Kampus bukan saja tempat mahasiswa untuk berkuliah di dalam kelas. Namun juga harus memberikan ruang seluas- seluasnya dalam mengakomodir kegiatan mahasiswa yang terdapat di dalamnya. Oleh karena itu, keberadaan organisasi mahasiswa menjadi hal wajib yang mesti dimiliki setiap perguruan tinggi.
Organisasi mahasiswa di Indonesia telah menorehkan sejarah penjanganya, mulai dari berdirinya Boedi Utomo. Ada pula perkumpulan yang dibentuk oleh mahasiswa Indonesia yang sedang belajar di Belanda. Dengan nama Indische Vereeniging yang kemudain berubah menjadi Perhimpunan Indonesia pada 1925 dengan salah satu tokoh utamanya Mohamad Hatta.
Katakanlah kebangkitan Nasional Indonesia disimbolisasi dengan kelahiran Boedi Utomo sebagai organisasi gerakan pertama yang didirkan oleh sembilan orang mahasiswa pribumi di STOVIA. Sebuah perkumpulan dari sebagian kecil mahasiswa yang kemudian menjadi simbol lahirnya kebangkitan nasional.
Perhimpunan dan organisasi mahasiswa terus memeberi andil dalam kehidupan politik Indonesia. Misal, angkatan 1966 yang kemudian menggulingkan orde lama dengan perhimpunan mahasiswanya.
Kemudian pada 1978, kala itu iklim politik terasa terlalu represif pada ruang gerak mahasiswa yang praktis mematikan gerakan besar mahasiswa selama beberapa tahun akibat diberlakukannya konsep Normalisasi Kehidupan Kampus/ Badan Koordinasi Kemahasiswaan (NKK/BKK) oleh pemerintah secara paksa.
Kebijakan yang disahkan oleh Daoed Yusuf pada 1979 itu dilakukan dalam usaha mengarahkan mahasiswa agar sibuk dalam kegiatan akademik kampus semata. Tanpa menghiraukan iklim politik Indonesia dan tidak membahaykan rezim. Dalam kondisi yang apolitis didalam kampus, mahasiswa kemudian mengeser pola gerakannya pada kegiatan ekstra kampus yang diwadahi berbagai Lembaga Swadaya masyarakat (LSM).
Awal 1990-an NKK/BKK dihapuskan maka mahasiswa mulai dapat membentuk organisasi dengan kelembagaan yang lebih independen walaupun rezim kala itu tetap berlaku secara represif. Hingga pada 1998 muncul gerakan mahasiswa yang berasal dari berbagai organisai intra dan ekstra kampus dan kembali berhasil menggulingkan orde baru kemudian membuka gerbang reformasi.
Deretan panjang sejarah gerkan mahasiswa yang dimotori oleh berbagai perhimpunan mahasiswa menjadi catatan penting sejarah negeri ini. Mahasiswa sebagai intelektual muda banyak mengambil peranan dalam kehidupan berbangsa. Tak hanya sibuk sebagai akademisi yang berkutat didalam kelas tapi juga membuka ruang untuk melihat pada kehidupan masyarakat luar dan tidak terjebak pada universitas yang seakan menjadi menara gading di tengah masyarakat.
Hal tersebut dapat dihubungkan dengan teori Jurgen Habermas bahwa kehidupan publik demokratis hanya berkembang subur manakala institusi -institusi memungkinkan warga negara, untuk memeperdebatkan masalah-masalah yang menjadi kepentingangn publik. Habermas menggambarkan jenis ideal dari situasi “komunikasi ideal”, yaitu ketika para aktor secara setara dibekali dengan kapasitas, mengakui persamaan sosial dasar anatar satu dengan yang lain, dan pembicaraan mereka tidak terdistorsi oleh ideologi.
Habermas optimis tentang kemungkinan menghidupkan kembali ranah publik. Ia melihat harapan bagi masa depan di era baru komunitas politik, yang melampaui negara-negara yang berdasarkan pada hak-hak setara dan kewajiban warga negara yang melekat secara hukum.
Teori diskursif tentang demokrasi ini menyaratkan komunitas politik, yang secara kolektif dapat merumuskan kehendak politiknya dan mengimplementasikan kehendak politik itu menajdi kebijakan di tingkatan sistem legislatif.
Artinya, di tengah iklim refromasi yang mengedepankan kehidupan yang demokratis setiap individu berhak mengeluarkan kehendak politiknya yaitu dengan menghidupakan ranah publik yang sehat. Hal tersebut dilakukan dengan membentuk komunitas ataupun organisasi dalam usaha mengimplementasikan tujuan dan kehendak politiknya.
Apalagi hal tersebut telah terangkum dalam Undag-Undang Dasar 1945 Pasal 28 E ayat 3 yang menjelaskan bahwa setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat. Dalam hal ini berorganisasi disebutkan dalam kata berserikat yang artinya kegiatan berorganisasi sudah dijamin langsung oleh UUD 1945.
Bahkan secara legal fungsi organisasi mahasiswa telah termaktub dalam pasal 5, Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 155/u/1998. Tidak kurang ada tujuh fungsi organisasi kemahasiswaan yakni sebagai: (1) Perwakilan mahasiswa tingkat perguruan tinggi untuk menampung dan menyalurkan aspirasi mahasiswa, menetapkan garis-garis besar program dan kegiatan kemahsiswaan;(2) Pelaksana kegiatan kemahasiswaan ; (3) Komunikasi antar mahasiswa : (4) Pengembangan potensi jati diri mahsiswa sebagai insan akademis, calon ilmuwan dan intelektual yang berguna di masa depan; (5)Pengembangan keterampilan organisasi, manajemen dan kepemimpinan mahasiswa; (6)Pembinaan dan pengembangan kader-kader bangsa yang berpotensi melanjutakan kesinambungan pembangunan nasional; (7)Untuk memelihara ilmu dan teknologi yang dilandasi oleh norma-norma agama, akademis, etika, moral, dan wawasan kebangsaan.
Pengembangan Diri melalui Organisasi
Bukan hanya sebagai wadah mahasiswa dalam mengaspirasikan kehendak politiknya. Organisasi memberi dimensi yang lebih luas dari ruang- ruang perkuliahan dalam kelas. Wadah ini memepersilakan setiap anggotanya untuk mengembangkan potensi, bakat dan kegemaran yang dimiliki.
Karena sering kali kegiatan perkuliahan di kelas tidak memberi ruang seluas-luasnya untuk mahasiswanya terus mnegembangkan potensi-potensi yang ada. Ranah-ranah publik yang tercipta di luar kelas menjadi wahana yang tepat bagi mahasiswa untuk terus mengaktualisasi diri dan merupakan bagian dari upaya pengembangan ilmu pengetahuan yang tidak sempat terbahas di dalam kelas.
Keberadaan organisasi di dalam kampus berbanding lurus dengan usaha menjaga terus berkembangnya ilmu pengetahuan di dalam sebuah universitas yang memang merupakan pusat intelektualitas. Usaha tersebut tentu mesti terus dihidupkan dengan adanya kesadaran mahasiswa untuk berperan aktif didalamnya. Hal itu bisa dikatakan sebagai kewajiban moral yang mesti dipenuhi mahasiswa sebagai agen perubahan. Dan Universitas sebagai institusi terkait berkewajiban memberikan sarana dan prasarana yang dibutuhkan setiap mahasiswa dalam proses pengembagan diri. Bukan justru membatasi ruang gerak mahasiwa dengan pembatasan masa studi ataupun memberlakukan jam malam bagi kegiatan di dalam kampus.
Maka meluangkan waktu untuk berdialektika dalam ruang-ruang organisasi menjadi hal yang esensial . Bahkan bukan hanya sebagai tempat pengembangan potensi diri namun juga mencipta sebuah ruang dimana terjalinnya komunikasi antar individu.
Binar Murgati Pardini