Di negeri ini, memori adalah sesuatu yang rapuh. Setiap penderitaan hanya bertahan sebentar sebelum larut dalam kabut kepasrahan. Orang-orang menyimpan kemarahan di siang hari, lalu melepaskannya menjelang senja, seolah takut esok pagi masih harus menanggung beban yang sama. Aku tumbuh di tengah bangsa yang seakan dikutuk penyakit lupa kolektif, di mana setiap kesalahan penguasa selalu berakhir dengan pemaafan massal, seakan-akan rakyat tak lagi punya pilihan selain bersyukur atas nestapa yang mereka alami.
Hari ini, musibah datang lagi, seperti gelombang pasang yang sudah dihafal ritmenya. Di pasar, harga-harga melonjak seperti binatang liar yang lepas dari kandangnya. Pedagang menggeleng, pembeli menghela napas, orang-orang mengutuk nasib. Di rumah-rumah, perut-perut mengeluh, panci-panci kosong beradu dengan meja, anak-anak bertanya kapan makan malam akan siap. Belum lagi sekarang gas elpiji 3 kg langka.
Dulu, cukup melangkah ke warung di ujung gang, dan tabung hijau itu sudah bisa dibawa pulang. Namun kini, segalanya berubah. Kami harus pergi ke pangkalan resmi, ke tempat-tempat yang entah berapa kilometer jauhnya dari rumah kami. Pengecer dilarang menjualnya, sebab negara tak ingin tangan-tangan kecil itu ikut bermain di pasar. Pemerintah bilang ini masih dalam tahap uji coba, tapi seperti kebanyakan kebijakan di negeri ini, tak ada yang benar-benar diuji sebelum diterapkan. Tidak ada sosialisasi, tidak ada kesiapan infrastruktur. Tiba-tiba saja peraturan itu turun, seperti palu yang menghantam rakyat tanpa aba-aba.
Di sudut lain negeri, antrean mengular di depan pangkalan gas. Matahari sudah tinggi, peluh bercucuran di dahi orang-orang yang menunggu dengan napas memburu. Ibu-ibu berdiri dengan wajah letih, beberapa membawa anak kecil yang rewel karena kepanasan. Di barisan belakang, seorang lelaki tua menopang tubuhnya dengan tongkat, sesekali mengusap wajahnya yang kusam.
Teriakan meledak di tengah antrean ketika seorang ibu jatuh tersungkur. Tubuhnya lemas, napasnya tersengal, sebelum akhirnya tak bergerak lagi. Orang-orang mundur, sebagian memanggil ambulans, sebagian lainnya tetap diam, seolah-olah sakaratul maut di tengah antrean sudah menjadi bagian dari hidup yang harus diterima.
Di sisi lain antrean, seorang lelaki paruh baya tiba-tiba memaki, suaranya menggema di antara deru kendaraan yang lalu lalang, “Jangan ganggu kemiskinan kami!”
Matanya menatap si pelaku pengesahan kebijakan ugal-ugalan itu, mengabaikan berbagai sorot kamera yang merekam, suaranya penuh getir. Ia tahu ucapannya mungkin akan diputar di televisi, dipelintir menjadi keluhan tak berdasar, tapi ia tak peduli. Ia sudah muak. Aku paham maksud pria paruh baya itu. Pemerintah sudah cukup membiarkannya berkubang dalam kesusahan, maka sekarang ia ingin kesusahan dengan tenang tanpa intervensi mereka—yang senantiasa mempersulit keadaan.
Namun, seperti biasa, tak ada pejabat yang benar-benar peduli. Di layar televisi, wajah seorang pejabat muncul, menampilkan senyum penuh pengertian. Dengan suara berat dan berwibawa, ia berkata, “Kami memahami keresahan rakyat. Percayalah, pemerintah tak akan tinggal diam.”
Lalu janji pun ditebar seperti abu di atas air: bantuan akan datang, solusi sedang disiapkan, ketidakadilan akan diperbaiki. Tidak ada pengakuan atas kesalahan, tidak ada pertanggungjawaban—hanya janji yang terdengar seperti lagu lama yang terus diputar ulang.
Beberapa hari kemudian, kebijakan itu akhirnya dicabut. Seorang menteri muncul di layar kaca dan portal berita, tersenyum puas seakan baru saja menyelesaikan krisis besar. Dengan nada tulus, ia berseru pada kerumunan jelata, “Mari kita ucapkan terima kasih kepada Bapak Presiden!”
Ya Tuhan, aku sangat muak sekali. Apa orang-orang ini juga tidak merasakan hal yang sama? Kerap kali aku bertanya-tanya, untuk apa aku selalu berterima kasih kepada mereka yang menempatkan diri sebagai pahlawan semu, atas pertolongan untuk masalah yang tak diminta oleh siapapun? Masalah yang diakibatkan mereka sendiri?
Di sudut-sudut kota, di pelosok desa, orang-orang berkumpul menerima bantuan beras dan minyak goreng, juga tabung gas yang telah terisi. Mereka berbaris rapi, wajah mereka yang semula penuh kesedihan kini berseri, seakan sebuah kantong beras cukup untuk menghapus segala luka yang sudah tertanam begitu dalam dan gas bisa meredakan jeritan mereka agar para jelata segera kembali ke dapur.
Aku berdiri di tepi kerumunan, melihat semuanya seperti menonton sandiwara yang terus diputar ulang. Tanganku mengepal di sisi tubuhku. Aku ingin berteriak, ingin bertanya apakah mereka tidak sadar bahwa ini hanya permainan. Bahwa ini bukan bantuan, melainkan pengalihan. Bahwa mereka sedang bersyukur atas sesuatu yang seharusnya tak perlu diperebutkan.
Seseorang di dekatku—seorang ibu tua dengan wajah penuh kerutan—menyadari kegelisahanku. Perempuan itu tersenyum samar, lalu berbisik, “Kita harus bersyukur, Nak. Kalau tidak, bagaimana kita bisa bertahan?”
Aku ingin menjawab. Aku ingin berkata bahwa rasa syukur semacam ini adalah belenggu. Bahwa kami telah diajari untuk berterima kasih kepada tangan yang menaburkan remah-remah, sementara kami seharusnya berhak atas roti yang utuh. Tetapi kata-kataku tercekat di tenggorokan.
Di hadapanku, seorang pria berbaju safari abu-abu tersenyum puas. Ia adalah tangan kanan Presiden, sang Menteri Kepercayaan, yang ditugaskan untuk memastikan bahwa tidak ada kemarahan yang bertahan lebih dari sehari. Tangannya cekatan menekan tombol record, mengabadikan momen syukur yang akan segera tersebar di mana-mana.
Malam ini, mereka akan tidur dengan hati lega, seolah masalah telah selesai. Kadang aku berpikir ada baiknya kita menjadi bangsa yang pendendam. Mereka yang pendendam tidak akan pernah melupakan derita dan sengsara. Mereka tak akan membiarkan luka-luka lama menguap begitu saja. Sayangnya di negeri ini, amarah hanya berumur pendek, sekejap menyala sebelum padam oleh kebiasaan menerima.
Besok, mereka akan lupa.
Lusa, mereka akan memaafkan.
Sebab, semua ini hanyalah ingatan samar di negeri yang sudah terbiasa melupakan.
Penulis: Syiva Khairinnisa