Judul Buku  : Filsafat dari Titik Nol

Penulis         : Saifur Rahman

Penerbit       : Idea Press Yogyakarta

Jumlah Hlm : 280 Halaman

Tahun Terbit : 2015

Iklan

Belajar filsafat kerap kali dianggap sebagai suatu disiplin ilmu yang kompleks dan rumit. Selain itu, ada anggapan bahwa penggunaan tata bahasa dalam buku-buku filsafat sulit untuk dicerna. Juga, filsafat dianggap sebagai pengetahuan yang hanya dapat dikuasai oleh para cendekiawan. 

Hal demikian tidaklah benar seutuhnya. Karena, filsafat hadir untuk menyederhanakan suatu persoalan, bukan merumitkan suatu persoalan. Secara bahasa, kata filsafat memiliki arti menemukan kebenaran dengan cinta dan kebijaksanaan. Dalam menemukan kebenaran, diperlukan konsep berpikir secara mendalam, dan mengedepankan kelogisan.

Konstruk berpikir secara mendalam terbentuk dari adanya rasa ingin tahu dan skeptis dalam diri seorang individu. Berpikir secara mendalam terjadi karena adanya pertukaran gagasan di antara individu-individu ataupun individu-kelompok. Terciptanya pertukaran gagasan karena adanya suatu tanya jawab. Salah satu bertanya, dan lainnya menjawab. 

Dari unsur bertanya dan menjawab inilah akan ditemukan sebuah makna yang tersimpan dari segala persoalan. Berangkat dari bertanya dan menjawab, dapat diambil arti bahwa filsafat merupakan pengetahuan yang sederhana.

Bila menarik secara historis, perkembangan filsafat dimulai pada peradaban klasik Yunani. Kala itu pencarian mengenai penjelasan logis dan ilmiah, hingga menemukan kebenaran dipelopori oleh seorang filsuf bernama Thales.  

Thales bercakap mengenai manusia yang mulai mencari penjelasan tentang fenomena alam semesta, dengan menggunakan akal budinya. Bagi Thales, manusia memiliki akal budi yang dapat merefleksikan sebuah mitos menjadi sebuah pengetahuan. Inilah situasi yang digambarkan sebagai peralihan sudut pandang manusia ihwal alam semesta. Yaitu, peralihan dari mitos ke pengetahuan ilmiah.

Kesederhanaan filsafat dalam menemukan kebenaran dapat ditemukan dalam kearifan lokal di suatu daerah. Kearifan lokal yang dirawat oleh masyarakat adat secara turun-temurun memiliki tujuan tersirat untuk kemaslahatan dan pengetahuan. 

“Pada mulanya, pengetahuan manusia berisi mitos-mitos tentang segala sesuatu. Mitos tersebut dicari pembuktiannya yang rasional sehingga muncul logos (ilmu). Logos yang pertama kali memanfaatkan akal sehat adalah filsafat,” hlm 24.

Seperti halnya masyarakat adat membuat suatu mitos tentang adanya makhluk gaib yang bersemayam di dalam hutan. Apabila ada seseorang berani untuk memasuki hutan untuk berburu atau menebangi pohon dengan tujuan kepentingan pribadi, maka orang tersebut akan tertimpa suatu marabahaya.

Mitos tersebut ada bukan karena semata-mata masyarakat adat fanatik terhadap hal-hal gaib. Lebih dari itu, adanya mitos tersebut sebagai upaya untuk menjaga kelestarian hutan dari tangan-tangan jahat.

Iklan

Rasionalisasi perihal mitos tersebut dapat dijelaskan melalui kajian ilmiah. Bagi masyarakat adat, hutan sudah menjadi teman hidup, juga bagian dari kehidupan mereka. Hutan menyimpan berbagai hasil bumi yang dijadikan sebagai bahan makanan ataupun tempat berteduh. Selain itu, hutan juga sebagai faktor menjaga keseimbangan alam untuk mencegah bencana yang akan datang.

Bagaimanapun, hutan adalah segala-galanya bagi masyarakat adat. Oleh karenanya, salah satu cara untuk menjaga kelestarian hutan adalah dengan membuat  mitos-mitos atau filosofi alam agar masyarakat lebih peduli dan cinta terhadap hutan.

Contoh lain dari mitos untuk menggambarkan bahwa filsafat itu sederhana adalah mitologi Jawa tentang fenomena gerhana bulan. Dalam mitologi Jawa tersebut, terjadinya gerhana akibat ulah Batara Kala atau putra dewa yang terkena kutukan.

Batara Kala menaruh dendam kepada Bantara Surya (Dewa Matahari) dan Bantara Soma (Dewa Bulan), sehingga ia berkeinginan untuk memakan dua dewa tersebut. Untuk mencegah langit menjadi gelap gulita, masyarakat Jawa dahulu beramai-ramai memukul lesung agar Batara Kala memuntahkan dewa yang ia makan. Agar langit menjadi terang kembali dan mengusir Batara Kala.

Tetapi, seiring berjalannya waktu dan perkembangan zaman, masyarakat mulai berpikir ulang melalui pendidikan tentang fenomena gerhana. Awalnya masyarakat menganggap terjadinya gerhana disebabkan ulah Batara Kala, lambat laun masyarakat mulai bertanya mengapa hal demikian selalu saja terulang dengan anggapan yang sama.

Akhirnya, mitologi tersebut menjadi landasan representasi ilmiah. Masyarakat dengan rasa ingin tahu yang membuncah  berhasil menemukan jawaban rasional dan ilmiah terkait fenomena gerhana yang disebabkan terhalangnya sinar matahari oleh bulan.

Penjabaran mengenai filsafat yang lugas dan mudah dimengerti dibedah dalam buku berjudul “Filsafat dari Titik Nol” karya seorang filsuf Rawamangun, bernama Saifur Rahman. Dalam buku tersebut, Saifur mencoba membedah dan mengkonstruksi ulang filsafat dengan bahasa yang mudah dimengerti. Sehingga, masyarakat awam yang baru mempelajari filsafat dapat dengan mudah mencerna pemahaman mengenai apa itu filsafat.

 Baca juga: https://lpmdidaktika.com/politik-modal-dan-kekuasaan-dalam-game-suzerain/

Objek Filsafat Bicara Tentang Segala Hal

“Istilah objek filsafat adalah segala hal yang menjadi sumber pembicaraan dalam pokok persoalan filsafat,” hlm 122.

Dalam filsafat, untuk menelaah suatu yang ada dan mungkin ada ataupun mencari sebuah kebenaran dan fakta diperlukan adanya objek pembahasan. Objek pembahasan juga dapat disebut sebagai objek filsafat.

Istilah objek filsafat diinterpretasikan sebagai segala hal yang menjadi sumber pembahasan dalam pokok persoalan filsafat. Selain itu, objek filsafat yang menelaah segala hal bukan hanya objek yang bersifat material (tampak), tetapi juga yang bersifat immaterial (tidak tampak). 

Dalam buku ini, pembabakan objek filsafat dirumuskan menjadi tiga gagasan. Pertama, pembahasan mengenai jiwa (ide psikologis). Walaupun jiwa manusia itu bersifat immaterial tetapi, dapat diukur lewat perilaku atas tindakan-tindakan yang direpresentasikan seseorang.

Kedua, berbicara mengenai dunia (ide kosmologis), yakni pembahasan seputar hakikat manusia, binatang, tumbuhan, ataupun segala hal yang berada di dunia. Dan yang terakhir, pembahasan mengenai Tuhan (ide teologis), yakni berbicara ihwal apakah manusia ataupun dunia beserta isinya ada yang menciptakan, serta pertanyaan mengenai Tuhan itu sendiri. 

Selain itu, Saifur juga menjelaskan bahwa untuk mencari persoalan mengenai objek filsafat tidak hanya berorientasi pada penggunaan panca indra saja. Karena panca indra manusia bersifat terbatas perlulah adanya suatu pancaran imajinasi untuk menjangkau sesuatu yang tidak terbatas.

Seperti halnya seorang manusia sedang menatap laut dari atas bukit, dan yang tampak hanyalah hamparan air berwarna biru, semilir ombak, dan garis horizon. Indra manusia hanya bisa melihat sebatas itu saja, tidak bisa mengindra sesuatu hal yang terdapat di dalam laut itu.

Dengan imajinasi, seorang manusia dapat membayangkan sesuatu yang terdapat di dalam laut itu dengan pancaran yang tak terbatas. Setelah imajinasi manusia berperan untuk membayangkan apa yang ada di dalam laut, untuk membuktikan imajinasi itu, manusia akan menceburkan dirinya ke dalam laut untuk menyingkap hal-hal yang terdapat dalam laut itu.

Dari hal tersebut, manusia hendaklah memainkan akal cemerlangnya untuk berpikir mengenai apa saja. Karena dengan berpikir, manusia dapat mengetahui apa yang benar, dan apa yang salah. Selain itu, dengan berpikir, dapat menjadikan seorang manusia berinovasi dan menumbuhkan sebuah gagasan-ide yang berguna untuk kemaslahatan. Selain itu, berpikir dapat menghindarkan seorang manusia dari perbudakan akali dan membebaskannya.

 

Penulis : Adam Farhan

Editor : Ragil Firdaus