Judul buku: Sejarah Kelas Menengah: dari Zaman Kerajaan hingga Indonesia Modern

Penulis: Arie Wahyu Prananta

Penerbit: Intrans Publishing

Tahun terbit: 2019

Halaman: 98 hlm

ISBN: 978-602-6293-79-4

Iklan

Istilah “kelas menengah” ramai digembar-gemborkan belakangan ini. Sebabnya, belum lama ini pemerintah mengeluarkan kebijakan kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen yang  akan mulai diterapkan pada 1 Januari tahun 2025. Imbasnya, banyak pemberitaan kemudian muncul menyebutkan kelas menengah sangat terdampak oleh kenaikan PPN.

Meski kenaikan PPN menurut pemerintah hanya untuk barang atau jasa tergolong mewah saja, akan tetapi terkuak bahwa kenaikan pajak juga menjurus kepada sederet barang yang biasa diakses masyarakat dari segala golongan. Dengan demikian, kenaikan PPN menuai banyak sekali kritik dari masyarakat, terutama golongan kelas menengah, seperti mahasiswa, pekerja formal, kelompok perempuan, hingga Kpopers

Tidak hanya berbicara di media sosial, masyarakat kelas menengah tak segan melakukan aksi demonstrasi. Lebih jauh, mereka bahkan membuat petisi penolakan kenaikan PPN secara daring yang sudah ditandatangani kurang lebih oleh 120.000 warganet pada tanggal 19 Desember 2024.

Menyoal kelas menengah, sebetulnya masih banyak sekali perdebatan mengenai definisi kelas ini dan siapa saja yang termasuk ke dalam kelompok tersebut. Kelas menengah tidak seperti kelas proletar dan borjuis yang secara pengertian cenderung ajeg. Pandangan mengenai kelas menengah umumnya berbeda di setiap daerah dan terus berubah. Pandangan ini disesuaikan dengan bagaimana kondisi politik, sosial, ekonomi, budaya, dan aspek-aspek lain.

Di Indonesia sendiri, berdasarkan laporan tahun 2019 World Bank, berjudul “Aspiring Indonesia–Expanding The Middle Class”, masyarakat dengan pengeluaran Rp532.000 sampai Rp1.200.000 termasuk ke dalam kelompok calon kelas menengah. Lalu, untuk masyarakat yang pengeluarannya dari Rp1.200.000 sampai Rp6.000.000 merupakan kelompok kelas menengah. Pengklasifikasian definisi tersebut dilakukan dengan menilik bagaimana lonjakan tingkat konsumsi masyarakat di Indonesia.

Ariel Heryanto melalui tulisannya dalam pengantar buku Politik Kelas Menengah Di Indonesia turut memberikan pandangannya. Menurutnya, kelas menengah pada masyarakat kapitalistik mutakhir identik dengan kaum-kaum terpelajar kota bergelar.

Kebanyakan dari kelas menengah cenderung bekerja sebagai pejabat pemerintahan, praktisi, manajer di perusahaan dana, dan golongan terdidik/intelektual. Mereka juga dianggap sebagai kelompok atas dalam tata-produksi, hanya saja masih belum dominan seperti kelas atas, karena mereka masih sebatas mengandalkan pengetahuan dan keterampilan.

Baca juga: Di Bawah Lentera Merah: Serangkai Perjuangan Kelas Pekerja Melawan Penindasan

Berbeda dengan yang lainnya, Arie Wahyu menguraikan menguraikan siapa dan bagaimana kemunculan kelas menengah di Indonesia berdasarkan pembabakan zaman. Melalui bukunya berjudul Sejarah Kelas Menengah: Dari Zaman Kerajaan hingga Indonesia Modern, ia menjelaskan mengenai kelas menengah sejak masa pra kemerdekaan hingga pasca reformasi. 

Saat masa pra kemerdekaan, tepatnya pada masa Politik Etis (1901), struktur sosial masyarakat Indonesia mulai mengalami banyak perubahan. Lewat kebijakan itu, mulai banyak sektor pendidikan dan pekerjaan yang dapat diakses oleh pribumi. Kendati begitu, diskriminasi sosial tetap saja sulit terhindarkan.

Iklan

Hal itu dapat dilihat dari sekolah-sekolah Belanda yang mulanya didirikan untuk pribumi, tapi dalam praktiknya tetap tidak mengedepankan asas kesetaraan. Meskipun kala itu sudah banyak pribumi berhasil mengenyam pendidikan, tetap saja pekerjaan dalam ranah pemerintahan masih sulit didapatkan oleh pribumi. Dari diskriminasi tersebut, akhirnya memicu gerakan sosial anti kolonialisme yang dilakukan dan dipelopori oleh kaum terpelajar dan pemuda kelas menengah. 

Setelah Indonesia merdeka, semangat antikolonialisme tetap mendominasi karena senantiasa digaungkan oleh pemerintah. Akan tetapi, gerakan sosial dengan mahasiswa dan pemuda dari kelas menengah sebagai pelopornya lebih banyak didorong oleh pertarungan ideologi. Berbagai organisasi mahasiswa mulai bermunculan seperti Central Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI) dan Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) yang berafiliasi dengan sejumlah partai politik, memperlihatkan bagaimana keterlibatan kelas menengah dalam dinamika politik era Orde Lama.

Memasuki era Orde Baru, kuatnya cengkraman rezim otoriter membuat kelas menengah memiliki dua karakter. Pertama, kelompok pebisnis yang mandiri secara ekonomi, tetapi begitu apatis terhadap politik kecuali berdampak positif terhadap keberlangsungan bisnisnya. Lalu, kelompok berpendidikan tinggi, seperti akademisi, dosen, dan mahasiswa. Meski tidak memiliki modal ekonomi, kesadaran politik mereka terbilang tinggi dan berorientasi pada perubahan. Kelompok inilah akhirnya yang mendinamisasi gerakan kelas menengah di era tersebut.

Pada masa Orde Baru, banyak kebijakan pemerintah yang hanya menguntungkan segelintir pihak saja. Mahasiswa sebagai kelompok kelas menengah tak segan untuk melibatkan dirinya dalam aksi demonstrasi melawan rezim. Bahkan, pada tahun 1992 terbentuk Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (SMID) dengan para kadernya yang seringkali terjun ke sektor-sektor rakyat, seperti petani dan buruh untuk melakukan pengadvokasian. Keadaan ini terus berlanjut hingga rezim otoriter itu dapat ditumbangkan oleh gerakan mahasiswa bersama rakyat.

Memasuki era reformasi, masyarakat sipil sebagai bagian dari kelas menengah mulai menjamur dalam gerakan dengan wujud berupa lembaga swadaya masyarakat (LSM). Dengan keran demokrasi terbuka lebar, membuat jalan masyarakat sipil semakin mulus dalam kancah politik Indonesia. 

Baca juga: Reruntuhan Ide Kolonialisme Subjek Sunda: Langgengnya Konstruksi Etnis dalam Pilkada Jabar 2024

Namun, di tengah maraknya LSM, keberadaan mahasiswa dalam gerakan sosial malah mengalami kelesuan dan kemandekan. Padahal sejak masa pra kemerdekaan, gerakan sosial didominasi oleh para mahasiswa dan pemuda dengan watak yang menginginkan perubahan. Alhasil, mahasiswa agaknya tidak lagi dapat dijadikan sebagai tameng dalam mendorong perubahan sosial.

“Padahal, seharusnya gerakan mahasiswa bisa memunculkan kembali kekuatannya sebagai pelopor buat rakyat. Tetapi, gerakan mahasiswa kini hanya muncul pada momentum-momentum tertentu,” (halaman 89).

Dari rangkaian peristiwa ini, terlihat bahwa tiap-tiap zaman memiliki karakteristik yang berbeda dalam mendefinisikan kelas menengah. Meski begitu, kelas menengah di tiap zamannya identik dengan gerakan sosial. Hal ini karena di setiap periode pembabakan zaman, kelas menengah dengan modal secara sosial maupun materi kerap menjadi motor penggerak utama dalam mendorong perubahan sosial. 

“Kelas menengah adalah mereka yang independen dan kritis, yang bergerak berdasarkan kepentingan buruh, tani, nelayan, kaum miskin kota, dan pegawai negeri golongan rendahan. Merekalah yang independen dari struktur kekuasaan. Di sini, sejarah telah membuktikan bahwa kelas menengah bisa menciptakan perubahan,” (halaman 6).

Sekadar Kaum Reaksioner 

Anggapan bahwa kelas menengah sebagai motor penggerak perubahan sosial memanglah tepat karena sejalan dengan semangat perjuangan di masa lalu. Akan tetapi, jika melihat kondisi hari ini, agaknya anggapan tersebut perlu dikritisi kembali. 

Lantaran dari sekian banyaknya permasalahan sosial, seperti rendahnya upah buruh dan kenaikan biaya pendidikan, kelas menengah malah cenderung absen dalam melawan dan mendorong perubahan. Bahkan, tidak jarang mereka mengkritik keras orang-orang melakukan aksi demonstrasi atau menyuarakan aspirasinya. Mereka menilai pemenuhan kebutuhan hidup seharusnya dilakukan melalui bekerja lebih giat, bukan dengan unjuk rasa.

Akan tetapi, bila ditelisik lebih jauh, sikap berbeda akan ditunjukkan oleh kelas menengah ketika permasalahan dianggap langsung menyasar dirinya. Contohnya adalah kebijakan kenaikan PPN yang ditolak oleh banyak masyarakat kelas menengah. 

Namun, setelah kebijakan itu kemudian hanya berlaku kepada barang dan jasa mewah, masyarakat kelas menengah yang sebelumnya sempat berbondong-bondong memberikan kritik dan ikut aksi demonstrasi, kini seakan sudah tidak lagi kelihatan. Padahal, masih banyak persoalan negeri yang menggunung hari ini.

Baca juga: Alih-alih Menyejahterakan, Dana Desa justru Memperbesar Ketimpangan

Inilah kritik terhadap kelas menengah hari ini yang amat berbeda dengan masa lalu. Sangat meragukan jika mereka dijadikan sebagai motor gerakan dalam melakukan perubahan karena sikapnya yang bersifat reaksioner, sehingga banyak permasalahan sosial menguap begitu saja.

Secara keseluruhan, buku ini berhasil menjelaskan dengan apik bagaimana dinamika kelas menengah dari zaman sebelum Kemerdekaan sampai era Reformasi secara historis dan kaitannya dengan gerakan sosial. Penulis juga menawarkan gagasannya dalam mengidentifikasi kelas menengah dengan memperhatikan aspek sosial politiknya, agar tidak hanya berpangku pada penghasilan atau pengeluaran secara ekonomi semata.

Namun sayangnya, masih terdapat beberapa peristiwa di masa pra kemerdekaan digambarkan secara bertele-tele. Akan tetapi, buku ini tetap menarik untuk dijadikan referensi guna memahami dinamika kelas menengah yang senantiasa mengalami perubahan seiring perkembangan zaman.

Penulis: Devita Sari

Editor: Andreas Handy