Pagi itu bulan Agustus 1964, remaja bertubuh kurus bangun dari tidurnya, seperti biasa ia menjalani hidup sebagai koki. Walau hanya koki di warung kopi (warkop). Warung kopi tersebut terletak dekat Matraman.

Namanya adalah Rajo, pria kelahiran Banyuwangi. Usianya sekitar 18 tahun. Hidupnya sendirian di rumah bekas peninggalan orangtuanya yang telah lama mati. Ia terbiasa bangun pukul tujuh pagi, setelah bangun ia langsung mandi dan bersiap membuka warkop yang ia jaga.

Warkop tersebut merupakan milik pamannya yang bertubuh gempal. Namanya Wawan. Pamannya punya kelakuan aneh. Setiap hari tidak pernah luput meneriakkan “hidup PKI!” jika sedang bosan dijalan atau dimanapun. Syaratnya adalah kebosanan. Seperti yang terjadi dua hari lalu dimana Rajo dan pamannya sedang berjalan di trotoar ibu kota menuju pasar untuk membeli kebutuhan warkopnya. Mereka berdua tidak berbicara sepanjang jalan namun tiba-tiba pamannya berteriak.

“Hidup PKI! bangkitlah komunis! Aku cinta Aidit!” Teriak pamannya tiba-tiba. Sementara, Rajo hanya memasang muka aneh keheranan melihat tingkah tolol pamannya tersebut.

Pamannya merupakan simpatisan Partai Komunis Indonesia yang sebetulnya tidak mengerti komunis. Ia menjadi simpatisan PKI hanya karena PKI terlihat membela rakyat kecil yang tertindas. Sejak saat itu ia mulai mengagumi sosok D.N Aidit. Tidak tanggung-tangung, saking simpatinya dengan PKI, warkop miliknya penuh dengan warna merah dengan gambar lambang PKI.

Fanatisme berlebihan pamannya membuat Rajo kesal. Sesekali terlintas dalam benaknya untuk memukul dada pamannya, walau hal tersebut hanya melintas dalam pikirannya. Menurut Rajo hal tersebut adalah revolusi dalam pikiran. Sama seperti revolusi yang juga sering dipekikkan orang-orang partai tersebut. “Revolusi!”

Iklan

Setelah sampai di warkop, Rajo langsung bersiap jika ada pembeli yang memesan kopi. Kadang ada  pula yang memesan mie instan. Kebanyakan pembeli warkop tersebut merupakan teman dari pamannya yang juga merupakan simpatisan dari PKI.

Tak lama setelah warkop tersebut buka, datang seorang yang selalu mampir di warkop tersebut, ia adalah Bang Jek. Bang Jek merupkan salah satu simpatisan PKI, ia juga salah satu teman Wawan.

“Hey kerempeng, berikan aku kopi yang segar” seperti biasa, satu gelas kopi dipesan Bang Jek dengan sapaan khusus untuk Rajo menggunakan nada bataknya.

“Siap bang Jek, gimana masih betah jadi pendukung PKI? Gamau masuk Masyumi?,” kelakar Rajo sambil tersenyum.

“Hey bodoh aku ini Kristen,” sanggah Bang Jek.

Bang Jek sebenarnya tukang becak, tapi tukang becak yang dianggap terhormat oleh masyarakat sekitar. Sebab, walaupun ia tukang becak ia juga menjadi guru SD di kampungnya. Bang Jek sudah menjadi simpatisan PKI sejak tiga tahun yang lalu. Karena teman-temannya gabung kedalam PKI, ia pun bergabung dengan PKI. Hitung-hitung solidaritas antar teman katanya.

Bang Jek adalah salah satunya, yang kebetulan datang pagi ini. Hari-hari Rajo dipenuhi dengan obrolan-obrolan para simpatisan di PKI. Namun Rajo sama sekali tidak tertarik pada hal tersebut, ia tidak pernah merasa tertarik dengan hal-hal yang berbau politik. Ia lebih suka hidup seperti sekarang .Hanya menjadi koki warung kopi. Walau digaji seikhlasnya. Harga saudara.

Hari ini adalah hari keberuntungannya, di mana dadanya merasa ingin meledak ketika ia melihat anak dari pimpinan PKI Jakarta Timur berkunjung ke warkop tersebut bersama bapaknya. Wanita tersebut berambut pirang sebahu dan berkulit putih layaknya Raisa di abad 21. Namanya adalah Surni, ini adalah pertama kalinya ia menginjakkan kakinya di warkop tersebut.

Tiap hari, rasanya sama saja. Terkecuali hari ini. Meskipun sama-sama diisi oleh pekikan “hidup PKI”. Ia seakan melihat bunga yang tumbuh diantara kotoran-kotoran sapi. Perumpamaan yang tiba-tiba terlintas dikepalanya.

Ada gairah yang menghujaninya. Ketertarikan dengan wanita. Namun ia tidak langsung menunjukan ketertarikannya kepada Surni. Seolah pria gagah yang disukai banyak wanita, ia menjual mahal dirinya.

Iklan

“Mas, aku minta mie instan satu ya,” pinta Surni kepada Rajo

“Oh iya Mbak, ditunggu aja ya,” Rajo berkata menunduk tanpa sedikitpun melihat tubuh Surni.

Andaikan dunia ini adalah dunia binatang, Rajo pasti langsung memperkosa Surni di hadapan umum. Begitulah dalam pikiran Rajo. Sialnya dunia ini adalah dunia manusia dan ia ingin dipandang orang-orang sebagai pria idaman wanita. Walaupun hal tersebut tidak mungkin terjadi, mengingat ia bukan pria yang tampan dan kaya.

“Ini Mbak mienya,” Rojo menyodorkan mie instan tersebut.

Tak berapa lama setelah mie tersebut habis, ayahnya mengajak Surni untuk pulang dan meninggalkan warkop tersebut.

Namun, setelah itu, serasa sial dialami. Surni tak kunjung datang kembali ke warkop tersebut selama beberapa pekan. Hidupnya bagai tak ada arah, ia hanya bertemu Bang Jek di warkop dan kembali bertemu teriakan “hidup PKI”, hidupnya serasa lebih buruk daripada sebelum ia kenal Surni, dahulu ia hanya mendengar pekikan “hidup PKI”, namun kini penderitaan tersebut kian bertambah ketika Surni tak kunjung datang.

***

Akhirnya setelah menunggu beberapa pekan dengan kerinduan yang begitu dalam, Rajo dapat kembali bertemu dengan Surni. Pertemuan tersebut tidak disengaja dan pertemuan tersebutlah yang akan menentukan jalan hidupnya.

Pada waktu itu Rajo sedang berjalan-jalan mencari angin karena hari itu adalah hari liburnya. Tapi tak disangka, ia bertemu Surni di perempatan jalan Matraman. Surni langsung melambaikan tangan ke arah Rajo. Kemudian, pikiran Rajo yang ingin memperkosa Surni kembali muncul. Tapi dihalaunya supaya hilang. Setelah basa-basi, ternyata Surni ingin pergi menjemput bapaknya yang mengahadiri pertemuan simpatisan-simpatisan PKI. Katanya, ada di daerah Pulogadung. Tapi, Surni tidak mengetahui tempat tersebut.

Beruntungnya Rajo, karena ia mengetahui tempat tersebut. Kebetulan pula pamannya pun sedang berada disana. Rajo langsung menawarkan Surni untuk mengantarnya ke tempat tersebut dan tanpa berpikir dua kali Surni pun langsung mengiyakannya.

Mereka berangkat dengan kendaraan umum. Rajo dan Surni memandang megahnya ibu kota pada masa itu. Di dalam kendaraan umum tersebut akhirnya mereka berbincang banyak hal. Salah satu yang menyatukan mereka, yaitu sama-sama tidak menyukai aktivitas yang berbau politik. Karena politik hanya berisi pertikaian. Ternyata mereka berdua merasa cocok dan benih-benih cinta pun merasuk ketubuh Surni.

***

Akibat pertemuan yang tidak lama bagi Rajo, membuat  mereka jadi sering bertemu. Surni sering mengunjungi warkop dan mereka pun sering berkeliling Ibukota. Tak terasa mereka telah menjalin kedekatan selama satu tahun.

Sial kembali bagi Rajo. Kedekatan mereka dihancurkan oleh peristiwa berdarah yang tak ada habisnya.

Setelah malam itu, 30 September 1965 para jendral Angkatan Darat dibunuh oleh pasukan Tjakrabirawa, dan berita mengenai hal tersebut baru diketahui Rajo keesokan harinya. Rajo sendiri tidak mengenal jendral-jendral yang dibunuh tersebut. Karena ia tidak pernah peduli akan hal yang berbau polittik Indonesia.

Setelah kejadian berdarah itu, Rajo menjalani hari-harinya dengan biasa. Ia membuka warkopnya pada pagi hari dan bersiap menunggu pembeli. Anehnya setelah beberapa minggu berlalu, orang-orang semakin jarang berkunjung ke warkopnya. Ia pun belum bertemu pamannya dari beberapa hari lalu. Akhirnya, ia memutuskan untuk berkunjung ke rumah pamannya yang tidak jauh dari warkopnya.

Sampai di rumah pamannya, ia melihat pamannya tengah bersiap untuk pergi meninggalkan rumahnya dan entah pergi kemana.

“Paman mau kemana?” Tanya Rajo dengan wajah kebingungan.

“Tutup warkop kita dan kamu bersiap untuk tinggalin kota ini,” kata pamannya dengan nada terengah engah.

Rajo bingung dengan hal tersebut. Sampai pamannya menjelaskan bahwa banyak simpatisan PKI yang ditangkap dan dibawa ke Jawa Tengah, Jawa Timur dan Bali untuk di eksekusi. Mereka bilang dalang dari pembunuhan jendral-jendral tersebut adalah PKI.

Hal tersebut membuat Rajo bingung karena apa masalah pamannya dengan pembunuhan jendral tersebut. Bahkan pamanya saja tidak termasuk dalam struktur PKI. Mengerti komunis saja tidak. Akhirnya pamannya meninggalkan Rajo. Namun Rajo tetap tinggal di kota tersebut dan malah menghawatirkan Surni.

Tanpa berkata-kata ia pun langsung menuju rumah Surni. Sesampainya disana, ia hanya menemukan rumah kosong yang tidak lagi berpenghuni. Padahal ia baru menemui Surni seminggu yang lalu. Hal tersebut membuatnya semakin takut jikalau Surni kenapa-napa. Akhirnya ia kembali ke rumahnya.

Keesokan harinya ada dua orang berpenampilan tegap berkunjung ke rumahnya. Mereka memperkenalkan diri. Satu bernama Anto dan satunya lagi adalah Marno. Penampilan mereka berdua terlihat ramah dan tidak membuat Rajo curiga sama sekali. Mereka pun mengajak Rajo ke suatu tempat untuk menanyakan beberapa hal.

Rajo ikut sama dengan mereka menggunakan mobil jeep yang terlihat mewah, Rajo pun dibawa ketempat yang ia sendiri tidak tau ada dimana, ia dibawa ke suatu rumah biasa dan diintrogasikan.

“Kamu kenal dengan Wawan?” Tanya Anto

“Iya saya kenal. Kan dia paman saya,” jawab Rajo dengan tegas.

“Oooh berarti kamu komunis juga kan?” kembali Anto bertanya.

“Bukan. Saya bukan komunis,” Rajo pun menyanggah pertanyaan tersebut.

Anto dan Marno pun terlihat berbisik di depan Rajo, tiba-tiba Marno mengambil balok kayu dan langsung menghantam punggung Rajo. Rajo terlihat kesakitan dan bingung kenapa ia dipukul.

“Sekali lagi kamu bohong, balok ini akan saya pukul ke kepala kamu!” Bentak Marno

“Kamu itu PKI kan?” Tanya Anto dengan membentak

Hilang sudah wajah bersahabat mereka. Tapi lagi-lagi Rajo tetap kukuh dengan jawabannya bahwa ia bukanlah PKI dan ia tidak tau apa-apa mengenai pembunuhan jendral itu.

Anto pun menjelaskan bahwa pamannya dan bang Jek telah mati karena tidak mau mengakui bahwa mereka terlibat dalam pembunuhan para jendral. Hal itu membuat Rajo sangat kesal lantaran ia sangat mengetahui bahwa mereka berdua tidak tau apa-apa.

Rajo pun masih ditanyai hal yang sama apakah ia PKI atau bukan. Dan jawaban Rajo pun tetap sama ia bukanlah PKI.

Kekukuhanya membuat 4 kukunya telah terlepas dari jari-jarinya. Ia terus meringis kesakitan, namun Anto dan Marno tetap tak kenal ampun dan masih saja memukul Rajo. Seluruh tubuh Rajo sudah terlumuri oleh darahnya sendiri.

Rajo sudah sampai batasnya sebentar lagi nyawanya akan hilang oleh penyiksaan yang tiada henti. Di ujung kematiannya, ia mengingat Surni dan berharap Surni akan terus hidup. Rajo mati dengan pukulan balok tepat di arah kepalanya, ia mati dalam keadaan ia tidak tau kenapa ia harus mati.//Aditya Septiawan

 

Editor: M. Muhtar