Judul Buku     : Qur’an and woman: rereading the sacred, text from a woman’s perspective

Penulis            : Dr. Amina Wadud

Penerbit          : New York Oxford University Press

Tahun Terbit  : 1999

ISBN                 : 0-19-512836-2

Halaman         : 232

Iklan

Saat ini, tidak dapat dipungkiri bahwa modernisme telah merambah ke berbagai aspek kehidupan, termasuk dalam konteks agama seperti Islam. Hal ini menunjukkan bahwa Islam juga mengalami dampak dari arus modernisasi. Penting untuk dicatat bahwa yang perlu ditekankan adalah bagaimana Islam dapat merangkul modernisme tetapi tetap mempertahankan hakikatnya sebagai agama yang sempurna.

Dalam menghadapi modernisasi, Islam memiliki kemampuan untuk menyesuaikan diri tanpa kehilangan esensi ajarannya. Sebagai bagian dari interaksi dengan modernisme, Islam memiliki potensi untuk memberikan panduan dan nilai-nilai yang relevan dalam menghadapi perubahan zaman. Salah satu aspek modernisme yang perlu diperhatikan adalah dukungan terhadap feminisme, yaitu gerakan pembelaan terhadap hak-hak perempuan dalam berbagai konteks.

Ketidaksetaraan antara perempuan dan laki-laki menjadi fenomena yang perlu diatasi, dan hal ini mempengaruhi penafsiran terhadap kedudukan perempuan menurut Al-Quran. Seperti yang dilakukan oleh Amina Wadud Muhsin, seorang pemikir yang mengulas isu perempuan dalam konteks Al-Quran, ia menyoroti pandangan Al-Quran terhadap perempuan yang seringkali disalahartikan oleh masyarakat, terutama oleh laki-laki.

Dalam pemikirannya, beliau secara komprehensif menggali pandangan Al-Quran terhadap perempuan, membongkar kesalahpahaman yang mungkin muncul. Karya Wadud tersebut sesungguhnya merupakan kegelisahan intelektual yang dialami Wadud mengenai ketidakadilan gender dalam masyarakatnya. Salah satu sebabnya adalah pengaruh ideologi-doktrin penafsiran Alquran yang dianggap bias patriarki. Salah satunya adalah dalam tradisi budaya Arab.

Tatanan yang berlaku pada masyarakat Jazirah Arab pada masa turunnya Al-Quran adalah sistem patriarki atau kebapakan. Sistem patriarki adalah suatu bentuk budaya yang dibangun di atas struktur dominasi dan subordinasi, di mana terdapat hirarki yang menuntut adanya perbedaan status atau kekuasaan antara pria dan wanita. Patriarki memiliki asumsi dasar bahwa pria dianggap sebagai entitas utama atau yang dominan (androsentrik), dan pandangan ini menyatakan bahwa pria dan pengalaman hidup yang dimilikinya dianggap sebagai norma atau standar yang dijadikan patokan.

Dengan kata lain, dalam budaya patriarki, pria dianggap sebagai pusat kekuasaan, kendali, dan otoritas. Masyarakat yang mengikuti sistem patriarki cenderung menempatkan pria dalam posisi yang lebih tinggi dalam struktur sosial, sedangkan peran dan kedudukan wanita seringkali dianggap lebih rendah atau subordinat. Pandangan ini dapat tercermin dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk dalam hal keputusan keluarga, sistem warisan, kebijakan hukum dan lain sebagainya, di mana pria memiliki peran dominan dan perempuan diharapkan untuk tunduk pada norma-norma yang telah ditetapkan oleh budaya patriarki.

Namun, Amina Wadud dengan tegas menolak kesimpulan yang menyatakan bahwa hanya pria yang layak memimpin dan memutuskan suatu perkara. Baginya, pandangan tersebut tidak sejalan dengan ajaran Al-Quran, karena Al-Quran menawarkan peluang kepemimpinan yang tidak terbatas hanya pada kaum pria, melainkan terbuka bagi siapa pun yang memiliki motivasi besar, termasuk wanita.

Wadud percaya bahwa wanita mampu untuk menjadi “orang terbaik” dalam menjalankan sejumlah kewajiban. Meskipun  ia tidak dapat memungkiri, terdapat perbedaan kesempatan antara pria dan wanita. Bahkan pada masa turunnya Al-Quran, Wadud menegaskan bahwa teks suci tersebut tidak memberikan dukungan terhadap ide bahwa pria secara alamiah menjadi pemimpin. Hal ini menjadi relevan terutama dalam konteks masyarakat Arab yang menganut sistem patriarki.

Amina Wadud mengutip contoh penguasa wanita dalam Al-Quran Surah An-Naml ayat: 2,  dijelaskan tentang kepemimpinan Ratu Balqis yang memimpin kerajaan Saba’ (Yaman) pada masa Nabi Sulaiman AS yang merupakan salah satu contoh bahwa Islam tidak melarang perempuan untuk mengambil peran menjadi seorang pemimpin dalam sebuah komunitas publik.

Dengan memberikan contoh ini, Amina Wadud berusaha membuktikan bahwa Al-Quran tidak menghambat perempuan untuk mencapai posisi kepemimpinan. Ratu Balqis menjadi bukti dari role model pemimpin perempuan yang memiliki jiwa kepemimpinan demokratis, arif, bijaksana dan memiliki kemampuan intelektual dalam mempertimbangkan kebijakan negara yang didasarkan atas kemaslahatan rakyatnya.

Iklan

Hal ini, sesuai dengan prinsip yang selalu digaungkan dalam Islam, yaitu “tasharruf al-imam ‘ala ar-ra’iyyah manuthun bi al-maslahah” (kebijakan pemimpin harus didasarkan atas kemaslahatan rakyat). Sebaliknya, ia mendesak masyarakat untuk tidak melihat pria sebagai pemimpin alamiah semata.

Baca juga: Antara Asa dan Realitas Politik

Membidik Harmonisasi Keseteraan di Indonesia

Di tengah pesatnya kemajuan Indonesia, realitas patriarki tetap merajai berbagai aspek kehidupan, mencerminkan struktur sosial yang didominasi oleh peran dan otoritas pria. Fenomena ini mengakar dalam budaya dan norma yang, pada tingkat tertentu, memiliki kesinambungan dengan norma yang dianut di Jazirah Arab. Pendidikan, lapangan pekerjaan, keluarga, dan hukum menjadi sorotan dalam mencermati realitas patriarki di Indonesia.

Selain itu, budaya patriarki telah menjadi bagian integral dari warisan budaya yang diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Menurut beberapa penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Wayan dan Nyoman (2020) serta Sakina (2017), dapat disimpulkan bahwa keberlanjutan tradisi budaya lokal atau adat, yang mewarisi nilai-nilai dominasi laki-laki, menjadi salah satu faktor yang membuat patriarki sulit untuk dihapuskan dari kehidupan masyarakat.

Kehadiran patriarki, beserta stigma yang melekat padanya, menyebabkan terjadinya ketidaksetaraan gender dan berbagai permasalahan gender di Indonesia, termasuk kekerasan terhadap perempuan, keterbatasan partisipasi perempuan dalam berbagai sektor. Walaupun ada kemajuan dalam partisipasi perempuan dalam pendidikan, tetapi terdapat ketidaksetaraan dalam kesempatan dan dukungan.

Ketidaksetaraan gender masih tercermin dalam sektor gaji, promosi, dan akses perempuan ke posisi kepemimpinan. Norma patriarki juga mempengaruhi keputusan keluarga, menciptakan hierarki di mana pria dianggap sebagai pengambil keputusan utama. Peran perempuan dimata konstruksi juga terbatas pada lingkup domestik, meliputi pengasuhan, pelayanan, dan perawatan rumah tangga.

Meskipun Indonesia secara resmi mengakui prinsip persamaan hak antara laki-laki dan perempuan, kenyataannya, dalam pelaksanaan penyelenggaraan negara, diskriminasi dan ketidakadilan terhadap perempuan masih terus berlangsung. Kaum perempuan seringkali mengalami keterbelakangan dan marginalisasi dalam berbagai sektor, termasuk ekonomi, pendidikan, kesehatan, lapangan pekerjaan dan politik.

Untuk itu, substansi bias gender tidak akan mungkin berubah menjadi adil gender, apabila secara struktural penyelenggara negara tidak sensitif terhadap gender dan masalah mengenai perempuan itu sendiri dan masyarakat masih melanggengkan konstruksi sosial yang tidak adil gender di masyarakatnya. Perjuangan perempuan dalam mengakhiri sistem yang tidak adil (ketidakadilan gender) bukan hanya sekadar perjuangan perempuan melawan lakilaki, melainkan perjuangan melawan sistem dan struktur ketidakadilan masyarakat serta budaya patriarki yang memiliki stigma negatif.

 

Penulis: Laila Nuraini

Editor: Sonia