Eks Menteri Sosial, Juliari Batubara pada Senin (9/8/2021) lalu yang terlibat korupsi bantuan sosial membacakan pledoinya. Ia memohon kepada hakim untuk mengakiri “pederitaan” yang ia terima. Lebih lanjut, ia memohon pembebasan atas segala dakwaannya.

Beberapa bulan sebelumnya, eks Menteri Kelautan dan Perikanan, Edhy Prabowo juga mengatakan pledoi yang bermakna sama pada Jumat (9/7/2021). Ia berdalih memilki seorang istri saliha dan 3 orang anak yang masih butuh kasih sayang seorang bapak.

Dua kejadian itu ternyata memiliki kaitan dengan buku The Psychology of Money yang ditulis oleh Morgan Housel. Entah Juliari ataupun Edhy, mereka melakukan perbuatan yang dibahas dalam salah satu bab buku dalam buku ini yang berjudul Tak Pernah Cukup. Salah satu bab menarik dalam buku yang mendapat predikat International Bestseller ini.

Serakah

Karena judul dan bahasan dalam buku tersebut, sebuah lagu yang berjudul sama, yaitu Never Enough, cocok untuk menggambarkan kasus Juliari Batubara dan Edhy Prabowo. Berikut potongan lirik dalam lagu yang menjadi soundtrack film The Greatest Showman ini:

All the shine of a thousand spotlights
All the stars we steal from the night sky
Will never be enough
Never be enough

Iklan

Dalam lagu tersebut, menggambarkan manusia yang tidak akan pernah puas dalam mengejar materi. Selain lagu itu, Greed (ketamakan), salah satu dosa dalam konsep 7 Deadly Sins dari ajaran kristiani tentang akar sebuah dosa.

Korupsi yang dilakukan oleh Juliari dan Edhy itu tercermin dalam lagu Never Enough dan konsep Greed. Mereka seakan merasa tidak pernah cukup, serakah, dan tamak. Lalu, penyesalan datang bagi mereka berdua.

“Tak ada alasan untuk mempertaruhkan sesuatu yang Anda miliki dan butuhkan demi apa yang tak Anda miliki dan tak Anda butuhkan.” (Hlm 34)

Keduanya sama-sama mempertaruhkan reputasi dan posisi atau jabatan mereka. Bahkan mempertaruhkan kepercayaan banyak orang, mungkin seluruh rakyat Indonesia hanya untuk sejumlah uang. Persetan dengan jumlah uang yang mereka korupsi. Mereka akan tetap rugi, apalagi mereka berdua tertangkap oleh lembaga anti korupsi. Jadi, pantas bagi mereka untuk disebut bodoh. Benar-benar bodoh. Perkataan bodoh itu adalah perkataan dari Warren Buffett yang dikutip dalam buku ini, salah satu orang terkaya di dunia, saat menanggapi orang yang mempertaruhkan apa yang mereka miliki dan butuhkan.

Baik Juliari ataupun Edhy, mereka ingin mengambil keuntungan singkat dengan cara yang salah. Padahal, hal itu menimbulkan efek jangka panjang bagi diri mereka sendiri. Reputasi bukanlah sesuatu yang bisa diperjualbelikan. Saya ingin benar-benar kembali mengetik bahwa mereka itu bodoh.


Judul Buku                : The Psychology of Money

Penulis                       : Morgan Housel

ISBN                            : 978-602-6486-57-8

Penerbit                     : BACA

Tahun Terbit             : 2021

Iklan

Jumlah Halaman      : 262


Membandingkan

Selain ketamakan, Morgan juga mempertanyakan, mengapa membandingkan sesuatu itu tidak terlalu baik. Sebagaimana dalam 7 Deadly Sins yang lain, terdapat konsep Envy yang berarti iri hati, dan itu tercermin dalam bab terakhir.

Dalam akhiran bab buku ini yang diberi judul Sejarah Singkat Mengapa Konsumen AS Berfikir Sebagaimana Mereka Berfikir, penulis menjelaskan bahwa awalnya konsumen Amerika menikmati pertumbuhan ekonomi mereka. Jarak antara orang kaya dan miskin semakin menipis, yang terjadi dalam rentang tahun 1945, atau setelah Perang Dunia II hingga jarak berhenti menipis pada 1980an. Setelah PD II Amerika memilki keuntungan saat banyak industri manufaktur negara besar hancur

Dalam rentang tahun itu, dalam buku tersebut dijelaskan bahwa orang kaya dan miskin memiliki gaya hidup yang sama. Menikmati tontonan yang sama, rokok yang sama, mobil yang sama dan hal lainnya. Inilah yang menjadikan kesetaraan itu terlihat dalam tahun itu.

“Segala dalam keuangan adalah data dalam konteks harapan. Salah satu pergeseran terbesar pada abad kemarin terjadi ketika angin ekonomi mulai bertiup di arah baru secara tak merata, tapi harapan masih berakar di budaya kesetaraan pasca perang.” (hlm 223)

Tetapi semua itu berakhir pada 1970an, saat keadaan perekonomian Amerika berubah.

Perkonomian Jepang mulai melaju pesat. Tiongkok mulai membuka perdagangan Internasional, hingga Timur Tengah menggunakan kekuatan minyak. Itulah yang menyebabkan pertumbuhan Amerika terus berlanjut, namun berbeda dengan sebelumnnya. Pertumbuhan saat itu hanya dirasa oleh orang-orang kaya.

Dalam bab ini, terlihat sebuah proses singkat mengenai konsumerisme Amerika. Saat kesenjangan terjadi dan dapat dilihat, rasa Envy (iri hati) dapat muncul pada konsumen Amerika. Morgan memberi contoh, saat mereka, konsumen Amerika tahu, bahwa mobil yang tetangga gunakan tidak lagi sama, rumah mereka juga kalah luasnya dan banyak perbedaan gaya hidup, pendapatan, dan hal lainnya. Disitulah hutang kartu kredit yang tidak terbayarkan meningkat.

Hal itulah yang menimbulkan sifat ketamakan, konsumerisme, hingga iri hati. Tiga sifat itu muncul karena sekarang, masyarakat luas dipertontonkan video-video yang menjelaskan kesenjangan itu ada. Mudahnya diperlihatkan bagaimana gaya hidup orang-orang kaya. Itu marak terjadi dilakukan oleh public figure baik di Indonesia ataupun Amerika.

Pengembangan Diri

Meskipun buku ini berkategori pengembangan diri, kata “pengembangan” itu tidak menjadikan seseorang ataupun saya pribadi menjadi orang yang berkembang.

Meragukan buku seputar pengambangan diri, menurut saya, lebih penting melakukan sebuah perbuatan yang menurut saya lebih baik ataupun mencontoh perbuatan orang yang saya kagumi, ketimbang hanya melihat, membaca, ataupun mendengarkan sebuah pembahasan tentang buku ini.

Persis sama seperti hukum teori dan praktek. Keduanya tidak dapat dipisahkan. Perlu sebuah aksi nyata dari pembaca. Nilai, gagasan, dan analisis dalam buku tersebut harus pembaca buku lakukan.

 

Penulis : Ihsan Dwirahman

Editor : Hastomo Dwi Putra