Judul: Buruh, Serikat Politik

Penulis: John Ingleson

Tahun Terbit: April 2015

Cetakan: Pertama

Tebal: xix + 521 Halaman

Penerbit: Marjin Kiri

Iklan

Perdebatan mengenai buruh agaknya semakin sulit ditemukan konklusi besarnya. Di luar serikat buruh yang hampir tidak ideologis lagi, juga makna buruh sudah bukan lagi digambarkan sebagai kelompok masyarakat pekerja yang akan memperjuangkan hak-haknya. Buruh sebagai pekerja, dan sudah cukup itu saja!

Buruh di Indonesia dalam dinamikanya digambarkan oleh John Ingleson melalui buku Buruh, Serikat dan Politik. Buruh kerap menjadi korban penindasan pemilik modal dan negara kolonial. Meskipun dalam dinamikanya buruh sebagai manusia yang pada gambaran umumnya bekerja untuk dirinya sendiri, tentunya memiliki makna filosofis. Pekerjaan yang mereka lakukan adalah menghasilkan produk yang kemudian dimanfaatkan oleh manusia lain.

Namun memberikan makna filosofis saja tidak akan mengantarkan buruh pada kesejahteraan. Seperti kelayakan upah dan hak-hak lainnya yang menjamin kelayakan hidup buruh. Untuk mencapainya pun, perlu ada perjuangan kolektif menuntut hak-hak itu. Perjuangan kolektif merupakan upaya membangun gelombang suara buruh untuk menjadi nilai tawar terhadap kebijakan yang selalu sewenang-wenang (pro majikan). Serikat buruh lah yang kemudian menjadi wadah untuk suara-suara tersebut dan memuntahkannya dengan perlawanan gelombang massa. Serikat buruh pula yang pada masa itu, konteks 1920-an hingga 1930-an, mungkin secara hiperbolis dapat dimaknai sebagai oase di padang ketertindasan.

Diskursus Antar Serikat

Tahun 1926, titik tolak perjuangan kelas buruh ditandai dengan pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI) terhadap negara kolonial. Karena negara kolonial semakin memberikan kekangan terhadap gerakan serikat. Serikat-serikat buruh militan yang terafiliasi dengan PKI dibubarkan. Melihat hal demikian, akhirnya serikat buruh cenderung memilih hati-hati dalam melancarkan gerakannya. Serikat buruh pun melakukan peremajaan ulang.

“Fase pertama gerakan buruh Indonesia pun memasuki tahap akhirnya. Ruang aktivisme dan gerakan politik semakin menyempit pada masa selanjutnya.” (Hlm. 2)

Hal demikian tidak benar-benar menyurutkan pergerakan buruh bersama serikatnya. Memang dalam fase ini, dorongan inflasi, yang disusul depresi ekonomi semakin membuat terhimpitnya gerakan buruh dalam serikat. Gerakan buruh yang sudah dibangun pun mengalami kemandulan. Kepercayaan buruh terhadap serikat pun semakin menurun, karena takut mengalami pemecatan ketika bergabung ke dalamnya. Tetapi, dialektika perjuangan tidak membunuh gerakan buruh yang semakin terhimpit tekanan itu.

Tidak jarang serikat buruh membangun usaha kolektif seperti koperasi atau home industry untuk menghidupi serikatnya di luar iuran dari para anggotanya. Itu memang satu jalan anomali dimata serikat buruh yang masih percaya pada militansi untuk mencapai tujuan kesejahteraan buruh. Tak ayal, perdebatan pun kerap terjadi. Kritik dilayangkan serikat buruh militan, salah satunya Marsudi. Jalan itu akan mengebiri militansi para buruh untuk terus menuntut para majikan (Hlm. 176)

Sementara, perlawanan di masa depresi seperti itu tidak akan menghasilkan apapun. Masa itu yang perlu diperhatikan adalah bagaimana menghimpun kepercayaan buruh untuk tetap bertahan dalam serikat. Hal itu pun, sudah dilakukan serikat-serikat eropa.

Perdebatan secara ideologis di antara serikat buruh memang tidak terelakkan. Karena panasanya kontestasi perserikatan, mulai dari berebut buruh untuk menjadi anggota serikat dalam satu bidang kerja, hingga kontestasi antara serikat yang terkelompokkan dalam etnis, ras, juga agama.

Iklan

Bahkan, tahun 1933 perdebatan semakin memanas, pijakannya ditandai kongres pada Maret tahun itu. Serikat buruh semakin berani menonjolkan kecenderungan politiknya. Para partai pun tidak segan mendorong dan menjanjikan cita-cita untuk berjuang bersama gerakan buruh. Hatta, dalam suatu surat kabar, menyebut tahun itu sebagai fase kedua gerakan buruh. (Hlm. 350)

Perdebatan yang muncul kemudian adalah serikat buruh yang masih dalam ingatan masa lalu, trauma akan pembubaran serikat yang berafiliasi dengan perjuangan partai politik. Bahwa serikat haruskah berjuang dengan partai politik atau independen? Itu merupakan konsekuensi logis, mengingat semakin represifnya peraturan pemerintah kolonial terkait serikat.

Terlebih melihat pemogokan pelaut hindia belanda pun dibombardir. Kecemasan tak ayal semakin membayangi. Karena, pemberontakan yang jelas dilakukan oleh angkatan laut belanda saja berani dihentikan dengan jalan kekerasan. Bagaimana dengan buruh-buruh pribumi yang dalam kebijakan hindia belanda cenderung dianaktirikan? Bermain api sedikit saja bisa berbahaya.

Surat kabar Soeara Oemoem dan Pemandangan agaknya satu suara melihat ketakutan serikat buruh. Karena, menilik beban masa lalu, serikat tidak pernah bertahan jika punya hubungan dengan partai politik. Fikiran Ra’jat, dengan Sukarno meng-counter-nya dengan menulis artikel yang mengkritik kehati-hatian dua surat kabar itu. Bahkan dengan tendensi yang mengejek. (Hlm. 352)

Terlarut dalam euphoria militansi, perdebatan itu hilang setelah kegagalan perlawanan pasif serikat  PBKI (Persatuan Buruh Kereta Api Indonesia) yang akhirnya berujung pula pada penangkapan orang-orang Partindo (Partai Indonesia) dan PNI (Partai Nasional Indonesia) Baru itu pada 1934.

Euphoria di Bawah Majikan Baru

Keberlanjutan serikat buruh terus berlangsung setelah itu. Pembubaran PBKI tidak menyurutkan perjuangan serikat. Para buruh justru semakin tinggi antusiasmenya pada tahun setelah 1941. Diskursus serikat mengenai cita-cita membangun kesejahteraan buruh semakin masif. Walaupun keberhasilannya nihil. Namun tetap membangkitkan gelora dan kesadaran buruh akan pentingnya bersatu dan berserikat. Itulah poin pentingnya.

Masa pendudukan Jepang, semua serikat dihapuskan. Namun, setelah berakhirnya kolonialisme Jepang, serikat buruh bangkit kembali. Dengan tantangan yang sama sekali berbeda dan didorong oleh semarak baru. Kemerdekaan dari penjajahan. Namun, tetap dengan cita-cita dan ingatan kolektif masa lalu yang tidak lekang meskipun dihapuskan oleh kolonialisme Jepang.

Dalam simpulannya, John Ingleson menjelaskan bahwa keberhasilan dari serikat buruh itu bukan pada capaianya mewujudkan cita-cita menyejahterakan. Walaupun sedikit banyak berhasil memberi tekanan pada negara kolonial. Terlepas dari itu, serikat buruh berhasil menyatukan dan menghidupkan suara-suara kolektif untuk ikut berperan aktif dalam pergerakan dan semangat melawan penindasan. Konteks penjajahan masa itu menjadi isu bersama serikat buruh untuk menggaungkan kesejahteraan sekaligus–secara terselebung –merdeka dari kolonialisme.

Satu hal yang disayangkan dalam buku ini yaitu tidak jelaskannya secara komprehensif bagaimana dinamika keadaan ekonomi dunia. Sehingga, menyebabkan depresi dan inflasi di pemerintahan hindia Belanda. Selain itu, periode depresi pun tidak ditulis secara pasti.

Ingatan yang Terputus

Ingatan serikat buruh yang mempunyai kekuatan besar tidak lestari hingga sekarang. Jika jumlah buruh yang hadir dalam May day tiap tahunnya mencapai ribuan, angka itu tidak bisa begitu saja disebut sebagai keberhasilan. Undang-undang ketenagakerjaan masih pro majikan; tidak memberikan jaminan hak sosial, ekonomi, dan hak politik untuk buruh.

Itu pun tidak lepas dari pertanyaan, benarkah serikat buruh sudah berhasil menjadi reprentasi buruh dan memberikan pendidikan politik terhadap buruh? Mungkin agak sulit untuk menjawabnya. Namun pertanyaan itu merupakan penekanan terhadap fungsi sesungguhnya serikat.

Namun, bukan saja tugas serikat untuk mendorong kesejahteraan buruh. Kerena situasi semakin sulit untuk membangun kesadaran. Benteng-benteng yang menutup kesadaran buruh semakin kuat. Terpecahnya buruh dalam sebutan, yang ahirnya membuat definisi buruh kabur. Padahal baik yang disebut pekerja, karyawan, dan lainnya pada prinsipnya sebutan hanya mengubah kata, tapi tetap dengan makna yang sama. Dan semuanya itu, perlu menyatukan suara untuk menuntut kesejahteraan juga keadilan.

Selain itu, ada pula aturan sistem kontrak yang pada praktiknya menyulitkan serikat memberikan pendidikan perburuhan secara berkelanjutan. Mengebiri cita-cita membangun gerakan buruh. Karena sistem kontrak ini, mayoritas hanya memberi waktu dua tahun untuk buruh bertahan di suatu perusahaan.

Belakangan ini, di saat pekerjaan rumah serikat buruh yang semakin sulit. Sayangnya, masih ada serikat yang sekarang justru membuat kepercayaan buruh akan serikat semakin jauh. Serikat ini ikut bermain dalam pemilu dengan terang-terangan mendukung salah satu partai politik. Memang, serikat yang mendukung partai bukan fenomena baru, namun saat ini perlu dipertanyakan. Karena, partai pun sudah tidak lagi ideologis, dan sudah tidak lagi dipercaya masyarakat. Fenomena yang tumbuh adalah memanfaatkan kedekatan itu, hanya supaya dapat jabatan dalam kementerian dan  kursi pemerintahan.

Penulis: Muhtar