Bangsa Asing, baik musuh atau sahabat. Revolusi Indonesia, mau tak mau terpaksa mengambil tindakan ekonomi dan sosial serentak dengan tindakan merebut dan membela kemerdekaan 100% -Tan Malaka-

Minggu (18/9), Tan Malaka Institute bekerjasama dengan Direktorat Jenderal (dirjen) Kebudayaan mengadakan acara diskusi yaitu dialog kebangsaan dengan mengusung tema “Peristiwa  19  September  1945, Massa Aksi dan Revolusi Pemuda” dalam rangka memperingati peristiwa lapangan IKADA 1945.

Dialog kebangsaan ini menghadirkan Harry A. Poeze (Sejarawan Belanda/ penulis buku “Tan Malaka Gerakan Kiri  Dan  Revolusi  Indonesia”), Khatibul Umam Wiranu ( Anggota  DPR RI Komisi VII) dan Zulhasril Nasir ( Guru Besar  Departemen Ilmu Komunikasi, FISIP UI) sebagai pembicara, Serta  Bob R. Randilawe (Aktivis Pergerakan) sebagai moderator.

Peristiwa lapangan IKADA 1945 dinggap penting dan besar pengaruhnya bagi bangsa  Indonesia. Mengingat peristiwa ini adalah rapat besar pertama setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945. Rapat ini dilakukan karena adanya anggapan dari masyarakat terhadap sikap pemerintah yang  masih ragu-ragu dalam mengambil alih kekuasaan dari tangan jepang.

Sikap pemerintah yang kurang tegas ini menggugah pemuda-pemuda Indonesia seperti Tan Malaka dan beberapa tokoh ‘bawah tanah’ untuk mengorganisir massa aksi 19 september 1945 untuk berkumpul di lapangan IKADA (sekarang pojok timur monas). Tujuan yang ingin dicapai adalah menciptakan kemerdekaan 100%.

Menurut Poeze,  anggapan bahwa puncak keberhalisan revolusi indonesia terjadi saat indonesia berhasil mengusir kolonialisme Belanda adalah sebuah mitos. “Masih banyak ‘ruang gelap’ ditemukan pasca proklamasi dan diakhir-akhir pendudukan jepang di Indonesia,” jelasnya.

Iklan

Zulhasril Nasir berpendapat bahwa cita-cita Tan Malaka untuk kemerdekaan 100% adalah cita-cita yang harus di wujudkan. Menurutnya, Indonesia sampai pada saat ini belum merdeka 100%. “setelah proklamasi kemerdekaan, Indonesia mungkin hanya merdeka politik saja. Untuk menciptakan kemerdekaan 100%  tidak cukup dengan merdeka polik saja melainkan ekonomi juga,”ujar Zulhasril.

Meskipun pada 17 Agustus 1945 indonesia dinyatakan merdeka, namun kondisi ekonomi Indonesia tidak banyak mengalami perubahan. Menurut Khatibul Umam, secara politik Indonesia juga belum sepenuhnya merdeka. “ contohnya saja, Jika pada saat itu Indonesia memilih untuk politik bebas aktif, maka Indonesia harusnya konsisiten dengan keputusannya,” ujar Khatibul Umam.

Meskipun Khatibul Umam menyetujui bahwa Indonesia belum sepenuhnya merdeka, namun ia mengaku pesimis  terhadap kemerdekaan 100%. “menurut saya, cita-cita merdeka 100% yang diusungkan oleh Tan Malaka itu adalah cita-cita langit. Sangat susah untuk diwujudkan” ungkapnya.

Beberapa diantara peserta diskusi  dan tamu undangan memberikan argumen terhadap pernyataan Khatibul Umam. “ cita-cita kemerdekaan 100% Tan Malaka menurut saya bukan cita-cita langit, melainkan juga cita-cita bumi. Karena Tan juga menawarkan ide-ide dan konsep untuk kemerdekaan tersebut sebagaimana yang di tulis dalam bukunya Poeze,” ucap Ari, salah satu peserta diskusi.

Umam tetap konsisiten dengan argumennya. Menurutnya, Tan Malaka memang banyak menyumbangkan ide-ide hebat mengenai kemerdekaan Indonesia tetapi tidak semua ide-idenya dapat direalisasikan di Indonesia. “beberapa gagasan Tan, ada yang kurang relevan dengan kondisi Indonesia sekarang. Namun, mengenai cita-cita kemerdekaan 100% saya sangat mendukung meskipun sepertinya sulit,” tutur Umam.

Sejalan dengan Umam, Zulhasril Nasir berpendapat bahwa untuk mewujudkan cita-cita tersebut sulit, namun harus tetap diperjuangkan. “ memang sangat sulit untuk mewujudkan merdeka 100%, apalagi tantangan Indonesia saat ini bukan hanya datang dari bangsa asing, melainkan dari Indonesia sendiri pada saat setelah merdeka, orde baru (orba), dan reformasi dengan bayang-bayang orba ,” ujar Zulhasril.

 

Yulia Adiningsih.