Solidaritas Bara-Baraya menggeruduk Gedung Mahkamah Agung (MA) di Jakarta pada Rabu (19/2). Di bawah terik matahari, puluhan massa yang berasal dari masyarakat sipil dan rakyat miskin kota itu berdemonstrasi. Mereka menolak upaya penggusuran rakyat Bara-Baraya di Makassar, Sulawesi Selatan.

Koordinator aksi, Maswanto mengatakan, tuntutan utama mereka adalah pengeluaran fatwa dari MA mengenai penundaan eksekusi penggusuran rakyat Bara-Baraya. Baginya, MA mempunyai wewenang untuk menghentikan penggusuran kepada 196 rakyat Bara-Baraya. Adapun rakyat Bara-Baraya akan diusir aparat kepolisian pada 24 Februari 2025.

Baca juga: Massa Tumpah Ruah di Jalan Menolak Pemangkasan Anggaran Pendidikan

Maswanto menilai, upaya penggusuran di Bara-Baraya merupakan bentuk perampasan ruang hidup rakyat. Musababnya, penggusuran itu akan sangat merugikan rakyat Bara-Baraya.

“Kehilangan tanah adalah kehilangan nyawa bagi rakyat miskin kota, “ ucapnya ketika berorasi.

Jauh dari Makassar, sejumlah rakyat Bara-Baraya datang ke Gedung MA untuk mempertahankan ruang hidup mereka. Salah satu rakyat Bara-Baraya, Irfan menjelaskan secara mendalam latar belakang konflik agraria di kampungnya itu.

Iklan

Irfan mengatakan konflik bermula pada tahun 2016. Saat itu, Komando Daerah Militer (Kodam) Hasanuddin mengosongkan lahan asrama tentara yang terletak persis di samping pemukiman rakyat Bara-Baraya. Irfan mengingat, pihak tentara pernah menyampaikan kalau pengosongan lahan tidak akan mengganggu mereka.

“Menurut tentara, asrama itu digusur karena permintaaan pemilik lahan, karena dulu lahan itu disewa oleh mereka, “ ujarnya.

Namun lanjutnya, beberapa hari setelah pengosongan asrama, Kodam Hasanuddin tiba-tiba mengeluarkan surat perintah penggusuran kepada rakyat Bara-Baraya. Sebab, lahan mereka dianggap satu kesatuan dari bagian tanah yang disewa tentara.

Baca juga: Kusut Masai Pemberhentian Buruh Outsourcing UNJ

Kemudian tentara melakukan intimidasi kepada rakyat Bara-Baraya. Akan tetapi, mereka melawan upaya penggusuran dari tentara hingga pengosongan lahan batal dilakukan.

Irfan mengungkapkan, pada tahun yang sama muncul dokumen pengganti sertifikat hak milik (SHM) No. 4 tahun 1965 yang dimiliki ahli waris bernama Nurdin DG Nombong. Tambahnya, melalui sertifikat itu, Nurdin mengklaim lahan asrama tentara dan pemukiman warga Bara-Baraya miliknya.

“Kok tiba-tiba terbit sertifikat itu. Padahal, warga sudah beli tanah di sana. Warga punya akta jual beli (AJB). Warga berada di lokasi itu bukan ilegal, tapi sah secara hukum,” keluhnya.

Irfan kembali menyampaikan, pada 2017, Nurdin DG Nombong membawa sengketa tanah ke pengadilan. Proses pengadilan yang berlangsung alot hingga pada tahun 2019, rakyat Bara-Baraya menang atas konflik agraria itu.

Akan tetapi, Nurdin DG Nombong tetap bersikukuh untuk menguasai lahan yang ditempati rakyat Bara-Baraya. Sebab itu, Nurdin mengajukan adu banding. Pengadilan berlanjut sampai tahun 2022, tidak seperti sebelumnya, rakyat Bara-Baraya kalah.

Irfan menduga ada mafia tanah yang bermain dalam konflik agraria di Bara-Baraya. Ia juga menilai ada berbagai maladministrasi dalam klaim Nurdin DG Nombong. Bahkan pada (6/2/2025), Nurdin DG Nombong dilaporkan rakyat Bara-Baraya atas dugaan pemalsuan keterangan akta otentik.

Iklan

“Harapannya kami datang ke MA untuk mendesak mereka mengeluarkan fatwa pemberhentian penggusuran. Berikan kami waktu lewat proses pengadilan, bahwa sertifikat itu maladministrasi dan banyak kepalsuan dalam proses peradilan, “ harapnya.

Rakyat Bara-Baraya lainnya yang ikut demonstrasi adalah Lucya Lerong. Perempuan paruh baya yang sejak kecil hidup di Bara-Baraya itu mengutarakan, penduduk di kampung tersebut terdiri dari banyak perempuan dan anak-anak.

Lanjut Lucya, sebagian dari mereka mengalami trauma karena upaya penggusuran dari tentara. Ia juga menerangkan rakyat Bara-Baraya saat ini sangat khawatir ruang hidupnya akan dirampas.

“Saya jarang tidur karena takut digusur, “ ujar Lucya.

Lucya menyatakan, ia dan warga Bara-Baraya lainnya ditindas karena ruang hidup mereka akan dirampas. Merasa tanah yang ia tempati merupakan haknya, Lucya terus bersikukuh melawan upaya penggusuran.

Ketua Kampung Bayam Madani, Muhammad Furqon turut datang dalam aksi itu. Ia merasa miris atas ketidakadilan yang menimpa rakyat Bara-Baraya. Padahal menurutnya, tanah merupakan hal yang vital bagi rakyat.

Adapun Furqon pernah menjadi korban perampasan ruang hidup. Ia dan warga Kampung Bayam lainnya bersengketa dengan PT Jakarta Propertindo. Pada tahun lalu mereka diusir secara paksa dari Kampung Susun Bayam, Jakarta Utara.

Bagi Furqon, setiap rakyat harus bersolidaritas satu sama lain. Tambahnya, dengan adanya persatuan rakyat, maka kemerdekaan akan terwujud.

“Apabila rakyat tidak bersatu maka tidak akan terwujud kemerdekaan, artinya kemerdekaan itu adalah bebas dari penindasan, bebas dari ketidakadilan terhadap rakyat, “ pungkasnya.

Hingga demonstrasi usai, pihak MA tidak kunjung menemui massa aksi. Sampai saat ini perampasan ruang hidup masih menghantui rakyat Bara-Baraya.

Reporter/penulis: Andreas Handy
Editor: Naufal Nawwaf