Keberadaan ICC sebagai wadah kebudayaan Islam memberi ruang bagi masyarakat untuk mempelajari ajaran Islam, khususnya mazhab Syiah. Kajian, riset, dan perpustakaan ICC menjadi fasilitas bagi siapa pun untuk memperkaya ilmunya.
Islamic Cultural Center (ICC) didirikan pada tahun 1998 sebagai sarana yang berperan dalam menyokong dan mempersatukan umat Islam yang berbeda-beda mazhab. Lembaga yang berlokasi di Pejaten Barat, Jakarta Selatan ini awalnya bernama Al-Huda, tetapi pada tahun 2003 terjadi perubahan nama menjadi ICC. Lembaga ini juga kerap kali digunakan untuk menjalankan ibadah maupun perayaan bagi jemaah Syiah di sekitar Jabodetabek.
Pengurus ICC, Mujib Munawan menjelaskan bahwa ICC sering mengadakan kajian-kajian bertemakan Islam. Utamanya kajian-kajian ICC mengangkat tema persatuan, toleransi, humanisme, dan cinta damai antar umat islam. Meski kerap mengangkat kajian spesifik mengenai mazhab Syiah.
“Kalau kita membicarakan Syiah di sini (ICC), ya sama saja membicarakan Islam pada umumnya. Kita meminimalisir terjadinya konflik dengan kelompok lain,” jelas Mujib.
Biasanya, ICC melaksanakan berbagai kajian untuk memperingati hari-hari besar, seperti Maulid Nabi, bulan Ramadan, dan sebagainya. Misalnya pada bulan Ramadan, ada kajian khusus di malam Nuzulul Quran dan Lailatul Qadar.
Selain itu, Mujib mengatakan bahwa ICC mempunyai lembaga riset tersendiri mengenai Kebudayaan Islam, Sejarah Islam, dan topik lainnya. Riset yang dilakukan sering kali bekerja sama dengan lembaga perguruan tinggi seperti Universitas Indonesia, Universitas Gajah Mada, Universitas Islam Negeri, dsb.
Maret Lalu, ICC menjalin kemitraan dengan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) untuk Riset Bidang Ilmu Pengetahuan Sosial dan Humaniora. ICC juga berperan memfasilitasi baik mahasiswa maupun peneliti jika memerlukan riset langsung ke Iran.
“Kalau ada yang memerlukan penelitian di Iran, para peneliti akan ke Iran melalui ICC. Kami memberikan fasilitas sebagai perantara,” ujar Mujib.
Tidak hanya riset, ICC juga memiliki beberapa penerbitan buku-buku islami maupun jenis buku lainnya. ICC mempunyai beberapa penerbit, seperti Al-Huda, Nurul Huda, dan Citra. Lalu, ICC juga mempunyai penerbitan untuk tabloid bernama Syiar dan Fitroh sedangkan untuk jurnal bernama Bayan.
Di ICC, terdapat pula perpustakaan dengan berbagai koleksi buku. Mulai dari buku hasil terbitan ICC hingga terbitan lain. Perpustakaan ini dibuka setiap Senin hingga Jumat untuk umum.
“Perpustakaan ICC terbuka untuk umum. Buku-bukunya tidak hanya mengenai Syiah atau ajaran Islam lainnya, tetapi juga banyak buku pengetahuan umum,” ungkap Mujib.
Keberadaan ICC dengan fasilitas serta programnya membuat banyak orang tertarik datang ke sana. Salah satunya Andito, ia pertama kali mengenal ICC dari terbitan Nurul Huda. Buku-buku tersebut menurutnya menarik sehingga ia memutuskan datang ke ICC untuk mengikuti kajian.
Menurut Andito, kajian ICC berbeda dengan kajian lain yang terkadang hanya berkutat pada kajian fiqih. Sebab, di ICC memiliki program kajian filsafat. Ia juga menganggap ICC sebagai perintis kajian filsafat Islam di Indonesia. Karena baginya, kajian filsafat di ICC sudah memiliki konten yang setara dengan berbagai perguruan tinggi filsafat di Indonesia.
“ICC itu menarik. Di sini basisnya filsafat sehingga tidak dimiliki kajian yang lain,” ungkap Andito.
Senada dengan Andito, Ghazali Sulaiman, juga mengungkapkan bahwa kehadiran ICC dengan perpustakaannya sangat bermanfaat. Sebagai pensiunan jurnalis Kompas yang masih kerap menulis, ia menjadikan koleksi literatur di sana sebagai sumber referensi. Ia merasa perpustakaan ICC bagus karena buku-buku agama di sana lengkap.
Tidak hanya perpustakaan, Ghazali juga sering mendatangi kajian karena ICC memiliki hubungan dengan Iran. Pengalamannya yang pernah berkunjung ke Iran membuatnya merasa umat muslim di sana memiliki sisi intelektual yang kuat.
Selain itu, baginya kajian ICC membuatnya lebih menghargai perbedaan dan meningkatkan toleransi. Adanya kajian mengenai Ahlul Bait membuatnya lebih terbuka soal keberagaman Islam.
“Walaupun katanya Ahlul Bait, tetapi di sini saya jadi terasah menghargai orang, bahwa berbeda itu suatu yang biasa dan menerima perbedaan dapat mengangkat derajat manusia,” pungkas Ghazali.
*tulisan ini merupakan hasil dari Hunting Ramadan Didaktika dengan tema “Potret Keragaman Kota.”
Penulis: Walid
Editor: Adinda