Menginjak hari ketiga, Latihan Dasar Pers Mahasiswa XXVIII Didaktika menghadirkan Novi Diah sebagai pembicara. Dosen UIN ini membawakan materi Bahasa Jurnalistik. Sejak awal, ia sudah menekankan bahwa bahasa jurnalistik berbeda dengan bahasa sastra. Tulisan berita haruslah aktual, jelas, dan lugas. “Berita tidak boleh multitafsir,” tambah Novi.
Pada kesempatan tersebut, Novi yang hari sebelumnya telah memborong berbagai koran, menunjukan beberapa headline dari tiap koran dan membandingkannya. Dari pembandingan tersebut, kemudian Novi menyebutkan beberapa kesalahan yang kerap dilakukan oleh wartawan dalam menulis berita. Pertama, penggunaan kata yang tidak baku. Contohnya judul yang dipasang Indopos (29/03), Nestapa Ayah Seorang Selebriti. Judul ini dinilai Novi kurang tepat karena seharusnya selebriti diganti dengan kata selebritas.
Kesalahan kedua adalah pemborosan kalimat. Kemudian Novi menjabarkan ciri-ciri dari kalimat efektif, yaitu kesatuan atau kepaduan, kesejajaran bentuk, penekanan, dan kelogisan kalimat. Kesalahan ketiga menyangkut tentang ejaan yang disempurnakan. “Kitab dari seorang jurnalis selain Al-qur’an, Injil, atau lainnya adalah Kamus Besar Bahasa Indonesia dan buku EYD,” jelas Novi.
Berikutnya Novi berbicara tentang judul. Membuat sebuah judul berita, tidak boleh ada tanda baca apapun kecuali tanda koma. “Judul tidak boleh diberi titik, diberi tanda seru, atau tanda tanya. Kalau penulisnya saja sudah bingung, bagaimana dengan pembaca?” selorohnya.
Meski bahasa jurnalistik dikenal sebagai bahasa yang menabrak kaedah-kaedah bahasa Indonesia, namun penting bagi wartawan untuk memahami dan mempraktekan bahasa secara baik. Menghilangkan bahasa daerah, bukan berarti menanggalkan budaya. Justru karena bahasa Indonesia adalah alat pemersatu bangsa, maka sebaik-baik berita yang disampaikan ke masyarakat dapat dimengerti oleh seluruh lapisan masyarakat di Indonesia./Latifah