Judul Buku: Kronik Penculikan Aktivis dan Kekerasan Negara 1998
Penyusun: Muhidin M. Dahlan
Penerbit: Indonesia Buku dan IKOHI
Tahun Terbit: 2024
Hal: 505 Halaman
ISBN: 978-979-1436-75-5
Memori kolektif bangsa Indonesia tampaknya sudah sedemikian pudar. Hal itu dapat dilihat dari hasil Pemilu kemarin, Prabowo Subianto resmi menjadi Presiden Indonesia berikutnya berdasarkan hitungan cepat dari hampir semua lembaga survei. Padahal, mantan menantu Soeharto itu merupakan pelanggar hak asasi manusia (HAM) yang terlibat dalam penculikan aktivis prodemokrasi pada rentang tahun 1998.
Sebelumnya, di tengah ingatan kolektif yang sedemikian pudar, sejumlah orang masih melakukan kerja-kerja melawan lupa. Sebut saja aksi Kamisan yang konsisten selama belasan tahun menuntut keadilan terhadap sederet pelanggaran HAM di masa lalu. Namun, hingga kini aksi itu belum juga membuahkan hasil. Bahkan, Kamisan sekarang kerap dianggap merupakan aksi lima tahunan yang hanya muncul menjelang Pemilu.
Seraya aksi Kamisan tetap berlangsung menjelang Pemilu, pesan melawan lupa juga tersebarluaskan lewat terbitnya buku berjudul Kronik Penculikan Aktivis dan Kekerasan Negara 1998. Buku yang disusun oleh Muhidin M. Dahlan, seorang esais sekaligus arsiparis partikelir ini menghebohkan publik. Pasalnya, buku ini menjelaskan secara gamblang keterlibatan Prabowo dalam penculikan aktivis 1998.
Belakangan karena terbitnya buku ini, Muhidin dilaporkan ke Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) atas dugaan black campaign yang merugikan Prabowo. Pelapor beranggapan Muhidin berupaya menggiring opini jika Prabowo ikut terlibat dalam kekerasan negara pada tahun 1998.
Padahal, Prabowo memang terlibat dalam kejahatan HAM. Tak hanya itu, di dalam buku Kronik Penculikan Aktivis dan Kekerasan Negara 1998 sedikit sekali berisi opini dari penulis. Sebagian besar isi dari buku ini adalah kliping produk jurnalistik dari berbagai surat kabar di sekitar tahun 1998. Beberapa kliping yang dimuat kemudian dirangkum oleh penulis menjadi sebuah narasi
Babak awal dalam buku ini berisi sebab dari adanya penculikan aktivis. Pasca kerusuhan di Kantor PDI pada tahun 1996, situasi politik nasional memanas. Partai Rakyat Demokratik (PRD) dituduh oleh pemerintah sebagai dalang kerusuhan itu. Adanya gerakan radikal yang dicium pemerintah, membuat kewaspadan tentara diperketat.
Bau gerakan radikal semakin dirasakan pemerintah ketika terjadi kerusuhan saat kampanye putaran terakhir Partai Persatuan Pembangunan (PPP) tahun 1997 di Jakarta. Saat kampanye itu, isu koalisi PDI dan PPP untuk menggantikan kekuasaan Soeharto mencuat. Kembali, PRD yang dianggap radikal sekaligus komunis menjadi kambing hitam dalam peristiwa itu.
“PRD Dituduh Terlibat Kerusuhan,” tulis sampul tabloid Paron pada 31 Mei 1997 (hlm. 8).
Memasuki tahun 1998, situasi politik semakin memanas. Meledaknya bom di suatu rumah susun di Jakarta menggegerkan masyarakat karena perakit bom itu merupakan anggota PRD. Dekat dengan peristiwa itu, beberapa akademisi dan pengusaha mengadakan diskusi seputar reformasi di Yogyakarta. Seorang pengusaha minyak, Arifin Panigoro dijerat hukum usai dituding mendorong people power di acara itu.
Di tengah prahara ekonomi dan politik yang terjadi, sejumlah aktivis prodemokrasi diculik oleh Tim Mawar yang merupakan bagian dari Komando Pasukan Khusus (Kopassus). Mereka dibawa ke Markas Kopassus di Cijantung, Jakarta Timur. Saat itu Prabowo menjabat sebagai Komandan Jenderal (Danjen) Kopassus.
Selama puluhan hari diculik, siksaan demi siksaan menerpa mereka. Sembari diinterogasi seputar organisasi yang mereka masuki dan hubungannya dengan berbagai elit nasional seperti Megawati, para aktivis kerap mengalami pemukulan, penyetruman, dan berbagai penyiksaan lainnya.
“Nezar Patria: Saya Disetrum dan Dipukuli,” tulis Kompas pada 9 Januari 1999 (hlm. 403).
Mulai bulan April 1998, beberapa aktivis yang hilang muncul bergiliran. Mengetahui hal itu, masyarakat sipil mendesak penyelidikan penculikan itu dan menuntut pengembalian aktivis yang masih hilang.
Selanjutnya Panglima ABRI, Wiranto membentuk Dewan Kehormatan Perwira (DKP) pada Agustus 1998. DKP mempunyai tugas menyelidiki perwira yang diduga terlibat penculikan aktivis. Hasil dari temuan DKP menunjukkan Prabowo terlibat atas penculikan aktivis. Prabowo pun mengakui telah menculik sembilan aktivis. Walhasil bintang tiga di pundak Prabowo dicopot, ia dipecat dari ketentaraan.
“Prabowo Dipecat, Akui Culik 9 Aktivis,” tulis surat kabar Bernas pada 25 Agustus 1998 (hlm. 268).
Namun, masyarakat tidak puas akan hal itu, muncul desakan penculikan aktivis dibawa ke mahkamah militer. Persidangan mahkamah militer pun dilakukan. Akan tetapi, masyarakat meragukan persidangan itu karena nama Prabowo tak ada sebagai terdakwa. Pengadilan hanya menghukum penjara pemimpin Tim Mawar beserta anak buahnya.
Koordinator KontraS, Munir Said Thalib kecewa karena Prabowo tidak menjadi terdakwa. Padahal, Prabowo secara jelas mengakui keterlibatannya dalam penculikan aktivis. Serupa dengan itu, salah satu korban penculikan, Pius Lustrilanang menilai tanpa adanya Prabowo dalam persidangan, motif politik dibalik kasus itu tak akan terungkap.
“Mereka kan hanya orang yang menjalankan perintah, artinya para tersangka itu diperintah oleh Prabowo. Nggak nyelonong begitu saja,” ujar Munir dalam surat kabar Gatra tertanggal 2 Januari 1999 (hlm. 349).
Hingga kini, terdapat 13 aktivis 1998 yang diculik belum juga ditemukan keberadaannya. Sejarah kelam penculikan aktivis itu masih penuh akan kegelapan.
Baca juga: https://lpmdidaktika.com/si-gemoy-pembunuh-demokrasi-indonesia/
Ingatan Kolektif yang Semakin Buram
Baru dua dekade berlalu semenjak 1998, ingatan kolektif masyarakat terhadap pemerintahan otoriter Orde Baru yang penuh akan kekerasan seakan kian pudar. Reformasi tampak mati ketika pelanggar HAM nantinya jadi penguasa negeri. Apalagi untuk menuju itu, aturan main demokrasi diubah sesuka hati.
Fenomena yang terjadi di Indonesia kini, sebenarnya juga terjadi di Filipina. Presiden Filipina sekarang, Bongbong Marcos merupakan anak dari Ferdinand Marcos, seorang diktator Filipina yang erat kaitannya dengan pelanggaran HAM dan korupsi.
Untuk menjadi presiden, Bongbong Marcos menyembunyikan citra otoriter dengan membangun citra baru yang dekat dengan rakyat. Selain itu, ia juga berkoalisi dengan dinasti pemerintahan sebelumnya.
Kedua hal itu juga dilakukan Prabowo dengan joget gemoy dan menggandeng anak presiden sebagai calon wakil presiden. Kombinasi dari pengalihan ingatan kelam masa lalu dengan besarnya sumber daya ekonomi dan politik, membuat Prabowo memenangkan Pemilu.
Ke depan kerja-kerja melawan lupa bertambah berat. Belajar dari Filipina, setelah menjadi presiden, Bongbong Marcos menghapus hari libur memperingati aksi massa yang menjatuhkan ayahnya. Bukan tidak mungkin upaya menghilangkan ingatan masa lalu juga dilakukan pemerintahan Prabowo nantinya.
Di tahap inilah orang yang melawan lupa perlu bercermin, sejauh mana ide yang mereka miliki tersebar ke masyarakat akar rumput. Sebab tanpa membersamai rakyat banyak, keadilan pelanggaran HAM masa lalu hanya angan-angan saja.
Buku ini menarik untuk dibaca karena sangat berbeda dibanding buku-buku sejarah pada umumnya. Kliping surat kabar yang selalu menghiasi buku ini, membawa pembaca berhenti di tahun 1998. Pembaca diajak melihat sikap maupun perilaku tokoh sejarah sesuai konteks sejarah saat itu. Namun, banyaknya kliping surat kabar yang sulit dibaca pada buku ini tampak sebagai pameran kekayaan sumber sejarah semata.
Kenyataan Prabowo menjadi menjadi presiden memang sulit bagi kita untuk dipercayai. Akan tetapi, realita itu tak semestinya terus diratapi.
“Pahit, tapi demikianlah kenyataannya,” tulis Zen RS dalam epilog buku ini (hlm. 483).
Penulis: Andreas Handy
Editor: Izam Komaruzaman