Pengekangan kembali menghantui pers mahasiswa dalam melakukan kerja-kerja jurnalistik. Musababnya, lima jurnalis pers mahasiswa Catatan Kaki Universitas Hasanuddin (Unhas) ditangkap polisi beberapa hari lalu. Mereka ditahan usai melakukan peliputan mengenai isu kekerasan seksual di lingkungan kampus.
Sebelumnya pada Kamis (28/11), mahasiswa Unhas melakukan aksi simbolik menuntut pemecatan salah satu dosen yang terlibat dalam kasus kekerasan seksual. Seusai aksi simbolik, sejumlah orang tidak dikenal datang dan melempar batu ke arah kampus.
Dalam waktu dekat, segerombolan polisi kemudian masuk ke dalam kampus dan menangkap 21 mahasiswa. Termasuk korban tertangkap adalah lima jurnalis Catatan Kaki yang sedang menggarap liputan aksi sebelumnya.
Penangkapan jurnalis Catatan Kaki seakan sudah terencana. Sebab saat polisi mengepung kampus, salah seorang birokrat Unhas berteriak menanyakan keberadaan jurnalis Catatan Kaki.
Kini, semua mahasiswa yang ditangkap telah dibebaskan. Namun, rasa ketidakadilan masih menghantui. Apalagi, jurnalis Catatan Kaki dilaporkan atas kasus pencemaran nama baik oleh pihak kampus.
Penangkapan dan pelaporan ini menunjukkan kesuraman demokrasi kampus. Bukannya menjadi tempat yang menjunjung tinggi hak asasi manusia seperti kebebasan berpendapat, kampus malah menjadi area pembungkaman suara mahasiswa.
Selain di Unhas, kasus pengekangan demokrasi kampus ataupun pembatasan kerja-kerja jurnalistik pers mahasiswa juga pernah terjadi di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Ambon. Pada tahun 2022, pers mahasiswa IAIN Ambon, yakni Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Lintas dibekukan oleh kampus.
Pembredelan itu terjadi selepas LPM Lintas melakukan serangkaian pemberitaan tentang kasus kekerasan seksual di kampus. Beberapa jurnalis LPM Lintas dilaporkan oleh pihak kampus ke kepolisian atas dugaan pencemaran nama baik. Tidak hanya itu, sejumlah jurnalis LPM Lintas mendapat tindakan kekerasan berupa pemukulan oleh salah seorang dosen di kampus tersebut.
Baca juga: Tangan Besi Kampus dan Aparat Kepolisian Menyasar Mahasiswa Universitas Hasanuddin
Pers Mahasiswa Bukan Humas Kampus
Pengekangan pers mahasiswa seakan menunjukkan kampus yang menyepelekan peran pers mahasiswa. Padahal Menurut Ketua Dewan Pers, Ninik Rahayu, pers mahasiswa memiliki peran untuk membangkitkan kesadaran intelektual publik.
Maka, pers mahasiswa harusnya mendapat keleluasan dalam melakukan kerja-kerja jurnalistik. Jika begitu, berbagai informasi alternatif yang penting dan berguna bagi sivitas akademika akan muncul.
Pers mahasiswa pun bukan humas kampus yang hanya menyediakan informasi-informasi baik seputar universitas. Pers mahasiswa diharapkan dapat membongkar berbagai permasalahan yang ada dalam kampus. Terutama permasalahan yang amat sensitif, seperti kasus kekerasan seksual di kampus.
Walau sudah ada Permendikbud Ristek Nomor 30 Tahun 2021 yang menjadi angin segar bagi penindakan kasus kekerasan seksual di kampus, hingga akses pers mahasiswa untuk liputan. Akan tetapi, kasus kekerasan seksual di lingkungan kampus masih banyak terjadi. Juli 2023, berdasarkan catatan survei Kemendikbud Ristek, terjadi 65 kasus kekerasan seksual di perguruan tinggi.
Maka, pers mahasiswa berperan dalam membongkar kasus kekerasan seksual di kampus. Dengan begitu, kampus seharusnya tergerak untuk menyelesaikan kasus kekerasan seksual. Terlebih, pers mahasiswa dapat mendorong sivitas akademika untuk lebih peduli terkait isu ini.
Namun yang terjadi, kampus justru kerap mengekang pers mahasiswa dalam menyampaikan kebenaran. Padahal dalam Permendikbud Ristek Nomor 30 Tahun 2021, terdapat poin penting soal pencegahan kekerasan seksual dengan bentuk edukasi kepada masyarakat kampus.
Pengekangan pers mahasiswa menunjukkan kampus abai terhadap Perjanjian Kerja Sama (PKS) antara Dewan Pers dengan Kemendikbud Ristek tentang Penguatan Perlindungan Aktivitas Jurnalistik Mahasiswa di Lingkungan Perguruan Tinggi yang terbit pada tahun ini. Dalam PKS tersebut, Kemendikbud Ristek mempunyai kewajiban mendorong perguruan tinggi menyelesaikan sengketa jurnalistik pers mahasiswa melalui Dewan Pers.
Bukannya melindungi pers mahasiswa dalam melakukan kerja-kerja jurnalistik, kampus malah menjadi pelopor dalam pengekangan mereka.
Bisa dibaca kemudian, PKS tersebut kurang berpengaruh terhadap kebebasan atau perlindungan pers mahasiswa. Sebab, PKS dianggap bukan produk hukum dan tidak bisa dijadikan sebagai landasan hukum.
Maka, perlu ada payung hukum yang kuat bagi pers mahasiswa. Selain itu, otak birokrat kampus mungkin perlu dicekoki dengan nilai-nilai demokrasi, seperti kebebasan pers. Dengan begitu, pers mahasiswa dapat lebih leluasa dalam melakukan kerja-kerja jurnalistik.
Bergerak, Pers Mahasiswa!
Jalan gerak pers mahasiswa sudah penuh rintangan sejak masa Orde Baru. Salah satu korban dari otoriternya zaman tersebut adalah pers mahasiswa IAIN Yogyakarta–kini UIN Sunan Kalijaga–yakni LPM Arena. Pada tahun 1993, pers mahasiswa itu dibredel oleh rektorat karena menurunkan laporan bertema “Bisnis Keluarga Presiden.”
Selain LPM Arena, pers mahasiswa di rentang tahun tersebut yang mendapat pengekangan adalah Opini (FISIP Undip Semarang), dan Vokal (IKIP PGRI Semarang). Umumnya pers mahasiswa masa Orde Baru mendapat penekanan karena mengkritik pemerintah.
Sejumlah pembredelan tadi, membuat solidaritas pers mahasiswa bertambah. Mereka pun semakin kadung mengkritik pemerintah dan menjadi bagian dari gerakan meruntuhkan rezim Orde Baru. Seusai Orde Baru runtuh, kebebasan berpendapat terbuka lebar. Satu per satu pers mahasiswa baru pun bermunculan.
Lompat jauh ke beberapa tahun ke belakang, kondisi pers mahasiswa kembali mencekam selayaknya masa Orde Baru. Terjadi peningkatan signifikan kasus upaya pembungkaman pers mahasiswa. Pada periode 2017-2019 terdapat 58 kasus pengekangan kepada pers mahasiswa, sedangkan muncul 185 kasus pada periode 2020-2021.
Dari hal barusan, dapat dilihat bahwa demokrasi di kampus seperti diinjak-injak dan dibuang ke dalam tong sampah. Ambruknya demokrasi itu banyak dipengaruhi oleh kampus hari ini yang memiliki paradigma pasar semata.
Adapun paradigma pasar dalam kampus sangat berkaitan dengan neoliberalisasi pendidikan. Salah satu bentuk dari neoliberalisasi pendidikan di Indonesia adalah menjamurnya Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum (PTN-BH). Kampus berstatus PTN-BH mempunyai otonomi lebih, tetapi sebagai gantinya kampus berstatus itu mengalami penurunan subsidi dari negara.
Tambah dari itu, adanya kebijakan indeks kinerja utama (IKU) juga mempengaruhi paradigma pasar dalam kampus. Diterapkan pada tahun 2020, kebijakan tersebut menawarkan insentif besar dari negara bagi kampus yang menyentuh skor IKU tinggi.
Secara garis besar, poin dalam IKU seakan memaksa kampus meresapi nilai-nilai pasar. Beberapa poin dalam IKU di antaranya seperti kerja sama perguruan tinggi dengan mitra kelas dunia, dan mahasiswa mendapat pengalaman di luar kampus, mengerucut pada industri.
Berkurangnya subsidi dari negara dan desakan untuk berorientasi kepada pasar, membuat kampus hari ini layaknya perusahaan yang hanya memikirkan cara memperbanyak keuntungan ekonomis dan praktis. Untuk itu, kampus sangat berupaya menaikkan atau mempertahankan citranya di hadapan publik.
Maka, stabilitas kadung dijunjung tinggi oleh kampus. Hal-hal yang dapat menimbulkan kegaduhan, seperti terbukanya borok-borok kampus tidak boleh terbuka secara telanjang kepada publik. Salah satu caranya adalah dengan membungkam mahasiswa yang kritis, dan menutup ruang-ruang dialektis yang ada di dalam kampus.
Ambruknya demokrasi kampus, perlu direspon dengan penguatan solidaritas. Bukan hanya solidaritas kepada sesama pers mahasiswa, tetapi terhadap seluruh insan yang melawan. Sebab, pengekangan kini tidak hanya merambah pers mahasiswa, tetapi meluas kepada setiap mahasiswa yang kritis.
Barangkali kondisi hari ini harus membuat pers mahasiswa bergabung dengan elemen mahasiswa atau rakyat lainnya untuk melawan kekuasaan yang menindas, selayaknya yang terjadi pada masa Orde Baru. Pers mahasiswa dapat berperan dalam memunculkan berbagai bayangan ideal mengenai demokrasi kampus dan bangsa secara keseluruhan.
Dengan begitu, gerakan tidak sekadar reaktif kepada satu per satu kasus saja. Akan tetapi, gerakan yang berlangsung mengarah kepada tuntutan perubahan secara sistemik.
Terus melawan kawan-kawan!