Judul Buku      : Masyarakat & Perang Asia Timur Raya
Penulis             : Aiko Kurasawa
Penerbit           : Komunitas Bambu
Tahun Terbit  : Cetakan Pertama, Maret 2016
Tebal                : xxx+ 274 halaman. ISBN 978-602-9402-61-2

 

Selama ini, mayoritas narasi sejarah di dunia selalu memfokuskan pada tema-tema besar seperti politik dan ekonomi. Jika tidak membahas tema tersebut, maka sudah hampir pasti penulisan sejarah akan memfokuskan pada sosok atau tokoh yang sangat berpengaruh di suatu wilayah. Alhasil, rakyat biasa hanya diposisikan sebagai figuran dalam perjalanan sejarah.

Di Indonesia, penulisan sejarah yang menjadikan rakyat sebagai subjek masih sangat sedikit. Hal tersebut baru digagas oleh Sartono Kartodirdjo dalam karyanya yang berjudul Pemberontakan Petani Banten 1888. Jika sejarawan Indonesia masih minim menuliskan hal tersebut, maka sudah hampir pasti para Indonesianis—sejarawan yang memfokuskan kajian tentang Indonesia— pun demikian.

Tercatat ada John Ingleson yang memfokuskan penelitian tentang buruh lewat karyanya Tangan dan Kaki Terikat dan Anton Lucas melalui buku Peristiwa Tiga Daerah. Hal demikian yang mungkin melatarbelakangi Aiko Kurasawa menuliskan buku ini. Sejarawan asal negeri sakura ini, coba menggambarkan kondisi masyarakat Asia yang dijajah oleh Jepang pada Perang Dunia (PD) II.

Ini tentu sangat menarik, sebab Aiko yang berasal dari Jepang. Kemudian, ia akan menceritakan negaranya dalam PD II. Keobjekitivitas seorang sejarawan atau peneliti tentu sangat diuji. Buku yang terdiri dari empat bab ini setidaknya memiliki tiga bagian penting.

Iklan

Pertama, konsep dan pemaknaan perang dunia menurut Jepang. Masyarakat Jepang mengingat perang dengan hati yang sangat pedih. Akan tetapi, bukan karena Jepang merasa bersalah karena menjajah, melainkan karena Jepang hancur akibat bom atom yang dijatuhkan oleh sekutu (hlm.xxv). Jepang menganggap perang yang dilakukannya pada PD II adalah hal wajar. Sebab, Jepang ingin membebaskan rakyat asia dari kolonialisme barat.

Aiko berpendapat, pembentukan kesadaran kolektif tersebut karena adanya pengubahan nama dan konsep perang. Aiko mencatat bahwa nama asli yang dipakai Jepang untuk berperang adalah Perang Asia Timur Raya. Namun, ketika Jepang menyerah kepada sekutu, Amerika menyuruh mengubah nama perang menjadi Perang Asia Pasifik (hlm.xxvi). Pemakaian istilah ini tentu saja mengaburkan tujuan dan sifat perang ini. Secara geografis, hanya sedikit wilayah jajahan Jepang yang masuk wilayah pasifik. Pemakaian istilah tersebut semakin membuat orang Jepang lupa tentang penajajahan Jepang di seluruh asia.

Kedua, jalannya perang. Ketika pecah PD II Jepang memiliki Sumber Daya Manusia (SDM) dan Sumber Daya Alam (SDA) yang sangat sedikit. Oleh sebab itu, Jepang membutuhkan dukungan dari rakyat yang dijajah. Inilah fokus utama penulisan buku ini. Rakyat menjadi sangat vital  perannya bagi kelangsungan perang Jepang. Bukan hanya rakyat jajahan yang dipekerjakan paksa, melainkan rakyat sipil Jepang yang juga dipekerjakan secara paksa oleh negaranya.

Lantas, Jepang merumuskan cara menggerakkan agar rakyat wilayah jajahannya—Indonesia, Singapura, Malaysia, Filipina, Mancuria, Korea, Vietnam, Taiwan, dan Hongkong— mendukung perang Jepang yakni dengan melancarkan propaganda. Dengan memanfaatkan tokoh-tokoh yang berpengaruh di masing-masing wilayah jajahan. Di Indonesia salah satu tokohnya ialah Soekarno (hlm.47-56). Propaganda ini seluruh bidang kehidupan dari agama, ekonomi, pendidikan, dan kesenian.

Alat propaganda yang paling ampuh yaitu melalui kesenian film. Film yang disajikan tentu saja kisah heroik militer Jepang dan semangat anti-barat. Terkadang pemimpin besar seperti Soekarno ikut dalam pemutaran film tersebut. Bagi kebanyakan orang saat itu, menonton film adalah pengalaman baru (hlm.223). Dari setiap propganda Jepang memang tidak membuat rakyat asia menjadi pro-Jepang. Namun, efektif untuk membangkitkan kolonialisme barat dan mempersiapkan segala yang dibutuhkan untuk  kemerdekan Indonesia seperti yang dikatakan oleh Soekarno dalam Auto Biografinya, Bung karno Penyambung Lidah Rakyat.

Setalah rakyat terjebak dalam propaganda Jepang. Rakyat kemudian digerakkan menjadi penopang utama untuk perang Jepang. Mulai dari mengeksploitasi petani, membuat angkatan perang cadangan tanah jajahan,  mengadakan kerja paksa (romusha), dan menculik perempuan untuk dijadikan budak seks tentara Jepang atau lebih dikenal dengan sebutan Jugun Ian Fu (hlm.129-160).

Ketiga, akhir perang, Jepang menderita kekalahan dari sekutu. Rakyat di negara jajahan Jepang merayakan hal tersebut. Mereka memproklamirkan kemerdekaannya. Namun, Aiko mempropes sikap Jepang yang masih menolak meminta maaf dan tidak membayar kompensasi korban perang. Jepang menganggap bahwa selama negara tersebut masih membutuhkan bantuan ekonomi Jepang, rasa dendam dapat dipadamkan (hlm.264).

Sebenarnya, Aiko pernah menuliskan buku lain yang secara terperinci tentang cara Jepang memobilisasi rakyat pada masa perang dalam buku Kuasa Jepang di Jawa (2015). Akan tetapi, fokus buku tersebut hanya memfokuskan wilayah Jawa dan propaganda Jepang.

Buku Masyarakat dan Perang Asia Timur Raya ini menarik  dibaca, meski Aiko hanya menggambarkan situasi secara umum dan kurang memaparkan secara rinci kompleksitas situasi kala itu. Hal lainnya, Aiko menarasikan dengan cara populer bahkan lebih tepat sebagai dongeng. Sebab buku ini ditulis sebagai kado untuk ulang tahun anaknya. Tak hanya itu, Aiko memiliki data dan wawancara yang lengkap terkait pelaku, korban hingga 138 foto pada masa penjajahan Jepang di Asia Tenggara yang belum pernah ditampilkan untuk publik.

Terkait Jugun Ian Fu, Aiko lebih mengutamakan sumber wawancara dengan korban. Hal ini mirip dengan yang dituliskan Pramoedya Ananta Toer pada buku Perempuan dalam Cengkraman Militer. Dapat dikatakan, pada buku ini Aiko berhasil menjaga objektivitasnya sebagai sejarawan. Namun, yang terpenting Aiko berhasil menjelaskan bahwa perang bukan sekadar senjata, melainkan sekaligus menggambarkan situasi masyarakat saat perang yang menyebabkan mobilitas orang, budaya, ekonomi, politik, dan bahasa.

Iklan

Virdika Rizky Utama