Oleh: Annisa Nurul Hidayah Surya
Jika menelisik Undang-Undang Dasar tahun 1945, yang mana digunakan sebagai acuan peraturan kehidupan bermasyarakat di Indonesia, tentu kita akan menemukan pasal-pasal yang memberikan keterangan mengenai kewajiban dan hak setiap warga Negara Indonesia. Kewajiban warga negara ialah apa yang harus dilakukan oleh seorang warga dari suatu negara. Sedangkan hak warga negara ialah apa yang harus didapatkan oleh setiap warga dari suatu negara atas kewajiban yang telah dijalaninya.
Membahas tentang “hak warga negara”, bagiku cukup menarik membahas hak yang satu ini, yakni ‘hak kebebasan mengeluarkan pendapat’. Hak ini merupakan salah satu dari hak-hak lain yang sering diselewengkan.
“Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan Undang-Undang” Begitulah bunyi pasal 28 Undang-undang Dasar tahun 1945. Pasal tersebut dengan tegas telah memberikan gambaran mengenai hak setiap individu atau masyarakat Indonesia untuk mendapat kemerdekaan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pikirannya lewat cara-cara yang diatur oleh Undang-undang itu sendiri (re: lisan dan tulisan).
’Kemerdekaan’ berarti bebas tanpa ada unsur penindasan di dalamnya. ’Mengeluarkan pikiran’ berarti mengekspresikan atau mewujudkan apa yang ada di dalam pikiran. Wujud dari pemikiran setiap individu itu sendiri bermacam-macam, dapat berupa kritik, saran, pesan, dan lain-lain.
Pasal tersebut harusnya sudah cukup kuat sebagai landasan hukum, manakala pembungkaman itu nyata terhadap warga Negara Indonesia. Pasal tersebut pun merupakan bukti bahwa setiap Warga Negara Indonesia memiliki hak dan kewajiban yang sama.
Mungkin kita lantas berfikir bahwa pasal tersebut merupakan bentuk jaminan untuk perlindungan warga Negara yang berpendapat. Namun kenyataan di Indonesia sendiri membuktikan bahwasannya –meskipun sudah terdapat pasal yang melindungi orang berpendapat— kebebasan berpendapat itu masih belum tercapai seutuhnya. Kata ‘merdeka’ dari bunyi pasal tersebut lah yang utamanya sangat jauh dari kata tercapai. Bahkan sampai dengan zaman modern ini, di Indonesia masih terjadi penyelewengan hak kebebasan berpendapat.
Warga Negara Indonesia mungkin tahu -atau setidaknya pernah mendengar- tentang mereka yang pernah menggunakan hak berpendapatnya namun harus berakhir dengan kehilangan jiwa dan raganya. Ada yang dipenjarakan, diasingkan, atau bahkan hilang tak berjejak hingga sekarang. Sebut saja Wiji Thukul, seorang buruh yang kerap kali menggunakan hak berpendapatnya. Dia harus rela hilang tanpa jejak hingga kini. Pramoedya Ananta Toer, karena hal yang sama, ia juga harus merasakan bui dan pengasingan. Juga Iwan Fals, musisi yang hingga kini kita masih bisa kita lihat penampilannya di televisi, merupakan musisi yang pernah merasakan penjara karena mengutarakan pendapatnya lewat lagu.
Tapi, saya pikir, memang sudah seharusnya bahwa setiap warga negara tidak boleh takut untuk bersuara, apalagi menyuarakan kebenaran. Sudah seharusnya pula bahwa semua pihak saling menghormati hak satu sama lainnya. Bukannya malah melakukan tindakan represif terhadap orang-orang yang mencoba mengeluarkan pendapatnya. Terutama terhadap orang-orang yang mengeluarkan pendapatnya lewat kritikan-kritikan.
Karena kata “merdeka” dalam pasal 28 itu sendiri sangatlah mengacu kepada kebebasan dan hak individu khususnya dalam hal berpendapat. Maka wajiblah kita sebagai warga Negara menggunakan hak kita tersebut.
Sesungguhnya Indonesia tidak akan pernah mengalami kemajuan yang bermakna, jika dalam mempraktikkan undang-undang —yang merupakan sumber dasar penyelenggaraan kehidupan bermasyarakat di Indonesia- masih terdapat banyak penyelewengan. Indonesia juga tidak akan memiliki sumber daya manusia yang berkualitas dalam jumlah besar, jika orang-orang yang menggunakan haknya terus dipenjarakan, diasingkan atau bahkan dilenyapkan.