Suara sirine selalu memekik telinga siapapun yang mendengar. Seperti yang terjadi hari ini, auman sirine tak berhenti bak berlomba satu sama lain. Setiap mendengarnya di depan rumah merupakan malapetaka tersendiri bagiku. Bukan karena takut dijemput olehnya dan berjumpa kematian, namun karena masa lalu. Ya setidaknya itulah yang selalu menandai hidupku, tiga kali dia bergema. Di situ aku memulai hidup, bertemu cinta, dan berpisah dengan keduanya.
Sirine Pertama
Arjuna adalah namaku, indah bukan? Aku sebenarnya tak paham kenapa dinamai Arjuna, si tokoh perwayangan dengan sifat dan ketampanan luar biasa. Sebab aku sendiri tak pernah melihat wajahku di cermin. Paling mentok hanya merabanya atau dari penglihatan orang lain di sekitarku. Karena aku buta.
Sejak kecil aku hidup dengan banyak orang bernasib sama. Tak pernah mengenal orang tua aslinya ataupun memiliki keterbatasan. Panti Asih menjadi rumahku dan kami semua. Menjadi tempat berteduh, mendapat sesuap makan, serta sedikit merasakan kasih sayang. Midah, salah satu pengasuhku di sana sekaligus orang yang kuanggap sebagai orangtua.
Dialah penyelamatku ketika kematian sudah siap menjemputku. Saat itu dirinya baru saja pulang dari pasar, guna berbelanja kebutuhan panti. Dari jauh dia melihat keramaian orang serta sebuah mobil polisi dengan sirine mengaung di udara. Langsung saja dia mendekat dan melihatku terbaring dikelilingi sebarisan tikus. Menurutnya saat itu dia terkesima melihat ketampanan wajahku, yang tak satupun dia dapatkan dari anak lain bahkan dari darah dagingnya sendiri.
Secara spontan dia langsung menggendongku dan berkata kepada sekumpulan polisi yang sedang memeriksa lokasi. Bahwa dia akan membawaku, meski sempat ditolak akibat ketidakpercayaan mereka terhadap Midah. Hingga akhirnya polisi tersebut mengantarkan kami menuju panti. Sesampainya di sana dia langsung berteriak, mengagetkan seisi panti untuk segera mengurusku. Saat itulah pengasuh panti lainnya menanyakan namaku. Seketika dia menjawab Arjuna.
Sejak hari itu diriku tak pernah lepas dari Midah, dia yang selalu menjagaku. Memberiku susu ketika lapar, memandikanku, mengurus keseharianku. Ketika digendong orang lain pun aku menangis menolak. Bahkan pengasuh lain sampai dibuat iri oleh kelakuanku, katanya mereka juga ingin menggendongku.
Saat itu belum ada yang menyadari bahwa aku memiliki kelainan. Bahkan Midah juga tidak sadar. Baru ketika aku berusia dua tahun (aku juga tak tau usiaku sebenarnya, itu hanya hitungan sejak tiba di panti), kelainan tersebut diketahui. Ketika itu aku sedang diajak bermain dengan anak lainnya. Namun aku tak merespon apa-apa ketika diriku dipegang dan disentuh oleh mereka. Hal tersebut juga yang membuat kebingungan, kenapa aku dapat membedakan Midah dan pengasuh lainnya. Sedang untuk mengenali teman-temanku aku tidak bisa, mungkin karena aku sudah tenang bersama Midah dan merasa dialah orangtuaku.
Panti memiliki banyak program untuk kami semua, mulai dari bayi hingga menginjak usia remaja. Tak ayal ketika balita, aku mulai diajari membaca. Jangan membayangkan aku belajar seperti anak lainnya yang dianugrahi penglihatan. Aku diasah untuk meraba dan merasa huruf-huruf braile. Bersama Midah aku mempelajari itu semua. Awalnya memang terasa aneh, ketika timbul-timbulan huruf tersebut menyentuh kedua tanganku. Tetapi lama-lama diriku terbiasa dan mampu menggunakan indra perasa dan perabaku, sesuatu yang menurutku tak dimiliki anak-anak lainnya.
Di Panti Asih bukan hanya aku sendiri yang memiliki keterbatasan, setidaknya ada empat temanku bernasib demikian. Sehingga membuatku tak merasakan sendiri, di antara mereka ada yang tuli, autis, dan lumpuh. Biasanya ketika jam belajar tiba kami semua berkumpul dan dengan segera Midah datang untuk mengajar.
Seperti anggapan semua orang bahwa masa kecil adalah suatu kenangan indah, begitu juga diriku. Aku memiliki semuanya. Atap untuk berlindung, teman-teman untuk bermain, serta Midah sebagai ibuku. Hingga suatu hari timbulah malapetaka itu, sesuatu yang sebenarnya tidak ingin kuingat barang sedetik.
Sirine Kedua
Seperti biasa aku terbangun di emperan toko-toko yang kini masih tertutup rapat. Kurasakan jalanan sudah mulai ramai. Terdengar bunyi klakson bersahutan, makian orang terjebak kemacetan, bahkan suara pedagang menjajakan sayuran dan sarapan.
“Sudah pagi waktunya pergi” kelakar seorang di sampingku. Aku lupa mengenalkannya, Kris adalah salah satu teman yang kujumpai di jalanan. Sehari-hari kami berdua biasa mengamen, dirinya biasa menuntunku mengelilingi ruas ibukota. Aku meminjam matanya untuk melihat sedangkan dia meminjam suaraku untuk bernyanyi.
Sudah dua tahun aku menggelandang di Jakarta, bukan waktu sebentar memang. Aku bahkan kesulitan makan ataupun mencari tempat tidur. Tapi, ada rasa senang dan bebas sebab ini jalan yang kupilih sendiri. Sejak tragedi malam itu ketika Midah dijemput oleh empat orang polisi dengan tuduhan penggelapan uang.
Midah seorang berhati lembut dan penyabar dalam mengurusiku. Dituduh sebagai penggelap uang, sungguh tidak masuk akal. Malam itu diriku berpisah dengannya, sampai hari ini sama sekali belum terdengar kabar tentangnya. Aku masih ingat kata terakhirnya, sebelum dia menghilang masuk ke dalam mobil polisi. “Arjuna tetaplah menjadi lelaki kuat jangan malu dengan keterbatasanmu, di dunia ini banyak orang buta hati dan perasannya.” Setelah kejadian itu, aku lebih banyak terdiam dan melamun. Tak ada lagi alasan yang membuatku bersemangat menjalani kehidupan.
Hingga suatu malam aku terbangun karena lapar. Saat berjalan di lorong panti terdengar suara seseorang menelepon dan mengatakan. “Sudah beres bos aku sudah berhasil menjebloskan Midah ke penjara, uang panti kini aman tinggal kita jalankan skenario selanjutnya.” Ucap seseorang di ujung telepon.
Aku tertegun mendengar percakapan tersebut, dengan langkah tergontai sambil memegang dinding guna menuntun jalanku. Kudekati sumber suara tadi, tanpa sadar aku telah berada di depan empunya suara . “Eh anak buta daritadi nguping kamu?” kelakarnya. Dengan tergesa-gesa dia langsung menendangku. Badanku yang masih lemas karena baru saja bangun, tak mampu melawan. Lama-lama kurasakan ada cairan hangat mengalir di kepalaku, darah segar.
“Siapa yang mengajari kamu menguping?”
“Midah si penggelap uang itu?” Aku terbangun, kurasakan debu berada disekelilingku, serta aroma mulut yang dari tadi tak hentinya menanyakan pertanyaan itu.
“Sudah diam di sini jangan kemana-mana. Meskipun buta, tetap saja kamu sudah mengetahui soal rencanaku,” ucap lelaki itu.
Orang tersebut melangkah keluar sambil menutup pintu. Aku menangis meratapi kebodohanku, yang tak mampu berbuat apa-apa untuk Midah. Kesal, betapa tidak adilnya tuhan menciptakan aku tanpa penglihatan. Kenapa tidak kau biarkan aku mati saja, “Apalagi yang ingin kuharap dalam hidup?”
Tidak terasa sudah seminggu aku tidur di ruangan ini, bersama tumpukan barang-barang panti yang tak terpakai. Setiap hari lelaki itu mengantarkan makanan padaku sambil terus mencelaku buta.
“Sudah waktunya makan siang Arjuna,” kata seseorang sambil membuka pintu.
Kudengar suara yang berbeda, “Tenang aku bukan Raja lelaki yang telah mengurungmu disini.” Dia mengenalkan dirinya, “Aku Tasya, lebih tua darimu dua tahun. Kita memang jarang berbicara namun aku sering melihatmu dari jauh.”
Setelah mendengar ucapan itu aku merasa tenang, kemudian dia melanjutkan pembicaraannya. “Sebenarnya aku sudah mengetahui semuanya, soal ibu Midah, soal engkau yang kini disekap digudang, dan soal panti ini juga. Aku telah menyusun rencana untuk membebaskanmu, tapi kau harus bersabar menunggu hingga larut.”
“Lantas rencana apa yang sudah kau siapkan?” tanyaku. Dia mendekatkan mulutnya ke telingaku menjabarkan hal tersebut.
“Arjuna, hey bangun ayo cepat! kau mau bebas tidak?” Aku setengah tersadar mendengar suara Tasya. Tanpa persetujuan dia langsung menarik tanganku, membuatku langsung berdiri dan mengikuti langkahnya. “Tenang, semuanya sudah tidur. Kini Raja lelaki bejat itu sedang bercumbu di kamar depan.”
“Dengan siapa?” tanyaku sambil menyembunyikan persaan kaget.
“Sebenarnya begini Arjuna, kami anak-anak perempuan panti sering dilecehkan olehnya.”
“Namun apa daya kami tak bisa melawan, terpaksa kami tutup mulut, atau kami diancam dibunuh,” ungkap Tasya.
Setelah mendengar penjelasan tadi, aku semakin memahami pesan Midah ketika berpisah. “Kenapa kalian tidak beramai-ramai mengadukannya saja?” Mungkin dengan itu Raja mengurungkan niat untuk membunuh mereka. Tasya hanya terdiam enggan menjawab pertanyaanku.
“Hal itulah yang diketahui oleh bu Midah, dan kau tau kan apa yang selanjutnya terjadi dengannya.” Aku mengangguk mengiyakan ucapannya. “Kita mau kemana? Ke kota atau kecamatan terdekat?” Tanyaku. “Tunggu sebentar, ada sesuatu yang belum kuberi tau kepadamu,” ungkap Tasya.
Tak lama terdengar bunyi sirine mendekat, Tasya memberitahuku itu polisi yang siap meringkus Raja. Dia bercerita, tadi siang setelah mengantarkan makananku, dirinya dan teman-teman lain sudah membulatkan tekad untuk melaporkannya. Tasya melanjutkan, “Sorenya aku izin untuk berbelanja kebutuhan, ketika sampai kecamatan aku langsung melaporkannya ke kantor polisi.”
Kami berdua sembunyi di semak-semak pekarangan panti. Samar kudengar suara, Raja mengatakan, “salahku apa?” Tanpa memberinya jawaban, kawanan polisi itu langsung memasukannya ke dalam mobil. Saat itu pula Tasya langsung menarik tanganku mendekati mobil tersebut. “Wajah raja sangat pucat dia ketakutan.” Dirinya membisikkan apa yang dia lihat.
Di tengah auman sirine yang kian menjauh, kudengar suara lain dari kawan-kawanku di panti. Dia menarik tanganku, “Ayo sudah waktunya kita pergi Arjuna.” Aku mengangguk mengiyakan ucapannya. Kami berjalan bersampingan, Tasya memegangi tanganku sambil menceritakan suasana malam perjalanan kami.
“Di kanan kiri kita sekarang terdapat sawah yang sangat luas, apakah kau dapat merasakannya?” tanya Tasya.
“Ya aku merasakan bau padi serta terdapat suara jangkrik dan hewan-hewan lainnya, sebelumnya apa kau sering keluar malam-malam begini?”.
“Tidak terlalu sering. Tapi terkadang, kalau sedang bosan di panti kadang aku kemari untuk sekedar duduk dan memandangi sekitar,” jelasnya sambil tertawa.
“Tas, kau dapat mengenalku?” tanyaku sambil mengarahkan wajahku kepadanya. “Sebenarnya semua orang di panti mengenalmu, kau sangat manja sekali kepada Bu Midah, tak bisa lepas darinya.” Jawaban Tasya membuatku malu. Kemudian dia melanjutkan ucapannya “Walaupun begitu kau sangat baik hati kepada teman-teman yang lain, bahkan kau pernah menolongku meskipun aku yakin kau tak menyadarinya.”
Aku mencoba mengingat-ngingat kapan aku menolong dirinya. Namun akhirnya aku menyerah, ya itulah kekuranganku meskipun sering berinteraksi dengan yang lain. Namun tak sama sekali kuketahui nama mereka, apalagi wajah dan perawakannya. Tasya melihat raut wajahku kebingungan malah tertawa.
“Kau menolong saat aku sedang kesulitan meracik bumbu untuk memasak di panti.” Terang Tasya. “Kami anak perempuan dikumpulkan oleh Bu Midah untuk membantu, sudah pasti ada kau di sana. Itulah pertemuan pertamaku denganmu.” Aku hanya mengangguk mendengar penjelasannya.
“Saat disuruh meracik bumbu aku merasa kesulitan, karena diriku memang kurang pandai memasak.” Kurasakan dia sedikit malu ketika meceritakan hal itu. “Tiba-tiba saja kau memegang bumbu-bumbu dalam wadah dan menciuminya satu persatu, lalu kau serahkan kepadaku untuk dicampurkan.” “Karena bantuanmu yang tidak sengaja itu aku jadi dipuji pandai memasak,” Tasya tertawa mengakhiri ucapannya.
“Sejak saat itu aku penasaran denganmu, jadi aku sering memperhatikanmu. Lagipula, selain pandai kau juga tampan.” Aku hanya tertawa mendengar ucapannya. “Tapi tak jadi soalkan jika perempuan tidak pandai memasak?” tanyanya.
Aku menjadi tambah kebingungan sebab diriku tak tau banyak soal mereka (perempuan), paling mentok hanya dari Bu Midah. “Bagiku yang terpenting perempuan harus bisa mandiri,” ucapku dengan sok bijak.
Tiba-tiba Tasya menghentikan langkahnya, kini aku semakin merasakan desir angin malam begitu dingin menusuk tubuhku. Aku kaget dia mendekatkan mulutnya ke telingaku sambil berucap, “Sebenarnya aku mencintaimu karena kau pandai, baik hati, dan juga tampan.” Aku membisu berusaha mencerna ucapan barusan, belum sempat aku memahaminya.
Tasya melanjutkan, “Izinkan aku menemanimu Arjuna, menjadi matamu di kehidupan.” Kurasakan kini dia memelukku.
“Apakah ini cinta?” Ucapku dalam hati. Aku membatu diam ditemani desiran angin dan suara jangkrik yang kian kuat. Tak pernah kudapat pelajaran soal cinta bahkan dari Midah sekalipun.
Bersambung……………..
Oleh : Mukhtar Abdullah