Dalam hebohnya ruang sidang,
Ibu Pertiwi dipaksa tunduk tak bersuara.
Di altar konstitusi yang idealnya mulia,
kini dikhianati tangan-tangan nista,
penuh noda.
Tangan-tangan itu menjelma jadi serigala berdasi,
mencakar hukum,
mencabik makna keadilan.
Nepotisme lahir dari rahim pemerkosaan ini,
anak haram yang merayap di tiap lembaran keputusan.
Di dalam mahkamah,
bukan lagi hukum yang bicara,
melainkan bisik-bisik keluarga yang menuntut haknya.
Kursi-kursi empuk diduduki oleh darah yang sama,
konstitusi terkoyak,
dijadikan alat untuk memuluskan rencana.
Janin haram bertumbuh dalam rahim negara,
melahirkan keturunan tirani dan dusta,
menyusu pada ketek oligarki yang bau,
menancapkan kukunya pada demokrasi yang sekarat.
Ibu Pertiwi menangis,
terdiam,
tercekik oleh janji-janji yang dulu dijunjung,
kini hanya sisa bayang keadilan yang terbakar.
Sedangkan anak haram itu terus berkembang,
membesar.
Hukum tak lebih dari sekadar formalitas,
konstitusi diperkosa,
rakyat dikhianati,
dan anak haram itu terus tertawa,
merasa abadi.
Oleh: Maulana Ichsan