• Judul Buku : Siapa yang Memasak Makan Malam Adam Smith
  • Penulis : Katrine Marcal
  • Penerbit : Marjin Kiri
  • Tahun Terbit : 2015 (ed. bahasa Inggris); 2020 (ed. Bahasa Indonesia)
  • Jumlah Halaman : viii + 226 hlm

No such a things as society,” ujar Margaret Thatcher, mantan Perdana Menteri Inggris dalam wawancara dengan Sunday Times pada 1987. Menurutnya, kualitas hidup kita tergantung pada seberapa banyak masing-masing dari kita yang siap mengambil tanggung jawab untuk diri kita sendiri[1]. Jika mengikuti pemikiran Thatcher, hari ini  hanya ada individu-individu yang berkompetisi untuk memenuhi kebutuhan pribadinya. Logikanya, jika Anda tidak cepat, tidak disiplin, dan tidak tanggap terhadap zaman, maka bersiaplah Anda menjadi budak dan diperbudak oleh orang yang memenangkan zaman.

Semua hal tersebut, dewasa ini, dianggap sangat rasional dan sangat ideal diterapkan pada individu. Tidak ada jalan lain. Bagi Thatcher, kompetisi tersebut digadang-gadang sebagai satu-satunya menuju percepatan ekonomi.

Akan tetapi, benarkah kompetisi adalah satu-satunya hal yang dapat mensejahterakan umat manusia? Sepertinya, Katrine Marcal, jurnalis kelahiran Swedia, tidak terlalu bersepakat dengan logika tersebut.  Dalam bukunya yang berjudul Siapa yang Memasak Makan Malam Adam Smith, Katrine mulai menjelaskan manusia ekonomi melalui novel Daniel Dafoe. Dalam novel tersebut, terdapat tokoh utama bernama Robinson Crusoe. Ia diceritakan terdampar sendirian di sebuah pulau. Untuk bisa bertahan hidup, ia harus mengalkulasikan manfaat dan situasi. Dengan cara itu, ia bisa menguasai alam. Setelah itu, ia merasa sangat bebas dan bisa menentukan apa yang ingin ia lakukan di pulau tersebut.

Novel ini, menurut Katrine, seperti ingin menggambarkan tentang daya cipta dan kecerdikan individu. Nantinya, para ekonom menyebut Robinson sebagai homo economicus. Hal tersebut juga menjadi landasan bagi teori ilmu ekonomi. Ilmu ekonomi memutuskan bahwa individulah yang harus dipelajari, sehingga kita perlu menceritakan kisah yang sudah disederhanakan tentang bagaimana ilmu ini bertindak. (hal.25)

Selanjutnya, jika untuk bertahan hidup semua manusia harus menjadi manusia ekonomi, dimana letak perasaan, kasih sayang, dan emosi? Sedangkan kita selalu dituntut untuk rasional, mengalkulasi segalanya, dan melakukan segala hal dengan alasan kepentingan pribadi.

Untuk menjawab hal tersebut, menurut Katrine, kita harus merujuk pada Bapak Ekonomi, Adam Smith. Ketika Adam Smith menjelaskan teorinya yang paling fenomenal yakni, invisible hands, sebagaimana diartikan sebagai ‘tangan tak terlihat’ yang mengontrol individu-individu untuk melakukan kegiatan jual-beli, Adam mencontohkan ketika kita membeli roti, hal tersebut dilakukan karena kita membutuhkannya untuk memenuhi kebutuhan, bukan semata-mata iseng atau kasihan dengan orang lain. Begitu pula dengan penjual roti. Ia menjual roti bukan karena ia sukarela ingin menjual roti tersebut kepada orang yang lapar, namun untuk mendapatkan uang guna memenuhi kebutuhan pribadinya.

Iklan

Di titik ini, Katrine, mengkritik Adam Smith dengan mengingatkan apa yang luput dari Adam Smith. Bapak Ekonomi itu seumur hidup tidak pernah menikah. Namun, setiap malam selalu ada yang menyediakan makanan untuknya di meja makan. Lantas siapakah yang menyiapkan makanan itu?

Margareth Douglas, jawabannya. Ia adalah ibu Adam Smith.

Lantas pertanyaannya, apakah Margareth Douglas melakukan itu karena kepentingan pribadinya, atau ia dibayar atas tindakannya tersebut? Tentu tidak, ia melakukan itu karena Adam Smith adalah anaknya. Rasa kasih sayang yang mendasari kegiatannya setiap hari, yakni menyajikan masakan untuk Adam Smith. Bukankah bila setiap hari ia tidak memberikan makanan untuk Adam Smith, sejak bayi hingga dewasa, tidak mungkin Adam Smith masih bisa hidup dan menjadi ekonom terkenal? Lalu, apakah Margareth bukan manusia ekonomi? Jika seperti itu asumsinya, maka apa yang dikatakan sebagai manusia ekonomi hanya berlaku bagi laki-laki. Perempuan bukanlah manusia ekonomi.

Domestifikasi Perempuan

Filsuf berkebangsaan Jerman, Fredrich Engles dalam The Origin of the Family, Private Property and the State menjelaskan bagaimana sejarah pembagaian kerja yang membuat perempuan harus terdomestifikasi (dapur, sumur, dan kasur). Dalam hal tersebut, Engles menjelaskan sejarah perkembangan masyarakat pada zaman hortikultura, di mana manusia sudah mengenal sistem ternak dan bercocok tanam, dan mulai tinggal menetap. Selain itu, mulai ada pembagian kerja, di mana perempuan di rumah untuk menjaga anak-anak dan menyusui, sedangkan laki-laki berburu dan menciptakan alat untuk bercocok tanam.

Dari sana sudah mulai ada kepemilikan pribadi berupa lahan tempat tinggal dan hewan ternak. Untuk mempertahankan kepimilikan pribadi tersebut, dibuatlah sistem ikatan hubungan yang dinamakan pernikahan. Perempuan mengurusi urusan reproduksi dan laki-laki bekerja. Perempuan menyusui, mengasuh, dan membesarkan anak. Sedangkan laki-laki bekerja mencari uang dan pulang ke rumah meminta kasih sayang kepada sang istri. Istri harus siap sedia memberikan kasih sayang itu.

Katrine mengatakan, perempuan tidak dianggap sebagai manusia. Energi yang tiap harinya perempuan lakukan ketika di rumah, tidak pernah dianggap sebagai kerja. Ekonomi tidak pernah menggap hal tersebut sebagai sebuah tindakan ekonomi.  Perempuan hari ini hanya dianggap sebagai sebuah barang atau infrastruktur yang tidak pernah habis, selalu tersedia.

Ilmu ekonomi ingin mencadangkan kasih sayang. Kasih sayang dirasa perlu dihemat dengan dikecualikan dan daya dorong seperti kepedulian, empati, dan perawatan perlu di dorong keluar dari analisis. Hal-hal yang tidak dianggap sebagai sifat-sifat yang menciptakan kemakmuran. (hal. 121) segala sesuatunya dilakukan hanya demi kepentingan pribadi dan penumpukan keuntungan sebesar-besarnya.

Padahal kenyataannya, hal itu hanyalah akal bulus sistem ekonomi hari ini yang hanya terpaku pada akumulasi modal. Perempuan dipaksa kalah agar kerjanya menjadi tidak ternilai. Ataupun ketika ia dinilai, tentu dengan upah yang berbeda dengan laki-laki. Ini bukan hanya masalah gender, tapi juga masalah logika ekonomi hari ini yang selalu berpaku pada keuntungan sebesar-besarnya dengan kerugian sedikit mungkin.

Tesis mengenai manusia ekonomi yang menyampingkan kasih sayang, akhir-akhir ini juga harus batal akibat adanya pandemik Covid-19. Sebagaimana kita tahu, ketika semua orang dituntut untuk di rumah saja, menjaga jarak satu sama lain, perekonomian mengalami goncangan besar. Manusia ekonomi yang harusnya rakus, tidak bisa berbuat apa-apa. Justru yang menyelamatkan umat manusia, adalah rasa kasih sayang, saling berbagi, dan bersolidaritas. Invisible hands yang mementingkan kepentingan individu, digantikan oleh invisible hearts. Tangan-tangan kasih sayang yang tak terlihat.

Iklan

Di sini bagi saya, manusia ekonomi ala Adam Smith dan apa yang dibayangkan Margareth mengenai kompetisi harus batal. Pandemik menyadarkan kita satu dari banyak hal, salah satunya penumpukan modal sebesar-besarnya yang tidak mungkin dan tidak juga diinginkan.

Sama seperti apa yang digambarkan Katrine, ketika melihat kegagalan logika ekonomi Adam Smith saat melupakan ibunya, ekonomi hari ini juga gagal karena terlalu berorientasi kepada penumpukan modal. Ekonomi yang dirasa kuat dan rasional, ternyata tidak bisa menyelesaikan masalah pandemik dengan prinsip-prinsip manusia ekonomi. Kita sering melupakan hal kecil, dan nyatanya hal tersebut lah yang membuat ekonomi hari ini menjadi ekonomi yang berantakan.

Terakhir, mengutip ucapan Katrine, seharusnya kita menata perekonomian di seputar apa yang penting bagi orang. Tapi, yang kita lakukan justru sebaliknya. Kita mendefinisikan orang untuk memaksakan gagasan kita tentang ekonomi. Hal-hal besar memang menggiurkan dan menyajikan keberlimpahan. Tapi hal-hal kecil, layaknya kasih sayang, ternyata bisa menggerakkan hal besar, yang terkadang kita melupakannya.

Penulis: Uly Mega S.

Editor: Hastomo D. P.


[1] https://www.margaretthatcher.org/document/106689