“Akan saya kalahkan Pram,” ucapnya.
Lelaki itu bernaman Soesilo Toer, adik dari penulis terkenal Pramoedya Ananta Toer. Pernyataan tersebut ia sampaikan pada diskusi bukunya yang berjudul Komponis Kecil di toko buku Post Santa pada 17 maret 2018.
Ia bercerita mengenai latar belakang buku tersebut. Buku yang dicetak pertama kali tahun 1952 ini bercerita tentang seorang anak kecil yang miskin bernama Henki bertemu dengan Meneer Kleber, pria asal Austria. Mereka bertemu untuk pertama kalinya di tempat pemakaman saat Meneer Kleber membeli bunga yang dijual oleh Henki. Lalu, Meneer Kleber mengajaknya ke rumah karena ia lupa membawa uang untuk membayar dan berniat membayarnya ketika mereka sampai di rumah. Dari pertemuan itu, Henki diajarkan bermain biola, alat musik yang hanya bisa dimainkan oleh orang-orang kaya pada saat itu.
Soesilo atau akrab dipanggil Soes bercerita bahwa tokoh Henki itu benar-benar ada. Ia mengenalnya saat tinggal di Tanah abang, seorang pemail biola yang berbakat. sebelumnya, Soes tinggal di Blora, tanah kelahirannya. Saat itu, tahun 1940-an ia diajak oleh Pram ke Jakarta dan diiming-imingi uang dan akan menjadi mister-mister jika dia pindah ke Jakarta. Akhirnya ia memutuskan mau pindah ke Jakarta dan bersekolah di taman siswa, kemayoran lama.
Namun, uang yang diming-imingkan oleh Pram itu hanya sekadar wacana saja. Ia hanya diberi uang 10 rupiah untuk sekolah. Uang tersebut jauh dari cukup untuknya, sehingga setiap pagi ia harus berjalan kaki sepanjang 6 km untuk pergi sekolah.
Ketika ia berhenti bercerita, seorang peserta diskusi sekaligus pengelola Post Santa, Maesy memnta izin untuk membacakan kutipan cerita yang ia sukai dari Komponis Kecil. “Henki sudah seminggu di rumah. Ia keluar dari rumah bisa dihitung dengan jari. Selebihnya ia meringkuk di kamar, makan, tidur seperti ayam negeri. Bedanya, ayam negeri bisa diharapkan telurnya. Kalau Henki….., tahinya!” (hlm. 37)
Setelah ia membaca kutipan itu, beberapa peserta diskusi tertawa. Maesy juga tertawa. Lalu, ia bertanya pada Soes, kenapa dia memakai diksi ‘tahi’ dalam cerita anak?
Soes tersenyum sambil memegang pengeras suara. “Aku kepingin bikin cerita yang jujur. Memang begitu,” ungkapnya. Menurutnya, cerita sastra anak memang harus mendidik tapi jangan juga dibuat-buat. Dalam buku Komponis Kecil ia juga menceritakan tokoh-tokoh yang wataknya keras sebagaimana orang-orang yang ia kenal di sekitarnya pada saat itu (1940-an).
Meskipun ceritanya terinspirasi dari kisah nyata seperti cerita yang buat oleh Pram, ia tidak mau disamakan dengan Pram. Ia menjelaskan, Pram itu menulis fakta dan fiksi. Kalau saya, fiksi dan fakta. “jelas berbeda,” ujarnya disusul dengan tawa.
Ia mengaku bahwa ia mengagumi pram, tapi ia harus lebih baik dari Pram. “seperti guru dengan murid. Murid harus lebih baik dari guru,” ucapnya. Pram baginya adalah seorang kakak, sahabat dan juga musuh. “bagaimana pun, saya harus mengalahkannya,” kata dia untuk kedua kalinya.
Kalau Pram punya tetralogi, ia punya pentalogi. “Pram kalah,” candanya. Meskipun Soes adalah adik kandungnya Pram, ia tidak pernah sungkan untuk mengkritik kakaknya seperti pada buku pentalogi miliknya itu. “Jelas lah ia kalah, wong saya tulis pentalogi itu setelah dia mati,” ujarnya lalu tertawa.
Menjelang umurnya yang ke-81 tahun, Desember 2017 ia berdoa agar umurnya dipanjangkan setidaknya 2 bulan lagi. “Pram mati di umur 81 tahun, saya harus lebih dari itu biar Pram kalah,” ujar pria kelahiran 17 Februari 1937. Peserta diskusi yang duduk di depannya pun tertawa.
Yulia Adiningsih