual dengan beragam warna.
Baca juga: Beasiswa, Racun Manis Pemerataan Pendidikan
Anak skena dapat dikenali lewat cara berpakaiannya ketika mereka menghadiri sebuah festival musik. Tipikalnya, mereka memakai kaos bergambar sebuah band, celana kargo, dan juga sepatu bot. Didukung dengan membikin konten di media sosial yang ciamik, mereka menampilkan mode pakaian yang telah menjadi konvensi bersama di antara anak skena. Tampilan mode pakaian ini tentu tidak ajeg dan setiap orang bisa mengkombinasikan dengan barang lain.
Khusus mode berpakaian anak skena menyimbolkan satu kebudayaan atau wacana tertentu yang sedang berkembang. Hal tersebut dapat dijelaskan dengan teori pemaknaan simbol (semiotika) milik Roland Barthes. Dalam buku Petualangan Semiologi, Barthes menjelaskan konotasi dan mitos adalah ketika suatu simbol tidak dimaknai sebagaimana mestinya.
Dalam kasus kaos band, secara denotatif adalah kaos yang disablon dengan desain grup musik di dalamnya, dan gunanya untuk dipakai bagi mereka yang menyukai grup musik tersebut. Namun secara konotatif, kaos band menjadi simbol dari rasa superioritas akan keluasan wawasan musik. Jika band dalam kaos itu jarang diketahui orang, maka semakin tinggi juga superioritas si pemakai itu. Inilah mitos.
“Petanda-petanda ini berkomunikasi erat dengan budaya, ilmu pengetahuan, sejarah, dan karena itu bisa dikatakan bahwa dunia menembus ke dalam sistem,” hlm. 84
Dalam memaknai sebuah simbol–seperti kata Barthes di atas–kita perlu melihat lingkungan, sejarah, konteks budaya, atau wacana yang mengelilingi simbol tersebut. Celana kargo misalnya, jika dipakai oleh militer maka itu berkonotasi jiwa patriot yang siap membela status quo, namun jika dipakai anak skena, itu berkonotasi sebaliknya. Pada dekade 30 an di Eropa, celana kargo digunakan para tentara di medan perang untuk membela negara. Tetapi di dekade 90an, musisi-musisi grunge di Amerika mengenakannya sembari mengumandangkan lagu yang sarat akan permasalahan sosial.
Semangat perlawanan terhadap status quo juga disimbolkan melalui sepatu bot. Pada dekade 60an di Inggris, sepatu bot seperti merek Dr. Martens (Docmart) sangat digemari di antara kelas pekerja kerah biru karena harganya yang terjangkau sekaligus memiliki ketahanan yang bagus. Kemudian, sepatu bot diadaptasi oleh kelompok skena punk, dan perlahan berkonotasi semangat anti kemapanan.
Kedua barang terakhir yang membawa semangat ingin terbebas dari kemapanan beririsan dengan jiwa musik indie. Sejatinya musik indie dibangun atas dasar kemandirian dalam berkarya, dengan tidak terafiliasi dengan label rekaman mayor. Maka dari itu mereka tidak perlu membuat lagu-lagu yang mengikuti selera pasar.
Sampai kini, pakaian-pakaian seperti kaos band, sepatu bot atau celana kargo, tak hanya dipakai oleh penikmat musiknya saja. Musisi-musisi pun masih mengenakannya ketika melakukan aksi di atas panggung. Ini membuat makna dari sebuah simbol makin awet.
Buku ini bisa menjadi rujukan bagi mereka yang ingin mengkaji simbol-simbol dalam kebudayaan tertentu yang menyimpan makna tersembunyi. Teorinya dapat diterapkan untuk mengkaji simbol berwujud, seperti pakaian, juga simbol yang tak berwujud, seperti bahasa. Namun, buku ini tidak bisa membantu banyak para pembaca untuk menganalisis budaya secara makro. Sehingga masih diperlukan referensi tambahan untuk melengkapi kajian budaya.
Penulis: Fadil B. Ardian
Editor: Naufal Nawwaf