• Judul               : Asimetris
  • Durasi             : 68 menit
  • Produser         : Indra Jati, Dandhy Laksono
  • Produksi          : Watchdoc – Ekspedisi Indonesia Biru

Pernahkah kita berpikir bagaimana cara perusahaan mendapatkan kelapa sawit begitu banyaknya? Selanjutnya, pikirkan bagaimana nasib petani kelapa sawit di Indonesia? Semua itu mungkin pernah terbesit dipikiran segelintir orang ketika melihat komposisi pada sebuah produk yang mereka konsumsi.

Namun, pertanyaan-pertanyaan tersebut hanyalah berputar di dalam kepala kita, tanpa ingin mencari tahu lebih dalam. Dinamika apa yang sesungguhnya terjadi pada perindustrian perkebunan kelapa sawit di negeri ini.

Ingatkah kalian pada kabut asap yang pernah menutupi wilayah Kalimantan dan Sumatera tahun 2015? Atau, ingatkah kalian pada konflik-konflik lahan yang menyangkut perkebunan kelapa sawit? Masalah ini yang menyangkut konflik lahan perkebunan kelapa sawit di Indonesia, baik yang terlihat oleh rakyat, maupun yang tidak, sudah dibongkar dalam film Asimetris.

Film dokumenter kesembilan dari Ekspedisi Indonesia Biru ini, dilakukan dengan ekspedisi keliling Indonesia menggunakan sepeda motor sejauh 14.000 kilometer. Guna meliput berbagai dinamika sosial yang terjadi.

Asimetris menyajikan berbagai dampak yang ditimbulkan dari industrialisasi perkebunan kelapa sawit pada 2015 secara besar-besaran. Film ini menyajikan data-data berdasarkan hasil risetnya, Asimetris mencoba untuk membuka mata penontonnya bahwa di balik barang jadi hasil campuran minyak kelapa sawit yang kita konsumsi, terdapat perampasan dan penindasan di dalamnya.

Meskipun, kelapa sawit adalah tanaman yang sangat bermanfaat bagi kehidupan manusia. Terutama buahnya yang dapat menghasilkan minyak. Minyak tersebut, merupakan salah satu komoditas penting bagi banyak industri sebagai bahan campuran barang produksinya.

Iklan

Penggunaan minyak kelapa sawit dapat diklasifikasikan menjadi tiga jenis, yaitu kelompok makanan, oleokimia dan biofuel. Minyak kelapa sawit dapat dikategorikan kedalam kelompok makanan, contohnya mentega, minyak goreng, dan lain-lain. Selain itu, minyak kelapa sawit juga dapat dijadikan sebagai bahan campuran non makanan seperti shampoo, detergent, ataupun pelumas mesin. Kebutuhan ini kita sebut oleokimia.

Kini, minyak kelapa sawit juga dibutuhkan untuk campuran bahan bakar, atau yang kita sebut sebagai biofuel. Guna mengurangi ketergantungan terhadap bahan bakar berbahan fosil.

Umumnya, 50% produk-produk yang dibeli masyarakat urban setiap harinya, pasti mengandung minyak kelapa sawit.

Artinya, berbagai perusahaan yang membutuhkan minyak kelapa sawit ini terus mencari lahan yang cocok untuk ditanami tumbuhan kelapa sawit, termasuk di Indonesia. Proyek perkebunan kelapa sawit menjadi bisnis yang sangat menguntungkan bagi perusahaan dan pemilik tanah.

Beberapa daerah tropis termasuk Indonesia, khususnya wilayah Kalimantan, Sumatera dan Papua bagian selatan, menjadi sasaran empuk negara dan investornya untuk dijadikan proyek perkebunan kelapa sawit secara besar-besaran. Maka tak heran jika setiap lima tahunnya, lahan perkebunan untuk kelapa sawit rata-rata bertambah hingga seluas Pulau Bali.

Pembukaan lahan untuk perkebunan kelapa sawit membutuhkan cara yang cepat untuk mengonversikan perkebunan sebelumnya menjadi perkebunan kelapa sawit. Cara kotor pun ditempuh oleh perusahaan industri kelapa sawit yaitu dengan cara membakar hutan dan lahan. Kabut asap akibat pembakaran hutan dan lahan ini mengakibatkan pencemaran udara yang mengganggu aktivitas manusia, termasuk penyakit pernapasan yang ditimbulkannya.

Sejak Juli 2015, Kota Palangkaraya menjadi salah satu bukti dampak pencemaran udara akibat pembakaran hutan dan lahan di Kalimantan. Pada bulan Oktober di tahun yang sama, kadar polusi mencapai 1.300% dari ambang kualitas udara yang sehat bagi manusia. Di Kalimantan dan Sumatera, 19 orang meninggal dunia dan sekitar setengah juta diantaranya, mengalami penyakit infeksi saluran pernapasan akut yang menyerang balita hingga orang dewasa.

Pada September 2015, wilayah Sumatera khususnya di Jambi mendapat perhatian internasional secara khusus karena kabut asap menyebabkan terganggunya penerbangan di Singapura dan Malaysia. Lebih parah lagi, kabut tersebut juga berdampak pada 69 juta orang yang terkena berbagai penyakit saluran pernapasan.

Hal ini membuktikan bahwa, pembukaan lahan untuk perkebunan kelapa sawit yang dilakukan oleh perusahaan dengan cara membakar hutan dan lahan, sangatlah merugikan orang banyak, bahkan telah memakan korban jiwa.

Api tak mudah untuk dijinakkan, sebab 52% lahan yang terbakar adalah lahan gambut yang mengering dan menyimpan bara di kedalaman tanah. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) merilis jumlah titik api di seluruh Indonesia yang mencapai 3.200 lokasi. Ini menyangkut 2,6 juta hektar lahan dan hutan yang terbakar antara bulan Juni dan Oktober 2015. Luas wilayah yang terbakar ini, sama luasnya dengan empat kali Pulau Bali.

Iklan

Industrialisasi kelapa sawit tak hanya berdampak pada pencemaran udara saja. Di kabupaten Hulu Sungai Utara, Kalimantan Selatan, aliran sungai di desa Paminggiran telah tercemar akibat limbah industri kelapa sawit yang membuat ikan-ikan mati. Akhirnya, warga yang sebelumnya menggantungkan hidupnya dari sungai, harus pindah ke kota untuk mencari pekerjaan.

Indonesia mendapatkan suntikan dana dari investor-investor dalam dan luar negeri untuk usaha perkebunan kelapa sawit Total kredit yang diberikan oleh investor-investor dalam dan luar negeri untuk 25 industri perkebunan kelapa sawit terbesar di Indonesia, mencapai 170 triliun rupiah dalam waktu lima tahun.

Hal ini membuktikan bahwa 55% tanaman kelapa sawit, dikelola oleh perusahaan. Meskipun sisanya masih murni dikelola oleh petani-petani kecil, para petani ini pun harus mempertahankan tanah perkebunannya agar tidak digusur dan dikuasai oleh perusahaan. Hal itu juga menimbulkan konflik antara warga dengan perusahaan perkebunan kelapa sawi. Sepanjang tahun 2017, terdapat 659 konflik agraria yang sepertiganya adalah konflik terkait perkebunan kelapa sawit.

Salah satu contoh konflik agraria terkait perkebunan kelapa sawit, pernah terjadi di Mahuze Besar, Papua. Papua pun mulai mengalami nasib yang sama seperti Kalimantan dan Sumatera karena pembukaan hutan dan perkebunan mulai marak terutama di bagian selatan, seperti Merauke dan Boven Digoel.

Penolakan yang dilakukan oleh Suku Malind Deq di Mahuze Besar, Papua terhadap perkebunan kelapa sawit, disebabkan karena mereka ingin mempertahankan tanaman sagu. Mereka merasa tanaman sagu adalah bahan makanan masyarakat Papua yang harus dipertahankan dan tidak boleh dihilangkan.

Industri kelapa sawit memberikan banyak dampak buruk bagi manusia, lingkungan dan ekosistem di dalamnya. Film ini membuka mata kita bahwa Industri perkebunan kelapa sawit sangatlah tidak manusiawi, sebab perampasan yang dilakukan oleh negara dengan dalih kemajuan ini, telah merampas hak hidup banyak orang.   

Semoga, rakyat sadar bahwa Indonesia belum sepenuhnya merdeka karena perampasan dan penindasan masih berlangsung hingga hari ini. Pertanyaan yang dapat ditarik dari film ini bukanlah “mengapa kita harus melawan?” tetapi “mengapa kita tidak melawan?”

Penulis: Hastomo Dwi Putra

Editor: Muhamad Muhtar