Angkasa Pura menyebutkan bahwa tanggal 4 Desember adalah hari terakhir warga untuk mengosongkan lahan. Aparat berhasil dipukul mundur oleh aktivis dan warga yang masih tidak ingin menjual tanahnya kepada pihak Angkasa Pura. Akan tetapi, Selasa 5 Desember 2017 sekitar jam 10 pagi aparat datang dan menangkap 12 aktivis. Rimba, salah satu aktivis yang ditangkap oleh aparat, bercerita, sekitar tiga puluh menit sesampainya ia di Kulon Progo, aparat yang terdiri atas Tentara Angkatan Udara, Angkatan Darat, Polisi Pamong Praja, beserta pihak Angkasa Pura datang. Mereka menghadang dari berbagai sisi langsung menebangi pohon milik warga dan ingin merobohkan salah satu rumah warga. “Sempat terjadi cek-cok antara warga dan aparat. Kami niatnya ingin bantu warga, tetapi jumlah aparat terlalu banyak ada sekitar 300 orang lebih. Akhirnya, beberapa warga dan beberapa aktivis ada yang ditendang, diseret, dan dipukul. Saya sendiri dijambak lalu diseret sampai ke tengah jalan raya,” kisah Rimba.

Rimba menuturkan bahwa ia sama sekali tidak paham kenapa sampai ditangkap oleh aparat dan dibawa ke PT Pembangunan Perumahan (PP) lalu setelah itu dibawa ke polres Kulon Progo. Padahal, Rimba mengaku kedatangannya ke Kulon Progo adalah salah satu bentuk bersolidaritas untuk warga Kulon Progo yang masih mempertahankan haknya.

Dilansir dari Tirto.id Kapolres Kulon Progo AKBP Ifran Rifai membenarkan ada penangkapan terhadap beberapa aktivis. Beberapa aktivis tersebut dibawa ke Polres Kulon Progo karena diduga memprovokasi warga sekitar. “Bukan menangkap, tapi kami mengamankan karena mereka memprovokasi warga, menghalang-halangi proses,” tuturnya. Rifai juga membantah terkait beredarnya kabar pemukulan terhadap aktivis yang saat itu diperiksa. “Soal pemukulan, tidak benar ada pemukulan terhadap aktivis,” kata Irfan.

Menanggapi hal tersebut, Mohammad Muslich, salah satu aktivis yang juga dibawa ke Polres membantah pernyataan polisi yang tidak menyatakan tidak ada pemukulan terhadap beberapa aktivis. Muslich  mengatakan bahwa perlakuan polisi terhadap penangkapan 12 aktivis pada pagi hari dan 3 aktivis pada sore hari, sama sekali tidak manusiawi. Muslich  merasa tidak bersalah sama sekali. Berdasarkan ceritanya, ia hanya menolong warga yang kepalanya berdarah terkena batu, lalu ditangkap dan diseret ke jalan raya. “Saya mendengar polisi mengatakan bahwa selain warga asli, angkat kaki dari Kulon Progo,  loh orang kami bersolidaritas kok dilarang. Katanya Bhineka Tunggal Ika kok malah dipecah belah,” ujar salah satu mahasiswa Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga itu.

Menurut keterangan Muslich , polisi melakukan tindak kekerasan bukan hanya pada saat penangkapan di dekat rumah warga saja. Ia menuturkan,  pada saat mereka dibawa dari PT PP ke Polres Kulon Progo mereka juga disuruh berjalan jongkok ketika turun dari mobil polisi untuk masuk ke dalam ruangan polres. “Saya berontak saya katakan pada polisi, saya tidak mau jalan jongkok, saya bukan kriminal dan saya sama sekali tidak merasa bersalah,” ujarnya. Lalu polisi malah memegangi tangan Muslich  dan memukuli bagian perut Muslich  berkali-kali sambil diseret masuk ke dalam polres.

Setelah masuk ke dalam Polres Muslich  diintrogasi, polisi menanyakan identitas dan keperluan apa Muslich  ke Kulon Progo dengan nada yang membentak. Seketika Muslich  berontak dan  berkata, “ saya tidak menerima perlakuan dari bapa, saya mahasiswa dan saya belajar jurnalistik. Saya bisa menuliskan apa yang saya alami disini. Terus polisi bilang kalau Standar Oprational Procedure (SOP)-nya memang begitu. Seandainya begitu bagaimana citra polisi? Apakah dibenarkan tanpa tahu apa yang terjadi langsung dipukul?” Polisi itu langsung diam dan tidak bisa jawab.

Iklan

Muslich  mengatakan polisi juga melakukan pelanggaran dengan menyita semua barang-barang dari aktivis. “Beberapa data dari kawan-kawan Lembaga Pers juga di hapus. Video tentang pemukulan dan tindak kekerasan dihapuskan oleh polisi,” tuturnya.

Menanggapi tuduhan polisi terhadap aktivis bahwa mereka telah memprovokasi warga, Muslich mempertanyakan, “apakah bersolidaritas berarti memprovokasi? Ia juga menambahkan, “saya hanya membela masyarakat, sebelum kesini saya juga sudah ada pembacaan dan mempelajari kasusnya. Saya berfikir saya membela masyarakat karena saya merasa masyarakat benar.”  Akhirnya, sekitar pukul 9 malam 15 tawanan aktivis dibebaskan, karena polisi tidak bisa membuktikan bahwa 15 aktivis bersalah.

Menurut Wisnu yang merupakan anggota  Indonesian Court Monitoring (ICW) kekerasan terhadap aktivis akan segera di proses ke jalur hukum. “Mengenai kasus ini, sekarang sedang dirapatkan oleh tim advokad,” ujarnya.

 

Penulis : Uly Mega Septiani