Pengantar     

Beberapa waktu lalu, di berbagai media massa dan media sosial kembali diberitakan mengenai praktik razia buku yang dilakukan oleh aparatus negara di beberapa wilayah Indonesia. Tindakan tersebut mengundang beragam interpretasi dan respon dari kalangan masyarakat terutama pegiat literasi, pihak penerbitan, intelektual, dan politisi. Dalam konteks demokrasi terutama mengenai perizinan penerbitan buku dan praktik pelarangan buku tertentu, semenjak dicabutnya Undang-undang Nomor 4/PNPS/1963 tentang Pengamanan terhadap Barang-barang Cetakan yang Isinya Dapat Mengganggu Ketertiban Umum olek Mahkamah Konstitusi pada 13 Oktober 2010, praktik razia buku tanpa proses hukum dan peradilan yang jelas merupakan tindakan yang menyalahi aturan dan membatasi akses pengetahuan masyarakat akan beberapa isu tertentu. Bahkan, sekalipun didasari mekanisme tertentu dalam tindakannya, pelarangan buku tidak dibenarkan terkait kebebasan setiap orang memproduksi dan memanifestasikan gagasan pemikirannya. Di Indonesia, persoalan mengenai pelarangan penerbitan buku dan praktik razia buku bukanlah sesuatu hal yang baru, sejak masa kolonial hingga reformasi tindakan tersebut telah banyak dijelaskan melalui fakta sejarah dan berkaitan dengan konteks sosial politik yang terjadi. Hal ini memberikan urgensi tersendiri mengenai dampak – dampak yang terjadi bagi kehidupan sosial masyarakat dan klaim – klaim yang menciptakan “kebenaran tunggal” serta membatasi perkembangan atas gagasan dan pengetahuan masyarakat.

Sejarah Praktik Pelarangan Buku di Indonesia

Di berbagai belahan dunia, praktik pelarangan, razia hingga pembakaran buku bukanlah sesuatu yang baru. Perlu diketahui bahwa praktik pelarangan dan pemusnah buku bukan saja dilakukan oleh negara, instusi agama pun pernah dicatat sebagai aktor yang mendalangi praktik tersebut. Motif yang mendasari dan menjadi tujuan utama dalam praktik ini adalah suatu pola yang menunjukkan manifestasi otoritarianisme penguasa dan dominasi mayoritas yang ditopang legitimasi kekuasaan.[i] Dalam konteks sistem demokrasi, tindakan atau praktik ini merupakan bentuk pelanggaran yang menciderai peraturan dan perundang – undangan yang menjamin hak setiap warga negara untuk mendapatkan akses informasi dan bentuk ekspresinya atas realitas. Meskipun, tidak dapat dipungkiri bahwa dilain sisi negara termasuk institusi lainnya dapat melakukan tindakan – tindakan yang memungkinkan mereka berada diluar jangkauan hukum atau menciptakan kondisi – kondisi pengecualian atas dasar tertentu. Asumsi ini menampilkan fakta yang sangat mengancam berbagai pihak baik penulis buku, penjual buku, dan tentunya pembaca buku dari tangan – tangan besi yang kapan saja dan dimana saja bisa menjangkau hak – hak yang dimiliki setiap warga negara nya.

Praktik pelarangan buku dalam berbagai bentuk baik perampasan bahkan pembakaran buku memiliki karakteristik yang sama, yaitu menandai kekhawatiran setiap rezim atas pengetahuan yang dapat mengganggu stabilitas kekuasaannya. Di Indonesia awal praktik pelarangan buku dimulai dari Zaman Kolonial, pada era ini berkembangan istilah “Bacaan Liar” yang sebagian besar dihasilkan oleh tokoh – tokoh pergerakan nasional saat itu untuk menggugat kebijakan eksploitatif pemerintah kolonial terhadap pribumi. “Bacaan Liar” adalah bagian yang tak terpisahkan dari “mesin pergerakan” yaitu untuk mengikat dan menggerakkan kaum kromo – kaum buruh dan kaum tani yang tak bertanah. Bacaan liar merupakan penyampai pesan dari organisasi atau aktivis pergerakan kepada rakyat. Melalui bacaan liar rakyat mengenal kata-kata baru yang berkaitan dengan gerak perlawanan terhadap kekuasaan kolonial, seperti kapitalisme, sosialisme, internasionalisme, beweging (pergerakan), staking (pemogokan), dan vergadering (rapat umum).[ii] Hal ini terjadi sebagai konsekuensi logis atas penerapan kebijakan Politik Etis terutama dibidang pendidikan yang kemudian melahirkan kaum terdidik bumiputera. Juga sebagai respons atas dibentuknya Komisi Bacaan Rakyat pada 14 September 1908 yang memiliki tugas untuk menetapkan bacaan yang baik untuk masyarakat pribumi.

Kebijakan atas pelarangan buku yang berkembang di era pemerintahan kolonial tidak dituliskan secara eksplisit, namun yang menjadi motif untuk melakukan tindakan tersebut adalah kekhawatiran bilamana kritik yang diberikan kepada pemerintah kolonial berkembang dan terjadi perlawanan massif dari masyarakat pribumi. Dengan kondisi demikian, beberapa karya yang diciptakan oleh tokoh – tokoh pergerakan saat itu dilarang beredar dan bahkan sampai kepada pemenjaraan penulisnya. Seperti contoh karya Semaoen (Hikajat Kadiroen), Mas Marco Kartodikromo (Student Hidjo, 1918; Sair Rempah – Rempah, 1918; Matahariah, 1919;), Tan Malaka (Parlemen atau Soviet, 1921); dan esai-esai yang mengritisi kekuasaan kolonial dan modal di Hindia Belanda.[iii] Upaya yang dilakukan pemerintah kolonial untuk menghambat penyebaran akan kritik dan pembentukan kesadaran tertindas oleh tokoh – tokoh pergerakan adalah melalui dominasi dibidang percetakan dan penerbitan melalui lembaga Balai Pustaka. Karena, lembaga ini adalah bentukan pemerintahan kolonial dengan maksud menentukan produksi literasi untuk masyarakat pribumi. Beberapa isu tertentu dilarang untuk dimuat dalam karya – karya yang dihasilkan atau diterjemahkan, yang semua intinya adalah menjaga kekuasaan kolonial dari kritik yang berkembang terutama dalam pembahasan yang berkenaan dengan bidang politik.

Iklan

Sejarah pelarangan buku di Indonesia berlanjut pada masa awal kemerdekaan, ditengah kondisi yang tidak stabil dalam pembentukan sistem pemerintahan juga diikuti dengan gerakan separatis diberbagai wilayah, ditahun 1950-an KSAD Mayjen A.H. Nasution melalui Peraturan Kepala Staf AD selaku Penguasa Militer mengeluarkan peraturan No. PKM/001/9/1956 yang mengontrol kebebasan berekspresi, terutama pemberitaan pers.[iv] Didalamnya dimuat beberapa indikator yang dijadikan acuan untuk membelenggu kebebasan berekspresi dalam berbagai bentuk termasuk pemberitaan yang dilakukan oleh pers, seperti memuat atau mengandung ketajaman – ketajaman, persangkaan (insinuaties), bahkan penghinaan terhadap pejabat negara, memuat atau mengandung pernyataan permusuhan, kebencian atau penghinaan terhadap golongan – golongan masyarakat, atau menimbulkan “keonaran”. Seluruh indikator ini murni interpretasi dan subjektifitas pihak militer yang saat itu memiliki kekuasaan yang cukup besar. Beberapa karya dilarang pada saat itu, seperti salah satu buku kumpulan puisi  karya Sabar Anantaguna yang berjudul Yang Bertanah Air tapi Tak Bertanah, sementara dua lainnya karya Agam Wispi yang berjudul Yang Tak Terbungkamkan dan Matinya Seorang Petani (Lekra, 1961). Brosur Demokrasi Kita, yang dibuat oleh Mohammad Hatta pasca pengunduran dirinya, juga tidak lolos dari pemberangusan.[v] Ditahun 1959, ketika status keamanan negara diubah dari “keadaan perang” ke “keadaan bahaya” dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang – Undang No. 23 Tahun 1959 tentang Keadaan Bahaya. Dalam UU tersebut, Penguasa Perang berhak mengontrol berbagai bentuk ekspresi dan menutup percetakan.[vi] Karya sastra yang ditulis oleh Pramoedya Ananta Toer dengan judul Hoakiau di Indonesia menjadi korbannya, ia dipenjara selama satu tahun. Ketika pemerintahan memberlakukan sistem Demokrasi Terpimpin (Orde Lama), saat itu sejumlah karya yang dihasilkan oleh kelompok sastrawan dengan menyatukan diri dalam Manifes Kebudayaan (Manikebu) pun dilarang beredar, alasan yang digunakan lebih bermuatan politis dan ideologis sebab dianggap tidak mendukung agenda pemerintah dan “kontra-revolusi”. Hal ini sejalan dengan dominasi kekuatan komunis dan kedekatan Presiden Soekarno dengan PKI, sehingga konflik ideologis dengan lawan politik pun berintegrasi dengan kebijakan yang diterapkan. Di masa ini juga akhirnya lahir suatu peraturan yang menjadi momok menakutkan dalam konteks kebebasan berekspresi dan mekanisme pelarangan buku atau barang cetakan yaitu Undang – Undang Nomor 4/PNPS/1963 tentang Pengamanan terhadap Barang-barang Cetakan yang Isinya Dapat Mengganggu Ketertiban Umum.

Pasca peristiwa G30S tahun 1965 dan runtuhnya kekuasaan Soekarno, dan rezim Orde Baru berkuasa, praktik pelarangan dan pemberangusan buku semakin menjadi – jadi, rezim ini menemukan “musuh bersama” yang perlu diberantas dan dibumihanguskan dari pemahaman masyarakat. Marxisme dan Komunisme serta yang berbau PKI menjadi sasaran utama dari setiap praktik pelarangan buku yang terjadi. Namun, beberapa karya literasi yang dianggap menggangu stabilitas dan keamanan negara pun tak luput dari sasaran. Orde Baru dibawah kekuasaan otoriter Soeharto menandai sebuah pola pemerintahan yang sangat sistematis dalam melakukan hegemoni kesadaran terhadap masyarakat dengan menyentuh seluruh aspek kehidupan melalui propaganda slogan – slogan politisnya dan simbol – simbol yang dilekatkan dengan suatu pesan atau makna tertentu. Terkait dengan pelarangan buku dan segala tindakannya, Orde Baru dicatat sebagai rezim yang sangat massif melakukan pelarangan dan pemberangusan buku termasuk terhadap penulisnya. Sejarah mencatat, pada masa awal terbentuknya Orde Baru, pelarangan sejumlah buku pernah dilakukan secara membabi buta, terutama setelah peristiwa G30S. Tiga bulan setelah peristiwa kelabu tersebut, yaitu pada 30 November 1965, Pembantu Menteri Pendidikan Dasar dan Kebudayaan Bidang Teknis Pendidikan, Drs K. Setiadi Kartohadikusumo, melarang 70 judul buku. Pelarangan ini kemudian disusul dengan pelarangan terhadap semua karya 87 penulis yang dituduh beraliran kiri. Selain itu, pada masa itu, terdapat juga sebuah keputusan yang menyatakan ada 21 penulis yang karya mereka harus dimusnahkan dari seluruh ruang perpustakaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Tidak diketahui berapa total jumlah buku yang dinyatakan terlarang, tapi diperkirakan lebih dari 500 judul buku telah dinyatakan terlarang.[vii] Secara kultural, praktik hegemonik yang dilakukan oleh Orde Baru dalam pelarang buku dan pemberangusan buku menjadi dasar legitimasi yang memberikan kekuasaan besar terhadap negara untuk menyaring pengetahuan yang berkembang di masyarakat. Pun secara tidak langsung memberikan akses terhadap institusi pemerintah juga pihak militer untuk secara subjektif menentukan pengetahuan yang dapat dikonsumsi masyarakat. Setelah runtuhnya rezim ini pun praktik pelarangan buku masih terjadi di Era Reformasi – yang didengungkan sebagai era kebebasan berekspresi diberikan kepada setiap individu, namun kenyataan nya masih ditemui bentuk – bentuk pelarangan buku bahkan penyitaan terhadap karya tertentu.

Di Era Reformasi praktik pelarangan buku atau penyitaan terhadap buku tetap masih ditemui dengan pelibatan Kejaksaan Agung yang memang memiliki dasar hukum dan wewenang untuk melakukan pemeriksaan dan peninjauan terhadap barang cetakan berdasarkan pada tugas dan fungsi pokoknya yang diatur dalam Undang – Undang. Akses terhadap beberapa karya yang sempat dilarang pada rezim Orde Baru akhirnya dapat beredar dimasyarakat. Ketakutan dan kecemasan masyarakat ketika memiliki atau membaca buku – buku yang diindikasikan terlarang pun perlahan memudar, bahkan dalam industri penerbitan dan penjualan buku, buku – buku kiri, ajaran Marxisme dan Komunisme menjadi komoditi yang laku dan menarik masyarakat untuk dibaca. Namun, bukan berarti pengawasan dan tindakan represif dalam konteks akses pengetahuan tidak dilakukan oleh rezim berkuasa, beberapa buku tetap masuk dalam kategori terlarang dan tidak mendapatkan akses untuk didistribusikan secara luas. Kebanyakan dari buku – buku tersebut dianggap memuat isi, pesan, atau simbol yang dianggap “membahayakan”. Beberapa indikator yang digunakan adalah bertentangan dengan ideologi negara, mengarah pada ajaran sesat, tidak sesuai dengan tafsir sejarah, menimbulkan gerakan separatis, menggunakan simbol PKI, dan menimbulkan keresahan umat beragama. Sebagai bukti, dari data yang dikumpulkan dalam kurun waktu 2002 – 2009, ada 13 buku yang dilarang dan diperiksa oleh Kejaksaan Agung, (1) Aku Bangga Menjadi Anak PKI, (2) Kematian HAM Di Tanah Papua, (3) Aku Melawan Teroris, (4) Menembus Gelap Menuju Terang, (5) Atlas Yang Memuat bendera “Bintang Kejora”, (6) Kebenaran Sejati Dalam Alqur’an, (7) Tenggelamnya Rumpun melanisia: Pertarungan politik NKRI di Papua Barat, (8) 13 Buku Pelajaran Sejarah Sekolah, (9) Dalih Pembunuhan Masa G30S Dan Kudeta Suharto, (10)  Suara Gereja Bagi Umat Tertindas: penderitaan tetesan darah dan cucuran air mata Tuhan di Papua Barat harus diakhiri, (11) Lekra Tak Membakar Buku, (12) Enam Jalan Menuju Tuhan, (13) Misteri Keberagaman Agama.[viii]

Seluruh data dari praktik pelarangan, razia, hingga pemberangusan buku dalam setiap rezim berkuasa di negara ini memberikan suatu kesimpulan pragmatis yang mengantarkan kita pada kenyataan bahwa bentuk ekspresi dan kebebasan dalam menyatakan pendapat dalam sistem demokrasi ini masih belum terlaksana dengan semestinya, batasan – batasan tertentu dan kualifikasi yang mengikat senantiasa mengancam siapa saja dalam mengakses dan membagikan pengetahuan yang dimilikinya. Meskipun Indonesia terbilang sebagai negara dengan tingkat minat membaca yang rendah dalam survey yang dilakukan oleh The Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) melalui program Program for International Student Assessment (PISA) di tahun 2015, dengan menduduki peringkat 62 dari 70 negara, tidak menjadi dalih untuk menganggap persoalan pelarangan dan razia buku belakangan ini menjadi problema yang bisa dianggap remeh dampaknya kedepan. Persoalan kultural, wacana ideologi dominan, dan kebijakan politis untuk mempertahankan status quo rezim perlu diikuti dengan kritik dan refleksi historis untuk menghasilkan gagasan yang objektif dan kebijakan yang mengedepankan kepentingan juga kebutuhan masyarakat luas.

Bibliophobia dan Pembentukan Subjek Ahistoris

Para penindas dan fasis takut akan buku karena buku adalah parit – parit ingatan, dan ingatan adalah dasar bagi perjuangan keadilan dan demokrasi. –Fernando Baez

Pada dasarnya buku yang merupakan manifestasi dari gagasan dan pikiran seseorang akan suatu pengalaman atau persoalan dari realitas sosial masyarakatnya dalam bentuk teks – teks, tidak hanya menjadi sebuah objek yang mati dan bersifat statis. Bilamana memahami buku sebagai teks dalam pengertian hermeneutis, teks dalam beragam bentuk yang memuat struktur, wacana, ideologi yang variatif dan tentunya cenderung tidak bebas nilai. Dalam melihat konteks pemberangusan buku melalui razia, pembakaran, dan lainnya penekanan utamanya adalah subtansi dari buku tersebut yang memilikikekuatan untuk melegitimasikan suatu pengetahuan atau mendorong langkah teknis – praksis yang mampu menciptakan suatu perubahan. Maka tidak mengherankan upaya – upaya penghilangan jejak dan narasi yang dianggap bertentangan dengan ideologi dominan – juga mengganggu klaim penguasa – sedemikian sistematis akan diusahakan pembatasan aksesnya kepada masyarakat.

Dalam sebuah makalah berjudul Librisida: Pemurnian Masyarakat dan Demokrasi yang Cacat yang ditulis oleh Robertus Robet (Maret 2010), dijelaskan empat faktor berdasarkan konteks yang menurutnya melatarbelakangi tindakan librisida dengan segala mekanismenya. Pertama, kondisi perang, konflik antar negara dan invasi terhadap suatu negara biasanya diikuti dengan penghancuran berbagai teks pengetahuan maupun ruang yang mengabadikan catatan – catatan suatu bangsa, perpustakaan yang biasanya menjadi sasaran. Seperti yang terjadi di tahun 2003, penghancuran perpustakaan nasional Bagdad, Irak. Kedua, menandai kemunculan suatu rezim baru, dalam kontestasi politik dan propaganda suatu rezim berkuasa, tindakan pelarangan atau penghancuran teks – teks pengetahuan menjadi prioritas utama sebagai bentuk pelegitimasian kekuasaan dan upaya penghilangan narasi yang beroposisi dengan kebutuhan politis yang ada. Tindakan ini dilakukan oleh rezim fasis Hitler di Jerman untuk mempropagandakan klaim dan kekuatan politik Nazi dan di Indonesia pun dilakukan dalam masa – masa transisi rezim Demokrasi Terpimpin ke Orde Baru. Ketiga, penghancuran dan kebencian buku selama masa revolusi. Dalam masa – masa revolusi, pengetahuan yang biasanya bertentangan atau tidak mendukung upaya revolusioner pun menjadi sasaran untuk dihancurkan. Keempat, bibliokasisme modern dan kebencian atau penghancuran buku yang secara resmi disponsori oleh negara/pemerintah dalam situasi normal. Kondisi seperti ini biasanya dilakukan dengan penilaian etis dan moral dari institusi yang mengklaim memiliki kuasa dan wewenang melakukan kualifikasi dalam peredaran pengetahuan dimasyarakat.

Merujuk pada penjelasan diatas, tindakan razia buku yang belakangan ini terjadi adalah bagian dari keterlibatan negara melalui institusinya dengan meletakkan dasar pada sebuah penilaian yang pragmatis dan bahkan terkesan intervensif. Dasar dari tindakan razia buku yang dilakukan oleh berbagai institusi negara itu berlandaskan pada satu ketetapan, TAP MPRS NO XXV TAHUN 1966, yang berisikan tentang pembubaran Partai Komunis Indonesia, pernyataan PKI sebagai organisasi terlarang di seluruh wilayah negara Republik Indonesia, dan larangan menyebarkan atau mengembangkan paham atau ajaran komunisme/marxisme-leninisme. Pihak – pihak yang terlibat dalam tindakan razia buku mengganggap penting untuk kembali melakukan kontrol pada penyebaran ajaran Marxisme – Leninisme dan juga informasi yang berhubungan dengan PKI serta penggunaan simbol palu arit dalam sebuah buku. Setidaknya di dua daerah telah dilakukan tindakan tersebut, pertama kali dilakukan di salah satu toko buku daerah Kediri dan kedua kalinya dilakukan didaerah Padang. Hal tersebut juga didukung dengan “adanya pengaduan dari masyarakat” yang menjadikan sebuah pembenaran untuk akhirnya tindakan razia buku perlu dilakukan kembali.

Bibliosida atau Librisida[ix] yang terjadi di era modern saat ini lebih banyak dilakukan atas dasar penilaian moral dan etis yang sebenarnya bisa dikatakan ahistoris juga anti-intelektual. Tindakan bibliosida dianggap menjadi penting dilakukan untuk menjaga ketertiban masyarakat melalui kontrol atas wacana dan pengetahuan yang beredar. Penilaian moral – etis cenderung mengandung kecemasan atau ketakutan yang berlebih atas suatu pengetahuan atau narasi. Dalam persoalan ini, sering digunakan istilah bibliophobia, yang merupakan penjelasan bagi ketakutan bahkan kebencian terhadap buku. Bibliophobia bisa dialami oleh seseorang yang secara psikologis mengalami traumatik terhadap teks atau pengalaman buruk yang mengundang rasa emosional timbul. Dilain hal isitilah ini juga disematkan kepada pihak – pihak yang melakukan penghancuran buku dengan tujuan yang lebih politis dan tindakannya secara nyata dilakukan melalui prosedur yang sistematis. Mereka yang melakukan tindakan pelarangan bahkan pemberangusan buku sering kali disebut sebagai biblioklas[x]. Para biblioklas biasanya mempertontonkan tindakannya di depan publik sebagai bentuk pengabsahan dan teror secara luas, tentunya juga menjadi bagian dari pengukuhan kekuasaan mereka serta matinya ragam pengetahuan yang berkembang dimasyarakat.

Iklan

Upaya penghancuran atau pelarangan buku yang dilakukan negara (rezim berkuasa) telah menjadi suatu pola yang berulang, bahkan bisa dikatakan sebagai “aktivitas yang tidak pernah hilang” dalam kehidupan sosial masyarakat. Secara politis, tindakan ini merujuk kepada kebutuhan atau kepentingan kekuasaan dalam melakukan kontrol atas pengetahuan dan wacana yang beredar, diikuti dengan pengukuhan dalam berlakunya suatu rezim di masa – masa transisi atau melalui cara – cara invansi. Namun, bila dicermati kedalam analisa kebudayaan, bibliosida juga berkaitan dengan upaya – upaya pembentukan subjek, yang mana merujuk kepada kesesuaian akan ideologi dominan dan wacana yang berkembang. Dalam perspektif teori budaya kontemporer, istilah subjek (subjektivitas) dan identitas digunakan untuk menandai efek – pada kesadaran, penampilan atau (dalam pengertian psikoanalitik) fantasi – dari gambar, narasi dan tanda-tanda lain yang membentuk setiap formasi budaya.[xi] Dalam membentuk suatu subjek tertentu, proses tersebut didukung melalui keberadaan diskursus, yang mana mengacu pada produksi pengetahuan melalui bahasa yang memberikan makna pada objek material dan praktik – praktik sosial.[xii] Diskursus yang dimanifestasikan kedalam bentuk bahasa, pengetahuan, simbol – simbol yang tersebar dalam formasi sosial masyarakat tidak lepas dari intervensi kuasa. Menurut Foucault, dalam setiap masyarakat, produksi diskursus adalah sekaligus dikontrol, diseleksi, diorganisasi, dan diretribusikan menurut prosedur pasti yang fungsinya digunakan untuk menghindari bahaya dan kuasanya, mengatasi peristiwa tak terduga, mengelakkan dari hal buruk, dan materialitas yang mempesona.[xiii] Pengetahuan sebagai bentuk diskursus dalam setiap formasi sosial masyarakat, dalam rekam historis tak elak dari kuasa ideologi dominan yang membentuk suatu term tertentu. Dalam masa penjajahan kolonial misalnya, pengetahuan yang diproduksi lebih diarahkan kepada kemampuan linguistik (bahasa melayu dan Belanda), berhitung, dan membaca. Seluruhnya diarahkan untuk membantu berjalannya sistem produksi dan birokrasi pihak kolonial. Selanjutnya pada masa Demokrasi Terpimpin, pengetahuan yang diproduksi dalam institusi pendidikan merupakan cerminan dari kontestasi ideologi antara sosialisme – komunisme dan liberalisme sebagai efek dari perang ideologi di negeri Barat. Situasi berubah dratis ketika kekuasaan dipegang secara penuh oleh rezim Orde Baru, yang mana berkaitan dengan produksi pengetahuan semua diarahkan untuk kelangsungan pembangunan dan bersifat sentralistik, sekaligus penghapusan informasi sejarah mengenai PKI dan ajaran Marxisme – Leninisme. Di era Reformasi dengan semangat anti – Orde Baru, pada kenyataannya produksi pengetahuan masih dibatasi terutama yang berkaitan dengan Marxisme dan Komunisme juga pengetahuan yang berkontradiksi dengan narasi penguasa dan berkembang semangat kompetitif dalam institusi pendidikan.

Kontrol atas pengetahuan akan membentuk subjek – subjek anti intelektual (pengetahuan) yang dalam konteks bibliosida ini akan menciptakan manusia – manusia yang buta akan narasi historis bangsanya. Bila diamati semenjak kekuasaan Orde Baru, narasi atau informasi mengenai ajaran Marxisme dan Leninisme juga PKI yang mendasari setiap praktik pemberangusan buku atau razia buku terdapat semacam kekeliruan jika melihatnya dalam konteks sebagai pengetahuan yang termuat dalam buku. Marxisme, Komunisme, PKI atau hal – hal yang berbau kiri seharusnya bisa ditempatkan pada koridor as a knowledge (science) yang diperuntukkan untuk memperkaya pemikiran dan landasan dalam menganalisa suatu persoalan sosial, ekonomi, politik, dan budaya dalam masyarakat. Di mana pada dasarnya jelas berbeda bilamana disepadankan dengan konteks sebagai acuan politik praktis dalam struktur masyarakat. Informasi sejarah atau pengetahuan yang bersifat anti-mainstream sangat penting untuk menjadi bahan refleksi dan perkembangan gagasan baru kedepannya dalam menjawab semangat zaman yang akan datang. Inilah yang menjadi urgensi terkait persoalan razia buku belakangan ini, selain menciptakan keadaan tidak demokratis, kondisi ini semakin memperparah kegagapan masyarakat akan informasi terutama yang bersifat historis melalui buku. Tinggi – rendahnya indeks minat baca bila tidak diiringi dengan keterbukaan untuk setiap pengetahuan yang didistribusikan tetap akan menciptakan masyarakat (atau subjek) yang hanya bercokol pada narasi dan diskursus dominan. Subjek – subjek kritis akan terhambat bila bercermin dengan kondisi di mana aktivitas pelarangan dan razia buku seperti belakangan ini masih terjadi. TOLAKRAZIABUKU.

Hendi Roy

*Penulis adalah Mahasiswa Prodi Sosiologi Universitas Negeri Jakarta dan aktif berjejaring di forum Diskusi Kamis Sore.


[i] Tim Peneliti PR2Media dan FES (Friedrich Ebert Stiftung). Pelarangan Buku di Indonesia: Sebuah Paradoks Demokrasi dan Kebebasan Berekspresi. PR2Media dan FES (Friedrich Ebert Stiftung): Yogyakarta. 2010. Hlm. 38.

[ii] Dikutip dari laman https://sites.google.com/site/sejarahsosial/pelaranganbuku/bukudijamankolonial pada tanggal 6 februari 2019 pukul 19.42 WIB.

[iii] Ibid.

[iv] Muhammad Iqbal. Pelarangan Buku di Indonesia Era Orde Baru: Perspektif Panoptikon Michel Foucault. Jurnal Agastya Vol 9 No 1 Januari 2019. IAIN: Palangkaraya. 2019. Hlm. 60. Diakses melalui laman https://www.researchgate.net/publication/330527761_Pelarangan_Buku_di_Indonesia_era_Orde_Baru_Perspektif_Panoptikon_Michel_Foucault pada tanggal 6 Februari 2019 pukul 20.45 WIB.

[v] Ibid. Hlm. 61.

[vi] Ibid.

[vii] Tim Peneliti PR2Media dan FES (Friedrich Ebert Stiftung). Opcit. Hlm. 4.

[viii] Diolah dari Satrio Ngudiharjo Skripsi: Praktik Pelarangan Buku di Era Demokrasi Pasca Reformasi 1998. Universitas Negeri Jakarta: Fakultas Ilmu Sosial. 2017. Hlm. 50.

[ix] Istilah ini digunakan untuk menjelaskan tindakan “pengrusakan buku” yang dilakukan secara sistematis juga menjadi pola yang berulang dalam setiap rezim kekuasaan yang berkaitan dengan penghancuran peradaban dan kebudayaan. Rebbeca Knuth dalam bukunya Burning Books and Leveling Libraries: Extremist Violence and Cultural Destruction (2006, Praeger, Hlm 3) menggunakan istilah Biblioclasm yang menurutnya secara linguistik berkaitan dengan adanya penilaian moral dari pelaku kepada target sasaran (teks yang dihancurkan).

[x] Dikutip dari buku Fernando Baez yang berjudul A Universal History of the Destruction of Books: From Ancient Sumer to Modern-day Iraq (2003, Hlm.23) Istilah Biblioklas (Biblioclast) diartikan sebagai orang – orang yang melakukan tindakan penghancuran buku dengan segala upaya, tindakan yang dilakukan orang – orang ini biasanya bagian dari penghancuran suatu peradaban.

[xi] Richard Johnson, dkk. The Practice of Cultural Studies. SAGE Publications: London. 2004. Hlm. 55

[xii] Chris Barker. Cultural Studies: Teori dan Praktik. Kreasi Wacana: Bantul. 2013. Hlm. 60.

[xiii] Listiyono Santoso, dkk. Epistemologi Kiri. AR-RUZZ MEDIA: Yogyakarta. 2015. Hlm. 176.