Dewasa ini meminum kopi pun sudah menjadi budaya di segala kalangan masyarakat, sampai anak muda labil yang baru saja mengalami pubertas pun membudayakanya. Stigma minum kopi pun sudah mengalami pergeseran. Dulu stigma meminum kopi hanya untuk orang tua yang kolot yang menikmati hari tua senjanya. Pergeseran ini terjadi karena marak nya kafe-kafe yang berjejer di berbagai wilayah dengan desain yang unik. salah satu pelopor maraknya muncul kafe-kafe ini adalah perusahaan asing yang namanya sudah menjadi ikon yaitu Starbuck.

Starbuck muncul dengan gebrakan yang luar biasa walaupun sederhana.Yaitu dengan menghapus sekat antara penjual dengan pembeli. Yakni dengan varian rasa kopi yang unik tetapi nikmat di lidah konsumen. Dengan gebrakan ini, Starbuck telah menjadi acuan kafe-kafe yang marak dewasa ini. Gebrakan ini juga lah, yang telah menggeser budaya meminum kopi. Semula meminum kopi untuk menikmati rasanya menjadi hanya untuk update, dipamerkan di media sosial atau hanya untuk, –mengutip yang diistilahkan oleh Andrew Sneddon, sebagai symbolic value–  mengejar simbolnya. Jadi masyarakat pun berbondong-bondong ke Starbuck untuk update di medsos, walaupun dengan harga yang lumayan mahal mereka merasa bodo amat demi prestige.

Di balik mahalnya harga secangkir moccacino di Starbuck yang tinggi, ironisnya masa ada, kalau boleh dibilang banyak, petani-petani kopi yang memiliki kecenderungan hidup dalam kemiskinan. Misalnya, petani kopi arabika di Indonesia sebanyak 24 persen miskin, sedangkan petani kopi robusta di Indonesia sebanyak 50 persen miskin.

Dengan beragamnya nilai harga kopi yang ditentukan dari kualitas biji dan proses penanaman. Alangkah sulit diterima seharusnya ketika masih ada petani miskin. Ketika harga kopi di kafe-kafe multinasional, menjual kopi yang siap minum dengan harga yang mahal. Terutama Indonesia, yang  secara geografis mempunyai kesesuaian untuk menghasilkan kopi-kopi berkualitas tinggi (premium).

Lebih-lebih, jika tahu fakta bahwa kopi kopi di kafe-kafe multinasional, layaknya Starbuck, yang menjual kopi-kopi mahalnya justru dari biji kopi yang berkualitas rendahan. Bayangkan, kopi kualitas rendahan harganya bisa semahal itu. Bagaimana dengan kopi-kopi dari petani Indonesia yang kualitasnya kebanyakan bisa sampai tingkatan premium. Namun kenyataannya, petani kopi tidak sesejahtera itu.

Permasalahan petani kopi ini sangat rumit. Mulai dari rantai distribusi yang terlalu panjang. Menjualnya kepada tengkulak, dan terus beralih tangan, menyebabkan rendahnya harga kopi di tingkat petani kopi. Hingga sulitnya akses bagi petani kopi untuk berkembang. Belum lagi, adanya impor biji kopi yang membuat harga kopi rendah. Padahal, prestasi pertanian kopi Indonesia adalah peringkat tiga terbaik sedunia. Juga kopi luwak yang berhasil memuncaki kelas kopi dunia, karena keunikan rasanya.

Iklan

Selain itu petani kopi di Sumatera Selatan mereka kesulitan mendapatkan pupuk berkualitas dikarenakan harga yang sangat tinggi,ini lah penyebab bahwa hasil panen bji kopi mereka bisa menyentuh angka 2,5 ton hektar per tahunnya.Namun justru hanya menghasilkan 800 ton saja. Beda lagi dengan petani kopi di Pasuruan yang sulit sekali memasarkan hasil. Padahalnya sangat besar dan berlimpah.

Tidak banyak pilihan bagi petani kopi untuk sejahtera. Negara tidak banyak berperan. Alhasil, petani kopi harus berjuang sendiri. Misalnya membuat koperasi atau usaha-usaha mandiri lainnya. Sudah jatuh tertimpah tangga pula, petani kopi dalam kerja kerasnya justru masih saja dihambat.

Itu terjadi pada petani kopi di Cibulao. Mereka sudah berjuang dengan gigih membangun koperasi tetapi pendistribusian biji kopi mereka di persulit oleh perusahaan teh. Dimana untuk distrubusi saja mereka harus membayar iuran kepada perusahaan teh yang mengelilingi jalur pendistribusian biji kopi mereka.Namun jusru membat para petani menjual hasil panennya kepada tengkulak dengan terpaksa dan pastinya dengan harga di bawah pasaran.

Penulis: Ahmad Rizalul Haq