Judul Buku : Revoloesi Pemoeda 1944-1946

Penulis : Benedict Anderson

Penerbit : Marjin Kiri

Tahun : 2018

Tebal Buku : 570 halaman

ISBN : 978-979-1260-77-1

Iklan

 

Penjajahan yang dialami bangsa Indonesia menjadi sebuah kenyataan sejarah yang tak semestinya luput dalam ingatan masyarakat Indonesia yang hidup sekarang ini. Mengutip ungkapan Bung Karno, “Bangsa yang besar, adalah bangsa yang menghormati jasa pahlawannya.” 

Penjajahan membawa berbagai macam penindasan, keserakahan, dan kesewenang-wenangan kepada rakyat Indonesia. Eksploitasi sumber daya alam terus dilakukan untuk mengenyangkan perut kaum Penjajah. 

Terlebih lagi, hak untuk memperoleh pendidikan pun begitu sulit dirasakan kaum pribumi, berakibat pada lamanya pendudukan kolonial di tanah Nusantara. Hanya sebagian kecil pribumi yang dapat mengakses pendidikan, itu pun dari kalangan priyayi, konglomerat, dan tokoh terkemuka. 

Anak-anak pribumi yang menimba ilmu di sekolah-sekolah Belanda, sebagian dari mereka, merasa prihatin dengan kondisi bangsanya yang begitu tertindas akibat kebijakan politik kolonial. Kesadaran untuk terlepas dari cengkraman kolonialisme juga dimiliki oleh kalangan lain, terutama di kalangan pemuda.

Dalam buku berjudul “Revoloesi Pemoeda 1944-1946” karya Benedict Anderson, membahas secara intensif dan rinci mengenai asal mula revolusi yang terjadi di Indonesia. Di mana api semangat pergerakan revolusioner dipelopori oleh kalangan pemuda.   

Buku ini secara gamblang menjelaskan peran sentral angkatan muda yang merupakan kenyataan politik paling mencolok pada awal revolusi nasional Indonesia pra-kemerdekaan (1944-1945). Mulai dari pertentangan jalan juang kaum muda yang menginginkan pergerakan dengan jalan revolusioner dan non-kooperatif kepada pemerintah kolonial. Sedangkan kaum tua menginginkan pergerakan yang kooperatif, menimbang dengan matang, dan tidak tergesa-gesa. Hingga pertentangan ideologis antara golongan kiri dan kanan.

Kaum muda yang merasakan manisnya pendidikan masa kolonial Belanda, mulai memiliki kesadaran nasionalisme-politik atas kemerdekaan Indonesia. Dalam semangat yang membara, pelbagai asrama pemuda seperti asrama Angkatan Baru (Menteng 31); asrama Mahasiswa Kedokteran (Prapatan 10); asrama Indonesia Merdeka; asrama Cikini 71, mulai membuat sebuah kelas-kelas diskusi dan mendatangkan guru-guru politisi nasionalis terkemuka. 

Perjuangan Pemuda
Benedict Richard O’Gorman Anderson seorang peneliti berkebangsaan Amerika Serikat. Nasionalisme dan pergerakan menjadi objek kajiannya di Indonesia. Ia meninggal di Batu, Jawa Timur pada 13 Desember 2015.

Hal ini berguna untuk membina para anggota-anggotanya supaya memiliki kesadaran nasionalisme yang kuat. Mereka membahas tentang pentingnya pendidikan politik kepada para kaum muda, demi menyebarkan kesadaran kolektif pada pemuda lainnya. 

Pasca berita kekalahan Jepang dalam perang Asia Timur Raya, atau setidaknya desas-desus bahwa hal tersebut telah terjadi, beredar cepat melalui jaringan pemuda di seluruh pelosok Ibukota. Atas prakarsa dari para mahasiswa Fakultas Kedokteran (Prapatan 10), forum darurat dilangsungkan di Laboratorium Bakteriologi yang bertempat di Pegangsaan. Perwakilan asrama-asrama pemuda pun turut hadir, seperti Chairul Saleh, Abu Bakar Lubis dan Aidit wakil dari asrama Menteng 31; Darwis, Djohar Nur wakil dari asrama Prapatan 10; Wikana wakil dari Kaigun, dan beberapa lainnya. 

Iklan

Setelah mendiskusikan dan mengkaji secara mendalam, mereka memutuskan untuk mengirim delegasi pemuda untuk menjumpai Soekarno malam itu juga. Mereka mendesak supaya Soekarno secepat mungkin merumuskan proklamasi kemerdekaan di luar kerangka PPKI.

Sungguh pun golongan pemuda itu pasti memperhitungkan faktor dan kondisi internasional yang sangat diutamakan oleh tokoh-tokoh yang lebih tua. Sikap dan pandangan mereka terhadap PPKI itu dibentuk terutama oleh kesadaran politik yang terus berkembang. Sejak Kongres Pemuda terselenggara, golongan pemuda terus mendesak agar bergerak lebih cepat ke arah kemerdekaan, dan mengecam pemimpin-pemimpin dari golongan tua atas sikap takut-takut dan kepasifan mereka.

“Nasionalismelah satu-satunya penjelasan yang dapat diberikan kepada setiap pelajar dan mahasiswa yang telah menempuh perjalanan jauh dari manapun kampung halaman mereka untuk memasuki satu ruang kelas bersama mahasiswa-mahasiswa lain. Hanya nasionalisme yang membuat kehidupan bersama yang baru itu dirasakan sebagai sesuatu yang logis”, (hlm 20).

Semangat nasionalisme serta anti imperialisme dan kolonialisme dari para pemuda pada akhirnya menciptakan gerakan-gerakan revolusioner. Seperti semboyan yang digunakan para pemuda “Merdeka Sekarang Juga” dan “Merdeka Atau Mati”. 

Dengan demikian, kepentingan pemuda dan kepentingan Jepang menimbulkan pertentangan semakin tajam. Bulan September yang relatif damai itu berkembang menjadi Oktober dan November yang penuh dengan pertumpahan darah, kekejaman, pembantaian, dan teror.   

Merekahlah beberapa peristiwa yang menjadi catatan kelam sejarah Indonesia dalam upaya mempertahankan kedaulatan bangsa. Seperti peristiwa Bandung, peristiwa Semarang, dan Perang Surabaya yang begitu heroik.

Kendati demikian, gerakan yang terorganisir dan revolusioner di atas tak luput dari akses pendidikan yang didapat kaum muda. Oleh sebab itu, bicara soal pendidikan juga sangat penting untuk diperhatikan, terutama untuk mewujudkan kesadaran politik secara kolektif.

Bertolak belakang dari pergerakan angkatan muda (1943-1945), pergerakan angkatan muda saat ini, khususnya mereka yang mengenyam pendidikan di perguruan tinggi tidak lagi didasari oleh rasa persatuan dan kesamaan pandangan. Salah satu contoh, aksi penolakan kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) oleh para Mahasiswa pada September tahun lalu. Di mana dalam aksi itu, gerakan para mahasiswa sarat akan kepentingan pribadi, golongan, identitas, maupun kepentingan tertentu. 

Seakan-akan dalam pergerakannya mereka sedang lomba orasi, unjuk gigi, atau beradu almamater siapa yang paling gagah menyuarakan suara rakyat. Padahal itu semua, secara tidak langsung, sama saja mengenyampingkan kepentingan rakyat. Dapat juga kita saksikan secara nyata, pergerakan angkatan muda saat ini mudah untuk di kotak-kotakan, hanya karena perbedaan pendapat maupun perbedaan di dalam mengambil suatu jalan perjuangan. 

Dalam hal ini, dikhawatirkan akan menyebabkan hilangnya rasa simpati dan kepercayaan publik terhadap pergerakan angkatan muda, yang acapkali mengutamakan kepentingan tertentu dibanding dengan kepentingan rakyat.

 

Penulis: Adam Farhan

Editor: Syifa Nabila