Meski Syiah semakin berkembang di Indonesia, para penganutnya masih saja mendapat stigma negatif masyarakat.

Islamic Cultural Center (ICC) yang berada tepat di samping Halte Pejaten, Jakarta Selatan kala itu terlihat begitu lengang dan sepi. Biasanya bangunan tiga lantai tersebut akan ramai dengan para jamaah yang datang, sekadar untuk ke perpustakaannya atau mengaji di aula Husainiyah. 

Tepat di bangunan luarnya, terdapat sebuah kaligrafi besar. Bila diterjemahkan, “Sesungguhnya aku tinggalkan di tengah-tengah kalian dua pusaka yang jika kalian mengambil (mengikuti) keduanya, kalian tidak akan tersesat selama-lamanya, (yaitu) Kitab Allah swt dan Ahlulbaitku dari keturunanku (itrahku)…”

Salah satu pengurus ICC, Mujib Munawan menyambut ramah sambil menunjukkan sebuah ruangan. Mujib membuka pintu ruangan bernuansa putih itu. Terlihat sebuah foto bersandar di tengah ruangan. Itu merupakan dua imam besar di Iran, yaitu Ayatullah Ruhullah Khomeini dan Ali Hosseini Khamenei.

“Syiah itu artinya pengikut. Syiah Ali dimaknai sebagai pengikut Ali. Syiah itu sudah ada sejak Nabi masih berdakwah sembunyi-sembunyi.”

Baca juga: https://lpmdidaktika.com/memperkaya-khazanah-islam-di-islamic-cultural-center/

Iklan

Perkembangan agama Islam Syiah di Indonesia memang tak lepas dari beberapa pendapat, ada yang berpendapat bahwa Syiah mulai hadir ketika Kerajaan Aceh masih berdiri. Ada pula pendapat kalau Syiah mulai dikenal oleh masyarakat pasca meledaknya Revolusi Islam Iran yang dipimpin oleh Khomeini. 

Sepanjang pengetahuan Mujib, sekitar abad ke-13 pernah ditemukan beberapa manuskrip tanda kehadiran Syiah di Kerajaan Aceh. Hal ini juga diperkuat dalam buku berjudul Kafilah Budaya Pengaruh Persia terhadap Kebudayaan Indonesia. Buku tersebut menjelaskan bahwa awal mula berkembangnya Syiah di Indonesia hadir saat kapal para pedagang Iran berlayar dari Cina ke Aceh.

Penyebaran agama Islam Syiah dilakukan di Kerajaan Perlak, Aceh. Setelahnya, seorang ulama besar dari Iran, Tajuddin Isfahani menyebarkan Syiah di Kerajaan Samudra Pasai. Hal tersebut dibuktikan karena adanya makam Tajuddin Isfahani beserta ulama lain di Aceh.

“Syiah itu (ajarannya) tidak asing di masyarakat kita, ada tradisi tahlilan, sholawat itu sebenarnya tradisi yang ada di Syiah. Misal sholawat Li Khomsatun yang sering didengungkan itu kan erat kaitannya dengan Syiah,” ucap Mujib pada Jumat (7/4).

Lebih lanjut, Mujib menjelaskan Revolusi Islam Iran pada tahun 1979 membuat masyarakat Indonesia semakin mengenal Syiah. Tujuan adanya revolusi tersebut untuk menggulingkan Rezim Shah Reza Pahlevi yang dikenal otoriter dan berkiblat pada Barat. Gerakan tersebut dipimpin oleh Ayatullah Ruhullah Khomeini atau disebut sebagai Imam Khomeini selaku ulama yang gencar menyadarkan masyarakat atas belenggu rezim buruk dan kebarat-baratan. 

Imam Khomeini berhasil mendapatkan kemenangan pada Revolusi Islam Iran. Hal tersebut menjadi pemantik awal perkembangan Islam Syiah di Indonesia. Pasalnya, masyarakat awam mulai penasaran dengan tokoh-tokoh revolusioner di sana sehingga mereka mulai membaca berbagai pemikiran tokoh Syiah, seperti Imam Khomeini, Ali Syariati, dan Murthada Muthahhari.

“Memang pada abad ke-13 ditemukan beberapa manuskrip di Kerajaan Aceh. Setelah itu, terjadinya Revolusi Islam Iran dipimpin oleh Imam Khomeini membuat seluruh dunia terkejut sehingga terlahirlah kajian-kajian pemikiran Imam Khomeini dan tokoh-tokoh yang dianggap penting pada revolusi itu,” jelas Mujib.

Mujib menegaskan, kajian-kajian Islam Syiah mulai muncul di Indonesia pasca Revolusi Islam Iran. Banyak orang membuat kajian tersebut karena kagum dengan berbagai pemikiran tokoh Syiah. Tidak hanya kajian, terdapat riset dan seminar juga berkembang karena hal itu.

“Contohnya itu Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), mereka membuat kajian dan riset mengenai pemikiran Imam Khomeini, Ali Sariati, dan Murthada Mutahhari. Mereka merasa kagum dengan tokoh-tokoh tersebut karena berani melawan hegemoni Amerika Barat dan melahirkan Republik Islam Iran,” ungkap Mujib.

Mujib merasa sudah menjadi hal umum mahasiswa tahun 1980-1990an banyak membaca dan membicarakan berbagai pemikiran Imam Khomeini dan tokoh Mazhab Syiah lainnya. Saat itu, banyak juga para pelajar Indonesia yang belajar di Iran menyebarkan Mazhab Syiah ketika pulang ke Indonesia. Oleh karenanya, Mazhab Syiah semakin mengakar dan meluas.

Iklan

“Dari situ pula, banyak orang mulai belajar tentang Islam Syiah. Mulai dari bagaimana fiqih Syiah, ritual-ritualnya, dan cara beribadah,” terang Mujib bernada semangat. 

Selain itu, Mujib menuturkan bahwa Syiah terbagi menjadi beberapa kelompok. Mirip seperti mazhab Ahlul Sunnah wal Jamaah yang dibagi menjadi empat aliran. Syiah dibedakan menjadi tiga aliran, yakni Syiah Ismailiyah, Zaidiyah, dan Isna Asyariyah. 

Aliran Syiah Ismailiyah menganggap bahwa imam setelah Imam Ja’far Ash-Shadiq adalah putra pertamanya yakni, Ismail bin Ja’far. Namun, Ismail wafat sebelum ayahnya, Imam Ja’far Ash-Shadiq wafat. Aliran Syiah Zaidiyah mempercayai bahwa imamah turun dari Imam Ali Zainal Abidin kepada putra pertamanya, yakni Zaid bin Ali Zainal Abidin. Terakhir, aliran Syiah Isna Asyariyah sebagai aliran yang paling banyak dianut Mazhab Syiah karena berpegang kepada 12 Imam, dimulai dari Imam Ali hingga Imam Mahdi.

Meski Syiah sudah berkembang pesat di Indonesia. Akan tetapi, Mujib mengaku kalau ia dan pengikut Islam Syiah kerap mendapat stigma negatif dari masyarakat. Stigma tidak berdasar itu sering membuat para pengikut Syiah mendapat diskriminasi. Padahal, para penganut Syiah sudah sering menjelaskan mengenai ajaran yang mereka pelajari, tetapi tetap saja diskriminasi terus terjadi.

Sebagai penganut Syiah, Mujib turut membagikan pengalamannya mengenai perlakuan diskriminasi terhadap dirinya. Ia mengingat-ingat sewaktu baru menjadi penganut Syiah, ia pernah dijauhi oleh guru dan teman-teman di sekolah lamanya. Bahkan, ia sempat dibenci dan dituduh sebagai kafir tanpa tuduhan yang jelas. 

“Kenapa membenci saya karena saya Syiah? Ibaratnya secara hubungan sosial saya tidak pernah menyakiti atau mengambil barang orang lain. Sekarang sih kalau dituduh Kafir, saya hanya menanggapi dengan candaan, seperti ‘wah baru tahu kalau saya kafir’,” pungkas Mujib seraya tertawa.  

Penulis: Chika

Editor: Adinda