Identitas Film
Judul : Bad Genius
Rilis : Agustus 2017
Negara : Thailand
Genre : Drama, Kriminal
Durasi : 96 menit
Sutradara : Nattawut Poonpiriya

 

Lynn selalu berprestasi di sekolahnya. Suatu waktu, Sang Ayah memindahkan Lynn ke sekolah terbaik. Banyak lulusan dari sekolah ini melanjutkan sekolah ke luar negeri. Menurut Sang Ayah, ini bisa mempermudah Lynn untuk menggapai mimpinya: bersekolah di Amerika. Sayang, pembiayaan untuk sekolah barunya terlalu mahal bagi Lynn dan ayahnya. Beruntung, ia mendapat beasiswa penuh. Itu pun ia dapatkan setelah me-lobby kepala sekolah dengan menyodorkan beragam piala dan sertifikat lomba yang ia juarai.

Di sekolah baru ia bertemu dengan Grace—yang kemudian menjadi sahabatnya. Grace-lah yang pertama kali menyadari kejeniusan Lynn. Kejeniusan Lynn ini kemudian tersebar di kalangan siswa yang nilai akademiknya bermasalah.

Patt, pacar Grace, memberi ide agar Lynn menjual contekan. Mulanya Lynn menolak ide tersebut. Namun, akhirnya ia pun mau karena keuntungannya menggiurkan. Ia bisa mendapat uang sebesar 1,2juta Baht per mata pelajaran dari tiap orang.

Patt berujar, “semakin bodoh kamu, semakin besar biaya yang harus dibayar.” Pernyataannya tadi muncul dari rasa pesimis Patt. Ia takut gagal di ujian sekolah sehingga mengambil jalan pintas dengan cara mencontek Lynn, si Jenius. Jadi, Patt dan kawan-kawan yang membeli contekan di Lynn sebetulnya bukanlah tokoh jahat, melainkan korban dari sistem pendidikan hari ini.

Tindakan mencontek ini berangkat dari sistem pendidikan yang menjadikan nilai atau hasil sebagai tolak ukur keberhasilan. Sistem ini dimanifestasikan dalam kurikulum. Salah satu indikator keberhasilan penerapan kurikulum dilihat dari hasil ujian siswa. Kegiatan belajar mengajar—tentu berbasis kurikulum—dikatakan berhasil jika siswa lulus ujian. Dan dikatakan gagal jika siswa tidak lulus ujian.

Iklan

Biasanya tipe soal ujian seragam. Di sini, umumnya hafalan materi siswa diuji. Ujian yang seperti ini tentu tidak sepadan dengan kemampuan dan potensi siswa yang beragam. Bisa saja Patt dan kawan-kawannya ini sadar betul akan kemampuan dan potensinya. Juga, mungkin mereka sudah merasa tak mampu jika nanti mengerjakan soal yang tak mereka pahami. Ini artinya ada kecenderungan mereka sama sekali tak berminat pada bidang atau mata pelajaran yang mereka pelajari selama ini.

Dus, mereka mencontek karena mereka realistis. Bukan karena malas. Toh, rasa malas mereka, dalam hal ini, hanya dampak dari rasa pesimis.

Patt dan kawan-kawannya tidak bodoh. Justru mereka cerdas, sebab mampu membaca peluang dari kebobrokan sistem ini. Di sisi lain, di film ini mereka juga beruntung terlahir sebagai orang ber-uang. Sehingga mudah dalam mengakses dan mencapai apa pun yang diinginkan. Hanya dengan membeli contekan, mereka bisa mendapat nilai tinggi tanpa harus belajar, tanpa berproses. Dan yang terpenting, mereka bisa lulus ujian.

Persoalan ini pun tak terlepas dari peran guru sebagai pendidik. Hari ini, kebanyakan guru-guru disibukkan dengan beragam hal demi mencapai standar kompetensi tenaga kependidikan. Khususnya yang sifatnya administratif. Tugas guru sebagai pendidik siswa hampir bergeser demi tercapainya standar ini. Siswa-siswa, bagi mereka, pun tak lain hanya sebatas ‘angka’. Guru-guru nyaris tidak memahami proses belajar siswa. Bahkan hampir selalu menihilkan latar belakang siswa. Akibatnya, tak jarang guru yang tak tahu potensi siswanya.

Akan tetapi, posisi guru pun dilema. Mereka harus mendidik siswanya sesuai dengan standar pendidikan nasional; sesuai dengan definisi negara. Jadi, harapan kebanyakan siswa bersekolah untuk mengasah potensi malah berbalik, menjadi menumpulkan potensi. Potensi mereka diasah sesuai dengan permintaan pasar tenaga kerja atau negara. Bukan sesuai dengan keinginan masing-masing. Ya, buktinya setelah lulus sekolah langsung mencari lapangan kerja. Bukankah itu artinya menyelingkuhi potensi siswa?

Hingga sekarang sistem pendidikan di sekolah yang seperti ini masih dipertahankan. Padahal sudah sepatutnya pendidikan yang manusiawi itu disesuaikan dengan potensi dan kemampuan siswa. Selagi sistem yang seperti ini masih bertahan, maka wajar saja mencontek dan perjokian menjamur di saat ujian. Sebab, mungkin banyak Patt-Patt lain yang pesimis.

Lantas salahkah mencontek jika sistem dan ujian menyelingkuhi potensi siswa?

Jangan salahkan mereka yang dianggap menyimpang. Coba pertanyakan kembali: mengapa mereka menyimpang?

Catatan untuk kalian para pembaca: berhati-hatilah. Film ini sangat inspiratif karena menyajikan bagaimana cara mencontek dengan lihai!//Lutfia H. 

 

Iklan

Editor: M. Muhtar