Problem agraria yang terus terjadi, hingga hari ini tidak kunjung menunjukan tanda terselesaikan. Dalam catatan Konsorisum pembaruan agraria (KPA) selama tahun 2018 saja, terjadi sekitar 410 konflik agraria. Selama empat tahun pemerintahan Joko Widodo, terjadi sedikitnya 1.769 konflik agraria.

Dengan wilayah konflik agraria yang terjadi sepanjang tahun lalu mencakup luas wilayah 807.177,6 hektare (ha) dan melibatkan 87.568 kepala keluarga. Di samping itu, tiap tahunnya, masyarakat yang tergabung dalam Komite Nasional Pembaruan Agraria (KNPA) terus memperjuangkan agar pemerintah dapat bertindak arif menyelesaikan masalah agraria tersebut.

Minggu, (22/9) koalisi itu melakukan konferensi pers terkait permasalahan agraria tersebut. Acara tersebut dilaksanakan di sekretariat KNPA, Jakarta. Direncanakan, melalui konferensi pers tersebut, sekitar 7500-an masyarakat pada 24 September akan menghadiri istana dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk berunjuk rasa dalam momentum hari tani nasional, sekaligus menuntut penyelesaian permasalahan agraria.

Selain konflik lahan, pembakaran hutan pun menjadi masalah agraria yang hingga hari ini masih sering terjadi. Belum lagi, pemerintah dan DPR tahun ini, dalam waktu dekat akan mengesahkan Rancangan Undang-Undang Pertanahan (RUUP) yang sarat dengan penyimpangan konstitusional.

Rancangan undang-undang itu dianggap bermasalah salah satunya adalah pasal mengenai Hak Guna Usaha (HGU). Dalam RUU yang baru, HGU diperpanjang masa berlakunya hingga 90 tahun. Dari yang sebelumnya hanya 35 tahun.

Dewi Kartika, selaku Sekretaris Jendral KPA, mngungkapkan, beberapa pemilik koorporasi pun menolak pasal tentang HGU dalam RUUP yang baru. Namun, penolakan itu hanya karena di dalam pasal meminta ditingkatkannya pajak untuk yang sudah melebihi batas maksimum.

Iklan

“Mereka menolak membayar pajak lebih. Kalau kita meminta pemerintah mengadili mereka yang memanfaatkan lahan melebihi masa berlaku HGU,” terangnya.

Selain itu, adanya Hak Pengelolaan (HPL) yang dipegang oleh pemerintah melalui Lembaga Pengelolaan Tanah (LPT). Melalui LPT, tanah akan dipegang oleh lembaga. Hal itu, dinilai bertentangan dengan pasal 33 ayat 3 yang secara filosofis. Dalam tafsiranya, negara hanya mengatur, mengurusi dan mengawasi pengelolaanya untuk kedaulatan bangsa bukan berarti negara yang memiliki tanah.

Pasal-pasal itu, menimbulkan tafsiran yang tidak tunggal, atau biasa disebut pasal karet. Maka, ketika pasal itu itu disahkan, makin membuka ruang besar akan terjadinya konflik agraria, temasuk melemahkan hak (ulayat) masyarakat adat.

Dewi Kartika, melanjutkan, RUU sekarang sama seperti RUU yang sejak dua periode lalu ditolak masyarakat. Pasal-pasal bermasalah menurutnya, hanya diubah urutanya. “Seperti pasal tentang HPL yang urutanya dibuat ke belakang dan hak hukum masyarakat adat di urutan ke depan, namun tetap menggunakan definisi yang lama,” lanjutnya.

Ia menambahkan, beberapa pasal yang pernah ditolak pun hanya hanya diganti nama. Seperti pasal sebelumnya ada Bank Tanah diganti menjadi Lembaga Pengelolaan Tanah. “Pasal yang sebelumnya pun belum sepenuhnya menyelesaikan masalah. Yang disayangkan ini (RUUP), justru semakin lemah,” pungkasnya.

Penulis : Muhammad Muhtar

Editor : Uly Mega Septiani