Judul : Kuasa Rahim: Reposisi Perempuan Asia Tenggara Periode Modern Awal 1400-1800

Penulis : Barbara Watson Andaya

Penerjemah : Aditya Pratama dan Yayum Kumai

Tahun terbit : 2021

Penerbit : Komunitas Bambu

Halaman : xxviii+388

Iklan

Kesadaran akan peran gender kian semarak di abad ke-19 hingga sekarang. Berbagai tokoh perempuan yang menggaungkan ideologi mengenai equality begitu banyak. Akan tetapi, perlu diingat kembali bagaimana kesadaran itu terbentuk dengan meneropong masa lalu.

Lebih banyak sejarawan yang fokus meneliti peran gender di abad ke-19 dan ke-20 karena sedikitnya catatan informasi pada abad sebelumnya. Kisah Ken Dedes menjadi pemantik awal Barbara Watson Andaya meneliti dan menuangkannya ke dalam buku “Kuasa Rahim: Reposisi Perempuan Asia Tenggara Periode Modern Awal 1400-1800”. Ken Dedes merupakan ratu Jawa legendaris yang digambarkan sebagai perempuan mandiri dan memiliki posisi penting, tetapi nasibnya sepenuhnya digenggam laki-laki.

Gabungan Organisasi Ekstra Kampus UNJ Menuntut Cabut Permendikbudristek No. 2 Tahun 2024

Pada masa berburu meramu, masyarakat yang berpindah-pindah diikuti dengan perpindahan lahan pertanian. Masa itu menggambarkan kerja sama antara laki-laki dan perempuan. Laki-laki bertugas membuka lahan pertanian dengan menebang dan membakar pohon. Sedangkan perempuan mencabuti ranting dan memulai menanam bibit hingga memanen.

Hatta, masyarakat mulai menetap di suatu wilayah, pembagian kerja gender semakin terlihat. Apalagi bila dipandang dari kacamata sejarah secara geografis. 

Pada 1930-an, seorang sarjana menyimpulkan bahwa perempuan dapat “[berperan] lebih banyak di India perbukitan ketimbang India dataran” karena di sana tiada adat istiadat seperti purdah, pernikahan anak, dan pengucilan janda. Halaman 27.

Di dataran tinggi, kontribusi perempuan dalam produksi dan upacara pertanian menentukan status mereka. Perempuan aktif dalam upacara pertanian karena disimbolkan dengan kesuburan dan reproduksi. Perempuan juga aktif dalam dunia pemasaran dan perdagangan. 

Di dataran rendah, pertaniannya lebih komersial. Awal mulanya pertanian hanya menghasilkan beras, tetapi akhirnya juga harus menghasilkan lada. Semua itu demi membayar pajak yang ditetapkan pemerintah kolonial.

Meningkatnya penanaman lada seiring permintaan pasar menimbulkan pembagian kerja gender yang baru. Tanaman lada digarap melalui pengorganisiran unit keluarga. Laki-laki membuka lahan. Sedangkan perempuan menanam bibit muda, memberantas gulma, dan merawat tanaman hingga panen. Pembagian gender dalam menanam tanaman komersial sulit diadaptasi dalam rumah tangga, karena perempuan juga mesti mengurus hajat domestik.

Komersialisasi domestik juga mulai merambah ke dalam dunia tekstil. Perempuan memiliki tugas tambahan untuk memintal benang dari kapas atau sutra. Komersialisasi produksi kain atau tenun berpautan pula dengan laki-laki. Hal ini menimbulkan penetapan harga hasil tenun yang dilakukan laki-laki lebih tinggi daripada perempuan. 

Iklan

Seiring perubahan corak produksi yang dibawa kolonialisme, masuk pula ideologi yang mengguncang peran gender. Abad ke-15 elite Sino-Vietnam meniru tatanan dunia ala neo-Konfusianisme, yang memiliki keyakinan bahwa hubungan laki-laki dan perempuan perlu diatur untuk mencegah kejatuhan negara. Maka, tidak heran apabila penguasa (negara) ikut campur dalam hubungan rumah tangga seperti pernikahan, perceraian, sampai perzinahan. 

Jika, sebagaimana digariskan oleh sebuah undang-undang Vietnam, perkawinan merupakan “dasar hubungan sosial,” lantas hierarki laki-laki-perempuan di dalam rumah tangga seharusnya mencerminkan apa yang disebut oleh sarjana sebagai “rezim gender” negara. Halaman 208.

Di Vietnam, sebelum Konfusianisme masuk, masyarakat masih lekat dengan adat istiadat. Orang bebas memilih pasangannya, tinggal bersama mertua (matrilokal), kemudahan bercerai, kemandirian ekonomi perempuan, dan pelarangan pernikahan janda. Pernikahan janda dilarang karena di tengah masyarakat Hinduisme, ungkapan tertinggi pernikahan adalah kesedihan seorang janda dengan melakukan sati (aksi bakar diri) saat jenazah suaminya dikremasi.

Konfusianisme mulai ditinggalkan dengan masuknya agama-agama dunia seperti Islam dan Kristen. Apalagi kedua agama tersebut disambut baik oleh masyarakat dan memiliki citra yang sama sebagai agama penyembuh. Islam dengan pengobatan air doanya dan Kristen dengan pembaptisannya.

Agama Islam memberi dampak besar bagi nasib para janda. Dalam Islam, seorang janda diperbolehkan untuk menikah lagi. Sehingga, budaya sati lambat laun ditinggalkan. Namun, diperbolehkannya poligami dalam Islam menimbulkan banyak perdebatan. Bahkan, banyak laki-laki yang menolak hal ini.

Wajah Lain Neoliberalisme Pendidikan Tinggi

Sedangkan Kristen menganjurkan untuk mengamalkan monogami. Akan tetapi, memeluk agama ini bukan jalan yang mudah bagi perempuan. Mereka dapat kehilangan kebebasan karena misionaris menentang tradisi yang memperbolehkan janda memberikan harta benda untuk melestarikan pemujaan roh nenek moyang. Bersamaan dengan itu, Kristen memberikan kekuatan dengan adanya komunitas Pecinta Salib Kudus sebagai wadah perlawanan perempuan.

Bersamaan dengan itu, muncul pula ekonomi global di pelabuhan dan kota-kota besar. Ramainya hubungan dagang antara Semenanjung Kepala Burung dan Nusantara, membuat kepala suku saling bersaing dan memaksa kawula perempuan untuk menikah dengan orang asing agar mendapat barang berharga. 

Dari pernikahan itu pula laki-laki mendapat tanah dan akses untuk tinggal di daerah tersebut. Ketika itu, warisan tanah digariskan pada keturunan ibu. Akan tetapi, perempuan yang membawa tanah (sawah) ke dalam pernikahannya tidak punya kuasa. Setiap penjualan harus dirundingkan dan disetujui oleh laki-laki.

Di satu pihak, di perkotaan dan pelabuhan perempuan dapat menekuni agama, meraih banyak kesempatan ekonomi, dan dapat pula membangun hubungan perkawinan yang menguntungkan. Tetapi, di lain pihak, di pusat-pusat kota kita juga dapat menjumpai bermacam gejala awal maraknya kemiskinan perempuan, kekerasan domestik, dan anak terlantar. Halaman 176.

Masuknya agama-agama dunia yang sangat melarang hubungan pranikah, justru menambah jumlah pelanggan lokal. Begitu pula muncul istilah “pernikahan sementara” menerangkan komodifikasi seks. Pada pernikahan sementara, perempuan menjadi rentan. Di Vietnam, ketika ekonomi keluarga menjadi berat, mereka akan menggadaikan anak perempuan dan istri sebagai budak utang.

Sejauh ini, penyebab kerentanan perempuan tidak tunggal. Tergantung zaman dan konteks masing-masing wilayahnya. Pembabakan zaman dan wilayah di Asia Tenggara sifatnya cukup problematik. Sebab, ada perbedaan politik antara daerah Asia Tenggara Daratan (pedalaman) dengan daerah Asia Tenggara Kepulauan. Di negara tertentu, misalnya Indonesia sendiri memiliki banyak perbedaan budaya antar wilayahnya.

Kita dapat melihat bagaimana Barbara Andaya menemukan berbagai situasi perempuan di balik minimnya informasi. Cakupan Asia Tenggara sangat besar dan kompleks, maka dari itu tidak semua terjamah dalam kajiannya. Pendekatan interdisipliner tepat digunakan karena sangat membantu dalam verifikasi informasi yang ada. 

Namun reposisi secara general perempuan Asia Tenggara cukup menyulitkan, khususnya memetakan antar konteks yang dibahas. Penjelasan di tiap topik begitu kompleks dan cenderung melompat-lompat. Pembahasan mengenai satu topik, akan diteruskan penjelasannya di bab yang berbeda dan jauh dari bab yang dibahas sebelumnya. Maka dari itu, perlu ketelitian agar mengetahui konteks wilayah dan tahun dengan topik  yang dibahas.

Penulis: Sonia

Editor: Ezra