“… karena Pram seorang penulis yang sedemikian “primitif” dan pandangan-pandangannya sangat personal, tulisan Pramoedya adalah dokumen-dokumen sosial yang berharga. Dalam menanggapi lingkungannya, dia tidak merekam secara pasif melainkan berinteraksi secara kreatif.”
Pramoedya Ananta Toer (1925-2006), penulis terkenal yang belakangan sejumlah novelnya dibandrol lebih dari seratus ribu. Harga yang mahal untuk ukuran mahasiswa dengan uang saku di bawah Rp 600 ribu perbulan. Padahal, karya-karyanya cukup penting sekaligus menghibur. Cocok sebagai alternatif bagi mereka yang ingin menengok sejarah Indonesia lewat medium lain, yaitu karya fiksi.
Sebab, patut diakui, banyak juga buku sejarah yang gagal membangkitkan imajinasi pembaca tentang kehidupan manusia. Maklum, setiap narasi yang ditulis sejarawan bergantung pada bukti empiris. Sedangkan novel tidak. Makanya, Pram lebih leluasa menghadirkan masa lalu lengkap dengan tokoh-tokohnya ke dalam novel.
Jika ada yang meragukan kebenaran cerita Pram, tidak masalah. Kisah itu tetap penting sebab merefleksikan isi pikiran si pengarang (perlakuan yang juga lazim diberikan kepada penulis lain atas karya mereka yang “berlabel ilmiah”). Seperti yang dilakukan Savitri Scherer dalam bukunya berjudul “Pramoedya Ananta Toer: Luruh dalam Ideologi”.
Scherer memperlakukan cerpen dan novel Pram layaknya sebuah pernyataan sikap, opini sekaligus “rekaman” emosi si pengarang. Hal ini cukup membantunya memahami sikap Pram dalam polemik kebudayaan antara Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) dan Manifestasi Kebudayaan (Manikebu) pada pertengahan abad kedua puluh.
Pram awalnya bergabung dengan Gelanggang, kelompok sastra yang didirikan oleh Chairil Anwar, dkk pada 1947. Gelanggang mengusung prinsip humanisme universal, prinsip yang menolak superioritas kebudayaan tertentu dan mengedepankan sifat-sifat universal dari kemanusiaan. Di bawah panji itu kemudian Pram menerbitkan karya-karyanya. Mulai dari kisah-kisah seputar revolusi kemerdekaan hingga perbenturan budaya yang mengakibatkan keterasingan.
Namun, Pram segera bersitegang dengan Gelanggang karena perbedaan pandang. Pram menginginkan sastra yang berpijak pada keadilan, kemanusiaan, kebudayaan dan idealisme. Bukan sekadar mementingkan estetika bentuk dan struktur semata. Keyakinan ini langsung ditanggapi dengan negatif oleh teman-temannya di Gelanggang.
Salah satunya cerpen “Ketjapi” yang terbit dalam jurnal Kisah, Februari 1956. “Ketjapi” berkisah tentang pemain kecapi yang merantau ke Jakarta meninggalkan keluarganya demi gadis impian. Tapi, ketika sampai di Jakarta, sang pemain kecapi malah menghadapi terjebak dalam persoalan ekonomi. Tidak hanya itu, sang pemain juga terasing di tengah kebudayaan kota yang kosmopolitan. Hal yang menyebabkan sang tokoh merindukan kampung halaman, merindukan kehidupan lama sebelum merantau.
Salah satu rekan Pram di Gelanggang, Balfas, menganggap cerpen tersebut terlalu sentimentil. Sebab, Pram tidak mengambil jarak dengan tokoh rekaannya, sangat subjektif. Sehingga kegelisahan pengarang mendominasi kegelisahan si tokoh.
Namun, subjektivitas memang segaja Pram pungut sebagai modalnya menulis. Dia yakin bahwa seorang penulis harus mengkomunikasikan nuraninya kepada pembaca. Oleh karena itu, tidak seperti jurnalis, penulis tidak bisa menjadi pengamat yang objektif. Pandangan-pandangan subjektif justru dapat menjadi kontribusinya kepada masyarakat (57-8).
Scherer juga sepakat dengan Pram. Menurutnya, justru karena Pram seorang penulis yang sedemikian “primitif” dan pandangan-pandangannya sangat personal, tulisan Pramoedya adalah dokumen-dokumen sosial yang berharga. Dalam menanggapi lingkungannya, dia tidak merekam secara pasif melainkan berinteraksi secara kreatif (60).
Meski begitu, perpisahan Pram dengan Gelanggang tak terelakan. Bukan hanya tokoh-tokoh dalam ceritanya yang mengalami keterasingan, Pram juga. Dia mulai terkucil dari Gelanggang, dari rekan-rekannya. Seruannya mengenai kebutuhan pengarang untuk terjun ke “masyarakat bawah” tidak digubris. Begitu pun ketika dia mengangkat isu kesejahteraan pengarang. Seruannya justru disambut Lekra –kelompok yang berafiliasi dengan Partai Komunis Indonesia (PKI). Sehingga Pram akhirnya akrab dengan kelompok tersebut.
Kedekatan Pram dengan Lekra ditandai dengan dukungannya terhadap rencana pembangunan jembatan gantung yang dicanangkan Soekrano pada 1957. Pram menuliskan dukungannya dalam bentuk esai dan diterbitkan di jurnal PKI, Bintang Merah. Dalam esai berjudul “Djembatan Gantung dan Konsepsi Presiden” itu Pram juga mengoreksi prasangka buruk yang disimpannya terhadap partai kiri tersebut.
Pada 1959, Pram pun diangkat menjadi wakil ketua di divisi sastra Lekra. Di tahun yang sama, dia menulis novel berjudul “Sekali Peristiwa di Banten Selatan”. Scherer menilai novel pertama setelah kedekatannya dengan PKI ini sebagai novel yang buruk. Bahkan, dengan satire Scherer menyebutnya latihan humas atas nama tentara (88). Padahal, dalam masa ini Pram sedang lantang-lantangnya menyerukan penulisan karya yang “revolusioner”. Dan “Sekali Peristiwa di Banten Selatan”, tulis Scherer, jauh dari revolusioner.
Pram tampaknya mengalami perubahan pasca kedekatannya dengan Lekra. Dia menjadi seorang yang lebih dogmatis. Scherer menyebut Pram dalam periode ini “luruh dalam ideologi”. Pram juga memperkenalkan prinsip “realisme sosialis”, menggantikan “realisme progresif” yang diusung Lekra sebelumnya. Realisme sosialis merupakan prinsip yang menggabungkan seni realis dengan bingkai pertentangan kelas ala marxisme.
Satu novel Pram yang dicatat Scherer sebagai contoh terbaik dalam merepresentasikan prinsip tersebut, Gadis Pantai. Menurut Scherer, Pram mampu menghadirkan pertentangan kelas dalam novel tersebut dengan lebih halus. Konflik yang dihadirkan antara bangsawan feodal dengan masyarakat desa yang memiliki kesadaran baru, sangat pas dengan kondisi Indonesia pasca revolusi kemerdekaan.
Gadis Pantai menjadi novel terakhir sebelum dibuang ke Pulau Buru pasca peristiwa 30 September 1965. Meski dibuang, Pram tidak berhenti menulis novel. Tetralogi Pulau Buru lahir dalam masa pengasingan ini, meski pun riset mengenai tokoh sejarah yang dijadikan tokoh dalam novelnya sudah dilakukan Pram jauh hari sebelum masa pembuangan.
Namun, dengan ketiadaan belenggu ideologi dari kelompok sastra manapun, Pram lebih bebas menulis karya fiksinya dari berbagai sudut pandang, kemampuan yang menurut Scherer sudah dimiliki Pram sejak lama. Kebebasan untuk menuliskan cerita dari berbagai sudut pandang dan subjektivitas Pram-lah yang membuat dia menghasilkan karya-karya besar lainnya, menjadikan dirinya layak dikenang dalam sejarah sastra Indonesia.
Daniel Fajar Hariyanto