School Of Rock berkisah tentang seorang pemusik rock yang bernama Dewey Fin, yang dikeluarkan dari bandnya. Sejak itu ia merasa frustasi tak tahu kemana harus mencari uang. Kemudian datang tawaran pekerjaan untuk mengajar di sekolah dasar yang ditujukan kepada temannya, Scheneby. Tanpa sepengetahuan Scheneby, Dewey mengambil tawaran tersebut untuk dirinya dan memakai identitas teman satu bandnya itu.
Ketika Dewey mulai mengajar di sana, ia sangat terkejut mengetahui bahwa metode pengajaran di sekolah tersebut sangat monoton dan kaku. Sepanjang ia masuk ke kelas tersebut ia hanya duduk diam menunggu sampai jam pulang tiba. Anak-anak siswanya hanya diorientasikan pada nilai yang bagus. Mereka disekolahkan atas apa yang orang tua mereka inginkan bukan berdasarkan apa yang mereka minati. Sehingga mereka pun hanya bisa duduk rapih di kelas mendengarkan guru mereka mengajar dan mengikuti jadwal yang sudah ditentukan. Kepala sekolah mereka sangat disiplin dalam mengatur siswa-siswanya di sekolah, karena ia tidak ingin ada satu pun orang tua yang mengeluh dan kecewa tentang anak mereka.
Sampai suatu saat, Dewey melihat anak-anak tersebut sedang mengikuti kelas musik, dan ia terkesan melihat bakat anak-anak tersebut dalam bermain musik. Muncul semangat Dewey untuk mengajarkan anak-anak tersebut bermain musik rock. Ia mengajarkan kepada anak-anak itu mulai dari sejarah musik rock, cara bermain alat musik untuk lagu rock, sampai cara untuk membuat lagu rock. Ia juga mengajak anak-anak tersebut untuk mengikuti lomba band musik rock, namun ia meminta kepada anak-anak untuk merahasiakan ini dari orang tua apalagi kepala sekolah mereka.
Dewey menghadapi banyak rintangan dalam mempersiapkan anggota bandnya, yaitu anak-anak sekolah tersebut, menuju suatu kompetisi. Hingga ketika sehari sebelum lomba akan berlangsung, identitas asli Dewey terbongkar dan membuatnya dipecat dari sekolah tersebut. Hal ini telah membuat para orang tua, termasuk kepala sekolah kecewa akan ‘Mr. Scheneby’ yang mereka anggap baik selama ini.
Namun, anak-anak tidak tinggal diam. Mereka berinisiatif mendatangi rumah Dewey dan meyakinkannya bahwa band mereka siap untuk mengikuti lomba tersebut. Mereka pun tampil dalam kompetisi tersebut. Tak disangka, orang tua mereka juga turut hadir menyaksikan. Band mereka tampil sangat bagus dan berhasil menghibur semua penonton. Meski tidak berhasil menjadi juara, penampilan mereka telah menyadarkan orang tua akan bakat yang selama ini tidak diketahui atau bahkan diabaikan. Tentunya juga membuat bangga Dewey yang telah sukses membimbing dan mengembangkan potensi anak-anak tersebut.
Jika kita melihat metode pendidikan yang diterapkan dalam sekolah tersebut bahwa peraturan yang kaku hanya bertujuan untuk menjadikan anak siswanya mempunyai nilai bagus. Menuntut siswa selalu patuh pada guru dapat mengekang keberanian anak untuk mengeksplorasi bakatnya. Siswa sudah didoktrin jika ingin menjadi anak yang baik maka ikutilah peraturan. Jika ingin mendapat nilai bagus maka jangan malas dan belajarlah. Namun pada kenyataannya siswa justru berambisi meraih nilai bagus apapun caranya.
Sama halnya seperti ketika kita di kampus, “Apa yang dosen katakan, ikutilah!” Tuntutan seperti nilai bagus, perilaku baik dan lulus cepat, sebenarnya belum tentu akan membuat kita menjadi individu yang lebih maju dan mampu memaksimalkan potensi yang kita punya. Seharusnya kampus menjadi wadah untuk kita mengembangkan bakat.
Maka dari itu, sangat miris melihat sistem pendidikan sekarang yang sangat serupa dengan apa yang dikisahkan dalam film tersebut. Siswa tidak bisa bebas mengekspresikan apa yang mereka minati dan hanya bisa duduk tertib di kelas menerima ilmu yang katanya bisa membuat mereka sukses nantinya. Sementara jika mereka nantinya tidak lulus ujian atau lulus ujian dengan menyontek, Siapa yang akan disalahkan? Para guru kah? Orang tua? Kurikulumkah? Atau justru kembali menyalahkan siswa-siswanya?
Annisa Rahmani
Mahasiswi Jurusan Pendidikan Sejarah 2015