“Jangankan Netizen, wartawan sekalipun bisa menimbulkan kekacauan.”

Lembaga Pers Mahasiswa Didaktika kembali menggelar kegiatan Latihan Dasar Pers Mahasiswa ke XXVIII. Bertempat di Aula Daksinapati Universitas Negeri Jakarta, acara yang berlangsung sejak 28 Maret-2 April 2016 ini diikuti oleh beragam elemen mahasiswa. Mulai dari Badan Eksekutif, Lembaga Pers, Lembaga Kajian, Lembaga Dakwah, juga mahasiswa umum lainnya.

Andreas Harsono, pembicara pertama pada Senin (28/3), menjabarkan tentang sembilan elemen jurnalisme yang kemudian berkembang menjadi sepuluh elemen oleh Bill Kovach dalam buku berjudul Blur. Penulis buku Agama Saya Adalah Jurnalisme ini menekankan bahwa dasar-dasar tersebut sangat penting untuk dimengerti dan diterapkan oleh wartawan.

Salah satu elemen disebutkan oleh Andreas adalah verifikasi. “Kritik yang paling efektif untuk wartawan adalah metode. Metode inilah yang menjadi inti dari verifikasi,” jelas Andreas di hadapan peserta yang berasal dari berbagai universitas di Jakarta itu.

Namun di era digital ini, kita akrab dengan sebutan netizen. Netizen kini bisa dengan mudah mengakses bahkan memproduksi sebuah berita. Menurut Andreas, Netizen merupakan orang biasa yang melakukan kerja-kerja wartawan. Berita-berita yang beredar minim akan tanggungjawab sehingga menimbulkan prasangka-prasangka yang salah di kalangan masyarakat. “Jangankan Netizen, wartawan sekalipun bisa menimbulkan kekacauan,” selorohnya. Andreas berulang kali menegaskan bahwa nyawa utama sebuah pers adalah verifikasi. “Hal ini acap kali diabaikan oleh media online,” katanya.

Membaca situasi ini, kemudian menggelitik Bill Kovach untuk menambahkan satu lagi elemen dalam jurnalistik yaitu, hak dan kewajiban terhadap berita. Hari ini, sudah tidak ada lagi penjaga gawang untuk berita.

Iklan

Bicara mengenai netizen, maka erat kaitannya dengan media berita daring (online). Tentu kita pernah menemui beberapa berita yang hanya diganti judulnya, namun masih menampilkan narasumber bahkan kutipan yang sama pula. Selain itu, isu yang beredar juga tak bertahan seberapa lama. Kemudian muncul lagi isu lain yang secara serempak diberitakan oleh media lain.

Bagi Andreas, hal tersebut merupakan fenomena yang tak terelakan. Justru yang harus dilawan adalah mental wartawan gerombolan. “Di New York wartawan diberikan ruang untuk liputan sendiri. Sehingga perputaran berita pun diciptakan sendiri. Berlainan dengan di Jakarta,” kisah ayah dua anak ini. Menurut Andreas, di Jakarta semua wartawan dari beragam media sibuk berburu berita yang sama demi kepentingan memburu oplah dan klik yang tinggi./Latifah