Lonjakan kasus positif harian COVID-19 telah menyentuh angka 20.000 sejak akhir Juni lalu. Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) pun diterapkan untuk Jawa dan Bali. Di tengah situasi tersebut, jagat dunia maya sempat ramai beberapa hari lalu terkait kabar 63 pasien COVID-19 yang meninggal dunia di Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Dr. Sardjito, Yogyakarta, Sabtu (3/7/2021) lalu. Selain kepanikan, kabar buruk ini menuai beragam kritik dari masyarakat. Pasalnya, pemerintah dan pihak yang bertanggung jawab bergerak lamban dalam menangani kurangnya ketersediaan oksigen di rumah sakit tersebut. Padahal, oksigen sangatlah krusial bagi pasien COVID-19 dengan kondisi buruk.
Hal ini bermula ketika Direktur Utama RSUP Dr. Sardjito, Rukmono Siswishanto mengajukan surat permohonan kepada Menteri Kesehatan dan sejumlah pejabat terkait di Yogjakarta, guna meminta dukungan oksigen untuk penanganan pasien Covid-19 pada Sabtu (3/7/2021). Selepas permohonan itu, RSUP Dr Sardjito juga mencatat ada 63 pasien yang meninggal sepanjang Sabtu hingga Minggu (4/7/2021) pagi. Kabar 63 pasien meninggal juga disampaikan oleh anggota Komisi D DPRD DIY, Muhammad Yazid yang mengaku memperoleh informasi tersebut dari sumber terpercaya di RSUP Dr Sardjito. Publik kemudian menduga kematian puluhan orang itu lantaran kehabisan oksigen. Dalam 24 jam, 63 jiwa meninggal dunia. Apalagi, ini terjadi karena kurangnya jumlah oksigen di rumah sakit tersebut. Dengan cepat, dugaan bahwa 63 orang meninggal selama sehari akibat kekurangan oksigen, menyebar di media sosial.
Namun, informasi yang beredar ternyata tidaklah benar. Rukmono Siswishanto memberikan penjelasan melalui konferensi pers yang digelar Minggu (4/7/2021). Ia membenarkan ada 63 pasien yang meninggal, namun jumlah ini terakumulasi sejak Sabtu (3/7/2021) pagi hingga Minggu (4/7/2021) pagi. Selain itu, jumlah ini tidak semua diakibatkan oleh kurangnya oksigen. Kepala Bagian Hukum dan Humas RSUP Dr Sardjito, Banu Hermawan menyebut pasien yang meninggal pasca oksigen central habis pada pukul 20.00 WIB, berjumlah 33 pasien. Dari jumlah tersebut, pasien juga berada dalam kondisi tersuplai oksigen tabung, bukan dalam kondisi tidak tersuplai oksigen sama sekali.
Kabar yang tidak sesuai dengan fakta ini begitu mudahnya meyebar hingga menimbulkan kegaduhan di jagat dunia maya. Dalam hal ini, media memiliki peran yang cukup berpengaruh. Tribun-Medan.com misalnya, memasang judul berita “NGERI, 24 Jam 63 Pasien Covid-19 di RSUP Dr Sardjito Jogja Meninggal Kekurangan Oksigen” ketika kabar ini baru menyeruak pada Minggu (4/7/2021). Hal ini cukup berbahaya jika seseorang hanya melihat judul, tanpa membaca keseluruhan beritanya, kemudian membuat kesimpulan dari berita tersebut.
Selain judulnya, isi berita yang disajikan juga cukup mengkhawatirkan. Seperti berita cepat pada umumnya, informasi yang disajikan masih belum pasti. Hal demikian dilakukan oleh media Tribun-Medan.com. Berikut kutipan dari isi berita yang dimuat.
“Kepala Bagian Hukum, Organisasi, dan Humas RSUP Dr Sardjito Banu Hermawan membenarkan adanya 63 pasien yang meninggal di rumah sakit itu. Namun, Banu mengaku belum bisa memastikan berapa pasien yang meninggal karena kondisi klinis dan berapa pasien yang meninggal karena pasokan oksigen yang habis.”
Padahal Tribun-Medan.com belum mendapat klarifikasi yang jelas dari pihak rumah sakit, tetapi sudah menjadikannya sebuah berita. Begitu pula masyarakat. Ketika menemukan berita yang tidak memenuhi nilai berita, membagikannya ke orang lain terasa sah-sah saja. Dalam konteks ini, misinformasi menjadi tak terhindarkan.
Seperti inilah yang terjadi di era digital. Begitu mudahnya masyarakat menerima informasi dari berita, namun tidak melihat kelengkapan, detil, dan akurasi dari informasi tersebut. Tanpa melihat seberapa kuat bukti yang ditawarkan, kualitas sumber, fakta yang dijabarkan dari sebuah berita, menjadi ciri utama dari masyarakat saat ini. Terlebih, berita-berita cepat kian menjamur. Siapapun dapat mengkonsumsi, sekaligus memproduksinya. Namun bila fakta dari berita-berita cepat ini tidak kita verifikasi lebih lanjut, maka kita belum siap menghadapi era digital.
Setidaknya, berpikir kritis terhadap informasi yang kita terima merupakan modal yang seharusnya dimiliki dewasa ini. Seperti yang dituangkan Bill Kovach dan Tom Rosenstiel dalam bukunya yang berjudul Blur (2012). Selama lima puluh tahun berkarir di dunia jurnalistik, Bill Kovach pernah menjadi kepala Biro Washington New York Times, editor Atlanta Journal-Constitution, dan menjadi Ketua Pendiri Committee of Concerned Journalists. Tom sendiri sudah menjadi wartawan selama lebih dari tiga puluh tahun, menjadi kritikus media untuk Los Angeles Times, dan kini menjadi wakil ketua Committee of Concerned Journalists. Keduanya merupakan kritikus media yang tak diragukan lagi pemikirannya tentang jurnalisme.
Judul Buku : Blur
Penulis : Bill Kovach dan Tom Rosenstiel
Penerjemah : Imam Shofwan dan Arif Gunawan
Penerbit : Dewan Pers / 2012
Jumlah Halaman : xii + 226
Dalam buku ini, Bill dan Tom memberikan pandangannya tentang era banjir informasi dewasa ini, dimana kebenaran dari nilai berita semakin kabur. Argumennya beranjak dari perkembangan teknologi komunikasi yang terus mengarah pada keterbukaan akses informasi tiap individu. Di era digital, siapapun dapat menjadi konsumen berita, sekaligus penyedia berita. Namun, hal ini juga menimbulkan masalah serius, ketika berita semakin membanjiri dunia digital, berita itu menjadi jauh dari nilai berita, seperti objektivitas, verifikasi, independensi, dan lain-lain.
Secara paradoks, jika informasi datang kian cepat dan melimpah, pengetahuan pun kian susah didapat, karena kita mesti mengayak lebih banyak fakta, pernyataan, dan bahan untuk mendapat pengetahuan di situasi demikian.
Menurut mereka, penting bagi kita untuk mengenali jenis konten yang kita konsumsi. Sebab, hal ini dapat menuntun kita untuk berlaku skeptis terhadap beragam berita di tengah banjir informasi. Mereka membagi konten-konten tersebut menjadi empat: pertama, jurnalisme verifikasi, yakni konten yang menyajikan berita dengan memegang teguh nilai kelengkapan, detil, akurasi, kedalaman menelusuri fakta, dan menginspirasi masyarakat untuk berpikir. Namun, konten jenis ini justru semakin sulit dicari karena tuntutan pasar yang tidak menghendakinya.
Kedua, jurnalisme pernyataan. Konten berita jenis ini biasa kita jumpai di siaran televisi. Penyedia konten berusaha menaruh nilai tertinggi pada kecepatan, namun mengurangi aspek pemeriksaan informasi. Akibatnya, ia cenderung menjadi kanal informasi pasif.
Ketiga, jurnalisme pengukuhan. Berita jenis ini biasanya menjadi media politik yang tidak mengacu pada nilai-nilai akurasi, kelengkapan, dan verifikasi, fakta yang memihak dan berat sebelah. Tujuan berita jenis ini adalah untuk mencari dukungan politik dan mempengaruhi kotak suara.
Keempat, jurnalisme kaum kepentingan. Tentu masyarakat Indonesia sudah tak asing lagi dengan nama “buzzer” kelompok bayaran yang melakukan propaganda untuk kepentingan politik suatu kelompok. Keuntungan materil bukanlah tujuan utama. Hasil liputan yang disajikan pun tak lengkap, karena kelengkapan dapat membelokkan argumen yang coba mereka bangun.
Buku ini memberikan banyak pertanyaan yang harus kita jawab agar menjadi konsumen berita yang lebih mawas di era sekarang. Setidaknya, Bill dan Tom merumuskan enam pertanyaan dasar yang harus kita tanyakan ketika kita melihat suatu berita: Konten berita jenis apa yang saya temui?; Apakah informasinya lengkap? Jika tidak, apa yang kurang?; Siapa dan apa sumbernya? Kenapa kita mesti mempercayainya?; Bukti apa yang disajikan? Penjelasan atau pemahaman alternatif apa yang mungkin muncul?; Apakah saya mendapat pelajaran tentang apa yang perlu saya ketahui?
Selanjutnya, Bill dan Tom menyarankan agar kita selalu melihat kelengkapan laporan berita, menilai sumber, mengevaluasi berita yang menyangkut penilaian fakta, dan meneliti apakah kita mendapatkan apa yang kita perlukan dari suatu berita.
Apa yang ingin disampaikan oleh kedua penulis buku ini tak lain adalah tentang bagaimana kita mengetahui kebenaran di balik setiap informasi yang beredar di masyarakat. Hal ini diperlukan agar kita tidak menerima informasi begitu saja, tanpa keraguan sedikitpun. Seperti halnya situasi saat ini, ketika bencana wabah COVID-19 merebak di seluruh dunia. Tak menutup kemungkinan jika situasi seperti ini dimanfaatkan oleh beberapa kelompok untuk mencari keuntungan dengan menyebarkan informasi yang mengundang “klik.” Maka, di sinilah media seharusnya berperan untuk menggali bukti. Dalam situasi bencana, peran media sangat dibutuhkan untuk memberikan informasi, meredam kepanikan publik, menepis informasi bohong yang beredar dengan penelusuran bukti.
Kehebohan yang terjadi dalam kasus RS Sardjito kemarin adalah bukti bahwa kita masih mudah menerima informasi yang datang begitu saja. Pada akhirnya, COVID-19 bukan hanya soal menjaga kesehatan, tetapi juga menjaga skeptisisme terhadap segala informasi.
Penulis : Hastomo Dwi P.
Editor : Vamellia Bella C.