Tanah mestinya ditanami

Sebab hidup tak hanya hari ini

Jika sawah diratakan

Rimbun semak pohon dirobohkan

Apa yang kita harap?

Dari cerobong asap besi…

Iklan

Mungkin sepenggal puisi dari Wiji Thukul tersebut, dapat sedikit menggambarkan konflik agraria yang terjadi di negeri ini.

Beberapa tahun terakhir konflik agraria semakin subur, sesubur laju masuknya investor asing di Indonesia. Kita ambil satu contoh konflik yang terjadi di Urutsewu, pesisir Kebumen Jawa Tengah. Konflik bermula dari datangnya surat “Peminjaman Tempat” guna latihan ke kepala desa setempat pada 1982 yang belakangan diketahui hanya surat pemberitahuan latihan semata.

Pasca memakan korban seorang anak tewas, yakni Surip bin Kasiman warga desa Ambalresmi, mulai terjadi penolakan dari warga setempat. Maka atas usul kades Setrojenar saat itu latihan dipindahkan ke Setrojenar tetapi usulan itu ternyata tak menyertakan musyawarah para petani pemilik tanah. Pada 1997 tepatnya 22 maret bukan hanya 1 tapi 5 korban tewas, berlebih para orang tua korban tak mendapat ganti rugi atas kematian anaknya.

Sejak saat itu perlawanan mulai terjadi hingga Februari 2009 berdasar hasil musyawarah yang diikuti bukan hanya warga Setrojenar saja. Tapi desa lainnya seperti desa Entak, Bencong, serta beberapa perwakilan dari kecamatan Ambal yang sama-sama merasakan perampasan hak mereka. Maka dibangunlah gapura wisata di sekitar pantai Setrojenar sebagai visualisasi perlawanan atas ketidakadilan.

Reaksi pun muncul, pihak TNI melalui Kodim 0709/Kebumen melayangkan surat permohonan kepada bupati kebumen saat itu (K.H. Nassirudin. AM) untuk menginstrusikan pembongkaran gapura tersebut. Karena pembangunanya tanpa seizin pihak TNI. Dalam surat itu juga tertera dasar permohonan pihak Kodim terhadap indikasi klaim ganti rugi atas tanah pesisir yang terkena tras pembangunan jalan lintas-selatan (JLSS). Perihal indikasi klaim ini menyadarkan ingatan kolektif warga terhadap ancaman penguasaan tanah pesisir wilayah desa.

Perlawanan pun menjadi pilihan seiring kebrutalan yang bertambah dengan dipasang patok pembatas tanah untuk latihan TNI. Padahal biasanya hanya ditandai bendera merah. Atas inisiatif bersama patok tersebut dilepas. Hingga keluarlah ultimatum lewat Pangdam IV Dipenogoro untuk melakukan pematokan kembali dan akan dikeluarkan tindakan tegas jika patok itu dilepas. Bahkan dipesisir Urustsewu telah dibangun 33 pos penjaga yang semuanya didirikan diatas tanah petani tanpa izin sama sekali. Di desa Setrojenar dibangun menara pengawas 3 lantai diatas tanah milik Mihad petani setempat, hingga terjadi pemagaran di sekitar daerah tersebut.

Tapi paradigma yang dimunculkan TNI seolah tak terjadi perlawanan dan para petani secara sukarela menyerahkan tanah mereka, atau adanya bias pelaporan kejadian di lapangan, serta indikasi kepentingan politik dan ekonomi yang terselubung.

Kasus di atas yang melibatkan TNI sebagai aparatur negara yang seharusnya membantu penyelesaian konflik, malah ikut-ikutan mendiskiriminasi petani. Akan bertambah parah lagi jika RUU pertanahan disahkan, karena dalam beberapa pasalnya mendukung hal tersebut. Seperti pada pasal 89 berisi ancaman kriminalisasi bagi rakyat yang melakukan perlawanan untuk mempertahankan tanahnya, bukan tanpa alasan jika RUU ini disahkan akan timbul urutsewu-urutsewu baru di negeri ini bahkan akan menambah panjang daftar hitam korban kriminilasi, data akhir tahun 2018 dari KPA (Konsorsium Pembaruan Agraria) sepanjang tahun 2014-2018 saja sudah ada 41 orang diduga tewas, 546 dianiaya, 51 tertembak ,Serta konflik lahan yang terjadi sebanyak 807.177 h didominasi lahan sawit sejumlah 591.640 diikuti dengan hutan 65.000 h, pesisir 54.000 h, serta tambang 49.000 h.

Ditambah dengan pendirian Bank Tanah oleh pemerintah berfungsi mengumpulkan tanah yang tak jelas pemiliknya, untuk dikembalikan kepada negara. Indikasi ini seperti mengaktifkan kembali Domain Verklaring di masa kolonial karena pada pasal 36 RUU pertanahan yang mewajibkan permohonan perpanjangan 5 tahun sebelum hak atas tanah berakhir. Jika tidak maka lahan yang tidak bisa dibuktikan pemiliknya harus dikembalikan pada negara.

Belum lagi pada pasal 25 yang memuat tentang perpanjang HGU yang diberikan selama 35 tahun bisa diperpanjang selama 2 kali sampai 90 tahun dengan memperhatikan umur tanaman, skala investasi, daya tarik investasi. Hal tersebut semakin memaksa para petani untuk meninggalkan lahan mereka sebab peraturan tersebut semakin mempersempit lahan pertanian sehingga pada akhirnya mereka terpaksa menjadi buruh di atas lahan mereka sendiri.

Iklan

Sepatutnya para pemegang kekuasaan dalam merumuskan RUU Pertanahan kembali ke UUD 1945 pasal 33 ayat 3 menyebutkan, “bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat” agar tak terjadi ketimpanagan sosial. Sebab RUU ini seperti mendukung para Investor untuk semakin menguasai lahan dan juga memeras kaum pribumi di negeri ini.

Dengan penangguhan pengesahan sementara waktu. Bukan berarti perlawanan berhenti, jika lengah bisa seperti RUU KPK yang dalam proses pengesahannya seperti kejar setoran. Maka sewajarnya kesadaran kolektif harus kita bangun karena ancaman ini bukan hanya untuk para petani saja melainkan untuk seluruh golongan masyarakat. Kawal terus RUU pertanahan jangan lengah, jika tidak kita akan semakin dibodohi.

Penulis: Mukhtar Abdullah