- Judul Buku : Dinamika Kelas dalam Perubahan Agraria
- Penulis : Henry Bernstein
- Penerbit : Fernwood Publishing, 2010
- Tebal Buku : xi + 139 hlm
Dari beberapa permasalahan agraria yang menghantui sosio-ekonomi masyarakat Indonesia, perlu bagi kita untuk mengetahui asal-muasal munculnya sistem kapitalisme itu sendiri. Sebab berbagai permasalahan yang terjadi sekarang, tak terlepas dari aspek historis munculnya akar permasalahan tersebut.
Bernstein menganalisis munculnya kapitalisme dan perkembangannya yang disebabkan oleh akumulasi primitif. Akumulasi primitif dijelaskan sebagai proses masyarakat pra-kapitalis dalam mendapatkan “surplus” non-pasar dengan ekspoitasi atau “paksaan ekstra ekonomi.” Melalui akumulasi primitif inilah petani mulai dipisahkan dari alat produksinya secara perlahan. Bernstein menggunakan studi kasus yang terjadi di Inggris, Prusia dan Amerika dalam analisanya terhadap munculnya kapitalisme.
Pada permulaan transisi zaman perbudakan menuju zaman kapitalisme, kelas kapitalis dibagi menjadi empat, yaitu: Kelas bangsawan pemilik tanah, kelas pedagang yang meminjamkan kredit dan barang-barang untuk pemilik tanah, kapital agraria yang mengurus langsung di lapangan dan kelas perbankan yang mendanai segala kegiatan produksi.
Selanjutnya, Bernstein menerangkan bahwa zaman kolonial (yang dipelopori oleh Colombus pada tahun 1492) telah membuka gerbang munculnya kapitalisme agraria yang kemudian menjadi kapitalisme industri. Komodifikasi produksi akibat tuntutan pasar global menjadi faktor negara-negara kolonial mencoba merampas hasil alam serta budak negara koloninya. Hal ini didukung oleh pernyataan Marx bahwa “Tanah dan budak menjadi komoditas penting dalam moda produksi serta munculnya kapitalisme dagang, menjadi sebab umum mengapa bangsa Eropa ingin memiliki negara koloni.”
Memasuki abad ke-20, negara-negara yang tadinya berada dibawah kontrol kolonialisme, mulai memerdekakan dirinya. Negara-negara yang baru lahir ini kemudian memiliki masalah baru, yaitu bagaimana cara memulihkan kembali kondisi negaranya. Petani marginal, petani skala kecil dan pertanian rumah tangga diintegrasikan demi pembangunan negara. Ini menyebabkan kelas-kelas petani berdinamika dan berubah menjadi budidaya pertanian dibawah kontrol negara masing-masing.
Tahun 1970, ekonomi kapitalis mengalami proses transformasi besar dengan hadirnya globalisasi neoliberal. Globalisasi neoliberal memungkinkan adanya relasi komoditas antar negara, kontrol terhadap petani dan industrialisasi.
Indonesia, sebagai negara yang pernah menjadi koloni bangsa-bangsa Eropa dan Jepang, menjadi negara yang mengatur produksi, produktivitas, dan reproduksi petani-petani marginal. Sebagai negara yang ingin menancapkan taringnya di kancah ekonomi internasional, pemerintah mengulurkan karpet merah kepada investor lokal maupun internasional. Bahkan, pemerintah tak segan mengorbankan ruang hidup para petani, seperti yang menimpa nasib warga Desa Bangun Sari, Kecamatan Tanjung Morawa, Deli Serdang, Sumatera Utara. Menurut Catahu KPA edisi 2018, kali ini PT. Perkebunan Nusantara II (yang merupakan Badan Usaha Milik Negara) berkonflik dengan warga. Konflik yang berada di atas lahan seluas 119 hektar tersebut, telah berlangsung sejak tahun 1959. Lahan ini awalnya merupakan lahan bekas perkebunan Belanda yang mulai digarap masyarakat sejak 1942. Namun pada tahun 1959, PT. Perkebunan Nusantara II datang mengambil dan menguasai lahan tersebut secara sepihak. Tindakan tersebut menggusur lahan garapan 110 keluarga petani yang telah bermukim jauh sebelumnya.
Dari hal tersebut, muncul sebuah pertanyaan: dengan berkuasanya globalisasi neoliberal yang membawa dampak buruk terhadap dunia pertanian, apakah turut mengakhiri keberadaan petani kecil? Bernstein menyebut bawa upaya depeasantization, yakni terlemparnya petani dari kegiatan pertanian, tidak akan menghilangkan kelas petani. Hal ini karena kelas sosial tidak mudah hilang begitu saja, mereka terus hidup dan bertransformasi melalui perjuangan kelas.
Perjuangan kelas ini menjelma dalam bentuk perlawanan yang dilakukan oleh petani kecil yang didorong oleh pembangunan kapitalis yang tidak merata, komodifikasi, dan proletarisasi petani sejak masa kolonial.
Menurut Bernstein, kelas terbentuk akibat relasi sosial dari produksi. Lebih luas lagi, sebuah kelas dapat dilihat dari hubungan kelas tersebut dengan kelas lain, misal: petani keluarga di negara-negara selatan, seperti India dilihat sebagai kelas yang dieskploitasi secara historis oleh kapital.
Kelas kapitalis –dari masa ke masa- selalu berusaha meningkatkan nilai surplus guna mendapatkan laba sebesar-besarnya. Dibalik itu, kelas kapitalis juga dihadapkan pada permasalahan pemberontakan kelas buruh dan petani akibat dorongan kesadaran akan kentertindasannya. Untuk itu, kelas kapitalis juga berusaha untuk meredam kesadaran tersebut dengan menginvestasikan sebagian keuntungannya untuk kepentingan publik, seperti: mendirikan sekolah, rumah sakit, beasiswa, dan lain-lain.
Melihat situasi sekarang, kemurahan hati palsu (mengutip kata-kata Paulo Freire) yang dilakukan perusahaan berorientasi akumulasi laba berlebih, telah berhasil meredam kesadaran kaum-kaum tertindas di Indonesia. Negara pun turut andil dalam hal ini, sebab melalui regulasinya, negara telah mengintegrasikan perusahaan-perusahaan tersebut kepada proses pembangunan ekonomi negara. Kesadaran yang muncul pun bersifat naif, sehingga masyarakat pun turut mendukung pembangunan tersebut, namun buta akan dampak yang ditimbulkan dari proses pembangunan tersebut.
Singkatnya, buku ini coba menjelaskan dialektika yang terjadi dalam klasifikasi petani akibat perjalanan historis dari zaman feodalisme hingga masyarakat hari ini. Buku ini sangat relevan untuk membaca kondisi petani di dunia saat ini lewat empat pertanyaan kunci ekonomi politik yang telah disinggung diatas. Dari pembacaan tersebut, kita dapat mengambil kesimpulan, siapa yang mendapatkan keuntungan lebih besar, siapa yang “memperbudak” dan siapa yang lebih tertindas.
Namun, ada beberapa hal yang mungkin dapat kita kritik dari buku ini. Pembaca mungkin akan merasa bingung dan tidak mengerti pada kata-kata yang tersaji dari awal hingga akhir buku ini, sebab beberapa kata mungkin terdengar asing di pikiran kita. Bahkan, pihak penerjemah yang terlibat pun cukup menghadapi kesulitan dalam menerjemahkan buku ini (hal ini digambarkan dalam pengantar penerjemah).
Buku ini adalah analisa Bernstein dalam melihat dinamika kelas akibat perubahan-perubahan sistem agrarian melalui perspektif historis. Maka menurut saya, buku ini minim akan keberpihakan, sebab tidak adanya studi kasus yang secara khusus dikontekstualkan bahwa kapitalisme menyebabkan dekadensi moral seperti data-data yang saya singgung di atas. Menurut saya, tidaklah bijak jika membaca buku ini tanpa adanya kontekstualisasi, namun menjadikan buku ini sebagai bahan onani intelektual semata.
Penulis: Hastomo D. Putra
Editor: Ahmad Qori