Jika kita berani melihat kenyataan perilaku masyarakat modern, mereka cenderung berperilaku mengikuti apa yang sudah ada. Simbol-simbol prestige yang mereka kejar, tidak lupa sifat boros hingga sifat tidak bisa membedakan mana kebutuhan dan keinginan, juga sesuatu yang banyak terjadi pada masyarakat modern.

Era modern menjadikan titik tumpu produksi yang dilakukan bebagai pihak melimpah. Dimana berbagai pihak berusaha memproduksi sesuatu secara cepat. Tak dapat dihindarkan  memang. Hal itu mulai terjadi saat terciptanya mesin cetak sekitar abad-15 hingga sekarang. Produksi dijadikan suatu tolak ukur yang sangat penting entah bagi suatu negara hingga individu yang malakukan kegiatan produksi.

Berbicara soal kegiatan produksi maka akan ada satu kegiatan lain yang mengikutinya yaitu kegiatan konsumsi. Konsumen, seorang yang melakukan kegiatan konsumsi mulai diperhitungkan sejak setelah perang dunia (PD) 2, terutama melalui ilmu bisnis. Sebelum memproduksi suatu barang atau jasa, produsen akan terlebih dahulu memperhitungkan konsumen. Entah itu selera konsumen, lingkungan konsumen, dan faktor-fakor lainnya yang berhubungan dengan konsumen.

Semua ini dimulai dari terciptanya benih-benih industri yang terjadi setalah PD 2. Setelah berakhirnya PD 2, sekitar  25 tahun  kemudian seorang sosiolog prancis bernama Jean Baudrilliard membuat dan mengeluarkan buku berjudul La Societe de Consummation  atau diterjemakan menjadi masyarakat konsumsi.

Baudrillard menyinggung masalah konsumsi ini dengan menyadarkan dirinya sendiri bahwa saat itu di Prancis sudah mulai terjadi konsumerisme yang hanya mementingkan nilai prestige atau kegengsian saja. Buku ini meskipun ditulis sekitar tahun 70-an tetapi masih relevan hingga sekarang karena buku ini mencerminkan perilaku konsumtif berlebihan masyarakat di Era Modern ini.

Baudrillard memulai buku ini dengan menjeslaskan kelimpahruahan yang terjadi saat ini. Penimbunan, kelimpahruahan tentu saja merupakan gambaran yang paling menakjubkan. Supermarket dengan timbunan makanan yang diawetkan, pakaian, bahan-bahan makan dan konfeksi seperti menjadi visi utama dan sebagai tempat geometris dari kelimpahruahan (hlm 4-5). Luar biasa memang jika kita memikirkan lebih jauh soal kelimpahruahan yang diciptakan para  industrialis.

Iklan

Saat kelimpahruahan terjadi diberbagai tempat maka tinggal bagaimana konsumen menghabiskan-nya. Idealnya saat konsumen ingin membeli barang atau jasa, dengan pilihan beragam yang kembali lagi diciptakan para industrialis maka konsumen akan memperhitungkan nilai fungsi barang tersebut atau mudahnya kegunaan barang itu.

Tapi kenyataannya saat ini ataupun tahun 70-an banyak konsumen yang malah membeli atau menghabiskan barang atau jasa dengan memperhitungkan nilai tanda, prestige dan simbol dimana nilai tersebut tidak ada ujungnya. Karena kegengsian akan terus ada sampai titik puncak dari strukutur sosial sekalipun. Penting untuk mengerti bahwa personalisasi pencarian status tingkat hidup ini didasarkan pada tanda-tanda, artinya tidak didasarkan pada objek atau barang itu, tetapi pada perbedaan-perbedaan(hlm 104).

Perbedaan-perbedaan tersebut didasarkan pada nilai yang ada di masyarakat tetapi sudah diubah oleh para industrialis itu sendiri. Mereka menciptakan mulai iklan-iklan yang menarik, menggoda, bahkan sering kali menggunakan seorang yang dikenal luas di masyarakat. Maka itu perlahan mengubah nilai yang ada di masyarakat hingga kita dapat merasakan perubahan itu sekarang.

Tanda-tanda itu mengubah perilaku masyarakat yang akhirnya tidak dapat membedakan mana sesuatu yang dibutuhkan atau penting dengan keinginan yang sebatas simbol untuk kegengsian. Bahkan iklan yang dibuat untuk menarik konsumen sudah diciptakan melalui ilmu marketing atau pemasaran yang dipelajari bertahun-tahun oleh seorang mahasiswa sekalipun, dengan inti menjual barang dengan berbagai cara. Tak ayal hanya karena tanda dan simbol barang konsusmsi saja sekarang dapat menentukan status sosial seseorang. Walaupun jika kita mengejar tanda dan simbol itu tidak akan ada habisnya.

Dukungan perkembangan teknologi untuk mengakses iklan tersebut semakin hari semakin mudah. Dengan bukti smartphone yang sangat mudah digunakan dan murah. Sebuah benda yang dapat mengakses banyak hal. Iklan-iklan tersebut membuat dampak baru yaitu hiperealitas.Hingga Baudrilliad berkata bahwa realitas yang nyata sekarang tidak dapat dibedakan dengan hiperealitas. Kondisi dimana iklan-iklan tersebut menimbulkan realitas-realitas baru.

Contoh iklan-iklan berbau kecantikan dimulai dari iklan make-up hingga ajang ratu kecantikan seperti miss world. Citra yang ditampilkan dengan tubuh langsing, kulit putih dan tinggi membuat-nya menjadi realitas. Itu hanyalah imajinasi dan ilusi dikemas apik oleh ilmu marketing. Pada akhirnya berubahlah makna kecantikan itu.

Contoh lainnya adalah facebook membuat realitas baru dimana siapapun dapat berkomunikasi lewat dunia maya tanpa batas, membuat semuanya terasa dekat. Padahal komunikasi itu hanya berlangsung semu bahkan tidak real (palsu).

Sedikit kesimpulan yang dapat diambil bahwa baudrilliard membuka kembali kesadaran kita agar saat mengkonsumsi barang apapun. Terkadang kita hanya terfokus pada tanda dan simbol prestige dari barang itu. Oleh sebab itu kita harus menjadi lebih bijak dengan kegiatan konsumsi yang akan terus kita lakukan. Fokuslah terhadap kebutuhan dan prioritas kita. Jangan tergoda oleh iklan-iklan yang membuat kita menjadi orang yang memiliki sifat boros dan terjebak dalam lingkar konsumerisme.

Penulis: Ihsan Dwirahman Sidiq

Editor: M. Muhtar

Iklan