Konflik Pulau Pari bermula pada 1985, ketika girik asli yang dimiliki warga diambil oleh pihak Kelurahan Pulau Tidung. Alasannya, akan diganti dengan Sertifikat Hak Milik (SHM). Namun, hingga saat ini warga belum mendapatkannya. Syahdan, status kepemilikan tanah menjadi kabur.
Hilangnya girik dari tangan warga, membuka celah bagi PT Bumi Raya Pari Asri. Pada 2011, mereka tiba-tiba mengklaim 90% dari 42 hektare lahan Pulau Pari sebagai milik perusahaan. Klaim tersebut ditentang oleh warga, mereka melaporkan hal tersebut kepada Ombudsman. Berdasarkan temuan Ombudsman, terdapat maladministrasi dalam penerbitan Sertifikat Hak Milik (SHM) dan Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB) milik PT Bumi Raya Pari Asri.
Selain itu, permasalahan di Pulau Pari tak hanya di darat. Sejak medio 2000-an, gugusan Pulau Pari kerap terkena caplok proyek reklamasi oleh sejumlah perusahaan untuk pengembangan pariwisata. Aktivitas reklamasi merusak ekosistem pesisir hingga mengurangi wilayah tangkapan ikan. Bahkan dalam prosesnya, warga sering mengalami intimidasi dan kriminalisasi ketika mempertahankan ruang hidupnya.
Baca juga: Ironi Reklamasi: Nestapa Pulau Pari dalam Cengkeraman Korporasi
Sosok perempuan bernama Asmania —akrab dipanggil Aas— memantik perlawanan warga. Ia gigih melawan perampasan lahan dan reklamasi yang merusak lingkungan. Dirinya terus menyuarakan hak-hak warga di berbagai forum. Meski mendapat intimidasi dan ancaman kriminalisasi, hingga saat ini Aas tetap teguh berjuang bersama Kelompok Perempuan Pulau Pari.
“Apa yang menjadi dasar terbentuknya Kelompok Perempuan Pulau Pari?”
Sebelumnya, hanya ada Forum Peduli Pulau Pari (FP3) sebagai wadah perjuangan. Namun, pada tahun 2014, sejumlah anggota laki-laki dikriminalisasi bahkan dipenjara. Akhirnya, kami para perempuan memutuskan untuk membentuk kelompok khusus agar perjuangan tetap bisa berjalan. Saat ini anggota Kelompok Perempuan Pulau Pari berjumlah 20 orang. Kami juga bertekad menyejahterakan anggota dengan berbagai macam kegiatan.
“Bagaimana Kelompok Perempuan Pulau Pari melakukan perlawanan?”
Awalnya kami terlibat aksi demonstrasi, menuntut dihentikannya kegiatan perusahaan yang merusak lingkungan. Sejak Covid-19 melanda, kami mencoba kegiatan lain seperti berkebun. Sebab, akses terhadap bahan pangan terbatas. Kami menanam berbagai macam jenis sayur, seperti kangkung, bawang, tomat, dan jagung. Ketika panen, bisa dibagikan ke tiga RT saking melimpahnya.
Selain berkebun, sudah empat tahun kami aktif menanam mangrove. Kami menyadari bahwa pesisir Pulau Pari rentan abrasi hingga banjir rob. Sedangkan, pemerintah tidak pernah peduli akan kelestarian Pulau Pari. Makanya kalau bukan kami, siapa lagi yang akan melakukannya?
Baca juga: Ilusi Energi Bersih, Geothermal Ancam Lingkungan Gunung Gede Pangrango
Kami juga rutin mengadakan kerja bakti di Pantai Rengge, membersihkannya agar wisatawan nyaman berkunjung. Selain itu, di depan akses masuk pantai, diletakan kotak donasi bagi pengunjung. Hasil donasi tersebut digunakan untuk perawatan dan peningkatan fasilitas. Sebagiannya juga dibagikan kepada anggota kelompok setahun sekali untuk membantu perekonomian warga.
Semua itu kami lakukan guna menjaga hak atas lahan yang ada di Pulau Pari, agar negara dan perusahaan mengetahui bahwa kami hidup dan mampu menghidupi tanah ini. Karena kalau tidak kami kelola, tanahnya bisa dipatok seenaknya.
“Bagaimana kondisi warga ketika ekskavator milik PT CPS masuk ke kawasan Pulau Pari?”
Kami ingat sekali pada 01 November 2024, tersiar kabar bahwa terdapat ekskavator dikirim ke arah Pulau Tengah di sebelah Pantai Pasir Perawan. Tidak ada informasi siapa pemiliknya, serta akan digunakan untuk apa. Namun tiba-tiba warga sekitar Pantai Pasir Perawan mengabarkan ekskavator malah bergerak menuju Pulau Biawak.
Akhirnya saya dan ibu-ibu lain langsung menuju Pulau Biawak, dan menolak adanya alat berat tersebut. Saat itu perlawanan cukup sengit, nelayan yang sedang di laut juga bergabung, kami bertahan di perahu. Meski sempat terjadi negosiasi dengan kapal yang membawa ekskavator, kami tetap menolak. Akhirnya, di sore hari ekskavator berhasil disegel dengan kain kafan bertulisan “Beko ini disegel oleh warga Pulau Pari”.
Pada 17 Januari 2025 kami kecolongan, sebab tidak berhasil menahan ekskavator beroperasi. Saat mengunjungi lokasi, ternyata sudah ada lubang seluas 18 meter persegi dengan kedalaman tiga meter. Selain itu, kami juga menemukan lebih dari 40.000 tanaman mangrove seluas 1,38 hektar telah lenyap.
Kami kecewa dan sedih melihat tanaman yang kami rawat tiga tahun lamanya dirusak. Akhirnya kami kembali menggelar aksi di depan Kementerian Kelautan dan Perikanan menuntut penjelasan. Namun, pihak perusahaan berdalih bahwa mangrove tersebut sudah tidak ada ketika mereka melakukan pengerukan pasir laut. Tentu saja kami merasa frustasi, karena perjuangan untuk melestarikan alam Pulau Pari kini tampak sia-sia.
“Bagaimana kerusakan lingkungan di Pulau Pari berdampak pada masyarakat, khususnya perempuan?”
Kegiatan perusahaan banyak menghancurkan ekosistem setempat. Contohnya saja, lahan
warga untuk menanam rumput laut rusak, bersamaan dengan padang lamun dan terumbu karang yang tercemar.
Hilangnya mangrove akibat pengerukan pasir juga berdampak pada kehidupan nelayan. Sebab, mangrove menjadi tempat telur-telur ikan. Akibatnya, populasi ikan menurun.
Selain itu, privatisasi lahan untuk membangun penginapan, menyebabkan pelabuhan tidak lagi bisa diakses oleh nelayan. Padahal, pelabuhan digunakan untuk tempat peristirahatan ketika sedang melaut.
Menurunnya populasi ikan, berdampak pada perempuan yang bergantung pada penghasilan suami. Mereka semakin tertekan akibat berkurangnya jumlah tangkapan dan penghasilan yang diterima.
“Apa saja tantangan dan dinamika dalam perlawanan Kelompok Perempuan Pulau Pari, serta bagaimana cara menghadapinya?”
Perlawanan yang dilakukan tidak selalu diterima dengan baik, bahkan dari masyarakat Pulau Pari sendiri. Awalnya warga bersatu, seiring berjalannya waktu konflik muncul dan perpecahan pun tak terhindarkan.
Misal, setelah terbitnya sertifikat pada 2015, masyarakat diadu domba layaknya era kolonial. Khususnya oleh PT Bumi Raya Pari Asri, banyak yang tergoda dengan janji perusahaan dan terikat kontrak. Sehingga, memicu konflik antar warga. Kondisi ini menjadi tantangan, karena solidaritas kami mulai goyah.
Dulu, banyak perempuan yang aktif dalam pergerakan, berkumpul, dan berkebun. Namun, kini sebagian besar telah berusia lanjut. Sementara itu, generasi muda seringkali dihadapkan pada ketakutan akan intimidasi dan kriminalisasi. Muncul juga anggapan bahwa perjuangan ini melelahkan karena tidak menghasilkan uang.
Namun, tidak semuanya begitu. Buktinya hari ini kami masih ada walau jumlahnya tidak banyak, tapi kami masih melawan. Saya dan anggota lain percaya mampu memperjuangkan dan mempertahankan tanah kita sendiri.
“Apa harapan Kelompok Perempuan Pulau Pari kedepannya?”
Saya harap, masyarakat Pulau Pari mendapatkan hak tempat tinggal. Selain itu, kami juga menginginkan Pulau Pari bisa terlepas dari upaya perampasan ruang hidup yang selalu mengintai. Biarkan kami mengelola ruang hidup sendiri. Sebab, yang paling mengerti dan bisa menghidupi tanpa merusak adalah masyarakat sekitar, bukan perusahaan. Pulau Pari tidak butuh perusahaan, jangan biarkan mereka masuk dan merusak lingkungan serta merenggut ruang hidup kami.
Penulis/reporter: Alfira Putri Rahmadia
Editor: Zahra Pramuningtyas