Kegiatan pemilihan mahasiswa berprestasi (mawapres) bisa jadi dampaknya hanya dirasakan bagi segelintir mahasiswa saja

Universitas Negeri Jakarta pada 10-11 April 2017 lalu diramaikan dengan adanya pemilihan mawapres tingkat universitas. Sebelumnya, diadakan seleksi dari setiap program studi (prodi). Satu perwakilan dipilih untuk melaju ke seleksi tingkat fakultas. Pada tahap ini, satu sampai dua perwakilan dikirim untuk tingkatan sarjana dan satu perwakilan untuk tingkatan diploma.

Dikutip dari pilmapres.ristekdikti.go.id, pemilihan mahasiswa berprestasi telah dimulai sejak 1986. Dalam pelaksanaannya, pemilihan mawapres mengalami pasang surut termasuk pergantian istilah serta akronimnya. Penggunaan istilah Pemilihan Mahasiswa Berprestasi dimulai sejak 2004 yang kemudian diganti dengan akronim Pilmapres pada 2017.

Kegiatan mawapres merupakan kegiatan yang didukung penuh oleh Kementrian Riset dan Teknologi Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti) dengan semboyan “Peningkatan Produktivitas Iptek dan Inovasi untuk Mewujudkan Sumber Daya Manusia yang Berkarakter Unggul”.

Berdasarkan data Kemenristekdikti untuk menjadi mahasiswa berprestasi memiliki beberapa persyaratan. Persyaratan tersebutantara lain: Rekapitulasi Indeks Prestasi per semester (IPK), karya tulis ilmiah yang ditulis dalam bahasa Indonesia baku, ringkasan (bukan abstrak) yang ditulis dalam bahasa Inggris, video yang menunjukan kemampuan berbahasa Inggris, dan sepuluh prestasi atau kemampuan yang diunggulkan, dilengkapi dengan dokumen pendukung sebagai bukti.

“Pilmapres akan melahirkan mahasiswa yang berprestasi dan dapat mengharumkan nama UNJ di tingkat nasional,” kata Vina Rahmawati, mawapres Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam yang juga menjadi peserta di tingkat universitas. “Kegiatan ini memotivasi aku dan teman-teman untuk berprestasi,” tambahnya.

Iklan

Kegiatan pilmapres sendiri membutuhkan dana yang cukup besar. Berdasarkan keterangan ketua panitia 2017 pilmapres di UNJ, Dina Chaerani cucuran dana yang turun untuk kegiatan mawapres sekitar 30 juta. Dana itu digunakan untuk uang pengayaan, karantina akademik dan kebutuhan logistik lain, seperti dana makan dan transportasi peserta. Pasalnya tahun ini jumlah kategori pemenang diperbanyak yang sebelumnya terdiri atas 6 kategori kemudian menjadi 10 kategori. Karantina akademik untuk peserta mawapres juga baru pertama diselenggarakan. Adapun rangkaian kegiatan karantina berupa pembekalan public speaking, penulisan karya tulis, dan psikologi. “Karena banyak terobosan yang baru dari tahun kemarin, otomatis dana yang turun juga lebih besar dari pada sebelumnya,” tutur Dina.

Muchlis Rantoni Luddin selaku Wakil Rektor 1 bidang akademik menjelaskan karakteristik mahasiswa berprestasi memang dilihat dari akademik. Akan tetapi di samping itu juga harus didukung dengan kepribadian yang baik, pengetahuan luas, penampilan baik, artikulasi dan cara berbicanya runut dan runtun dalam menggunakan bahasa Indonesia maupun bahasa Inggris. “Mawapres merupakan teladan bagi mahasiswa lain,” ujarnya. Lalu Muchlis juga menambahkan mawapres harus memberikan dorongan agar mahasiswa lain termotivasi untuk berprestasi, “kegiatan pilmapres ini dilaksanakan agar membuat mahasiswa lain jadi ikut termotivasi,” tambahnya.

Menanggapi besaran kucuran dana yang dialokasikan untuk kegiatan pilmapres, Muchlis mengatakan uang 30 juta bukan merupakan uang yang besar, “30 juta itu keliatannya saja besar “ ungkapnya. Menurut Muchlis selisih dana tahun ini dan tahun lalu tidak menjadi masalah sebab dana tersebut diberikan untuk mengapresiasi mahasiswa yang telah berprestasi “kan lumayan uangnya bisa untuk beli laptop,” tambahnya.

Sedangkan Achmad Sofyan Hanif selaku Wakil Rektor 3 bidang kemahasiswaan mengatakan dana yang dikucurkan sama saja setiap tahun. Namun Sofyan berharap adanya peningkatan dana tiap tahunnya, “Kalau saat ini juara pertama 5 juta kita berusaha tahun yang akan datang bisa 10 juta,” tuturnya.

Irsyad Ridho, Dosen Prodi Sastra Indonesia memberikan tanggapan bahwa kegiatan yang harusnya lebih diprioritaskan adalah kegiatan yang berorientasi terhadap sebagian besar mahasiswa, bukan segelintir mahasiswa saja. Pilmapres sesungguhnya suatu hal yang boleh-boleh saja dilakukan. “Kegiatan mawapres bisa jadi dampaknya hanya dirasakan bagi segelintir mahasiswa,” tutur Irsyad.
Senada dengan Irsyad, Rahayu Febriani berpendapat bahwa penilaian mahasiswa berprestasi seharusnya bukan dilihat dari IPK dan prestasi akademik. Tetapi karakteristik mahasiswa berprestasi diukur dari ide-ide yang memunculkan kegiatan baru sehingga berguna bagi mahasiswa lain. Ia menambahkan mahasiswa yang terpilih menjadi Mawapres kurang memberikan dampak positifterhadap mahasiswa lain. “Ini hanya kepentingan pribadi mereka saja, hanya sebatas kebanggan atas embel-embel berprestasi itu sendiri,” tutur Mahasiswa Prodi Pendidikan Sejarah 2015.

Khurin Nurlaili Imandini selaku mahasiswa prodi Sastra Indonesia 2016, mengatakan Pilmapres bukanlah sesuatu yang penting. Pernyataan tersebut dikeluarkan mengingat besarnya jumlah dana yang dialokasikan untuk acara ini. Khurin menambahkan seharusnya dana dikeluarkan untuk hal yang lebih penting, seperti kebutuhan bantuan dana terhadap mahasiswa yang kesulitan membayar UKT. “Di UNJ kan banyak yang minta keringanan UKT, untuk pembangunan, terus apakah acara ini tak membroroskan dana?” ungkapnya.

(Uly Mega Septiani)