Judul Buku : Visi Pendidikan Ki Hadjar Dewantara – Tantangan dan Relevansi

Penulis : Bartolomeus Samho

Penerbit : Kanisius

Cetakan : 2015

Tebal : 115 halaman

ISBN : 978-979-21-3547-3

Iklan

“Ki Hadjar Dewantara adalah Pepunden kita (pendorong dan pemimpin bangsa Indonesia)” -Ir. Soekarno (hlm.59)

Ungkapan tersebut terlontar dari Bung Karno untuk menghargai jasa Suwardi Suryaningrat, yang selanjutnya dikenal dengan nama Ki Hajar Dewantara. Bapak Pendidikan Nasional ini lahir pada 2 Mei 1889. Ayahnya bernama Kanjeng Pangeran Harjo Suryaningrat. Secara genealogis, Ki Hadjar Dewantara adalah seorang ningrat.

Meskipun berasal dari keturunan ningrat, ia tetap hidup merakyat. Bahkan, ia sampai mengubah namanya agar bisa lebih dekat dengan rakyat, yaitu menjadi Ki Hadjar Dewantara. Tujuannya sederhana. Ia ingin dengan bebas bersama rakyat secara fisik dan hatinya.

Ki Hadjar Dewantara, di samping aktif dalam bidang pendidikan, ia juga aktif dalam bidang politik dan jurnalistik. Kedua bidang tersebut pula yang membawa Ki Hadjar Dewantara mengalami hukuman pembuangan oleh pemerintah kolonial Belanda pada Agustus 1913, lantaran menulis artikel berjudul “Seandainya Aku Orang Belanda”. Ia menjalani hukuman bersama dengan sahabatnya, yaitu E.F.E Douwes Dekker dan Dr. Cipto Mangunkusumo. Ketiganya menjalani hukuman di Belanda.

Ketika menjalani masa pembuangan itulah yang membawa Ki Hadjar Dewantara untuk aktif dalam dunia pendidikan. Ia bahkan berhasil memperoleh Europeesche Akte (akte guru) pada 1915. Pemikiran-pemikiran pendidikan Ki Hadjar Dewantara pun besar dipengaruhi oleh pemikiran Dr. Frobel dan Dr. Montessori.

Meskipun memperoleh pendidikan di Belanda, keinginan Ki Hadjar Dewantara untuk membangun kesadaran masyarakat Indonesia tetap digaungkan. Melalui dunia pendidikanlah Ki Hadjar Dewantara melabuhkan fokus perjuangannya. Kendati demikian, ia tetap aktif dalam bidang jurnalistik dan politik. Kedua bidang itu tetap menjadi pilar penting dan penunjang bagi terbangunnya kesadaran generasi muda Indonesia (hlm.22).

Selain pengetahuan pendidikan yang didapatkan di Belanda, ketidakadilan dalam model pendidikan Belanda di Indonesia juga melatarbelakangi pemikiran Ki Hadjar Dewantara. Ki Hadjar Dewantara menganggap pendidikan yang diselenggarakan oleh Belanda hanya membuat siswa menjadi pesuruh negara koloni. Hal itu terlihat dalam model pendidikannya.

Pendidikan model penjajahan Belanda bersifat perintah, hukuman, dan ketertiban. Hal tersebut tidak cocok untuk mendidik generasi muda Indonesia. Karakter pendidikan semacam ini, dalam prakteknya merupakan suatu perkosaan atas kehidupan batin anak-anak. (hlm.77) Hal itu, pada dasarnya menjadi upaya untuk membuat manusia Indonesia menjadi objek yang dapat dieksploitasi oleh kolonialisme. Model seperti itu pula yang akhirnya membelenggu kesadaran kritis rakyat Indonesia.

Beranjak dari kritik di atas, Ki Hadjar dewantara membuat konsep pendidikan yang memerdekakan. Pendidikan, menurut Ki Hadjar Dewantara adalah daya-upaya yang disengaja secara terpadu dalam rangka memerdekakan aspek lahiriah dan batiniah manusia. Maka, dalam rangka mencapai kemerdekaan, pendidikan budi pekerti menjadi penting.

Menurut Ki Hadjar Dewantara, budi (pikiran) dan pekerti (tenaga), apabila keduanya bersatu akan menimbulkan tindakan yang selaras dengan nilai-nilai dan menimbulkan relasi yang harmonis antara individu dengan lingkungan sosialnya. Itulah yang membuat manusia menjadi merdeka, yaitu berdiri sendiri, tidak bergantung pada orang lain, dan dapat mengatur dirinya sendiri (menguasai diri). Kemerdekaan juga bukan menyangkut hidup individu, melainkan orang banyak dalam relasi kehidupan. Artinya, kemerdekaan seseorang tidak dapat mengganggu kemerdekaan orang lain.

Iklan

Selain itu, dalam rangka mewujudkan pendidikan yang memerdekakan. Murid harus dipandang sebagai subjek pendidikan. Murid memiliki potensi-potensi yang perlu dikembangkan. Dialog menjadi cara yang tepat dalam proses pendidikan yang memerdekakan. Pengetahuan tidak ditanamkan secara paksa tetapi ditemukan, diolah, dan dipilih oleh murid. (hlm.107)

Guna mewujudkan pandangan tentang murid sebagai subjek pendidikan, kesetaraan peran harus dimunculkan antara guru dan murid. Hal itu bertujuan agar adanya hubungan timbal balik antara guru dan murid dalam memperoleh pengetahuan. Guru harus menjamin rasa aman dan nyaman bagi murid.

Ki Hadjar Dewantara juga berhasil mengemas konsep pendidikan tersebut ke dalam semboyan dan metode yang sederhana dan khas Indonesia.  Semboyannya yang terkenal adalah Ing Ngarsa Sung Tuladha, yaitu seorang pendidik selalu berada di depan untuk memberi teladan. Ing Madya Mangun Karsa, yang berarti pendidik selalu berada di tengah-tengah untuk memotivasi. Terakhir, Tut Wuri Handayani, pendidik mendukung dan mendorong murid untuk berkarya ke arah yang benar bagi kehidupan masyarakat.

Berbicara metode, Ki Hadjar Dewantara merumuskannya dalam tiga hal, yaitu Momong, Among, dan Emong . Metode ini mengedepankan aspek memerdekakan manusia dengan cara mengasuh, mendidik, dan memberikan kebebasan pada murid untuk bertindak. Pamong akan bertindak, kalau perlu dengan paksaan, apabila keinginan anak-anak berpotensi membahayakan keselamatannya. (hlm.79)

Pemikiran Ki Hajar Dewantara tentang pendidikan harus direfleksikan ulang. Tujuan pendidikan untuk kemerdekaan manusia, saat ini seakan hilang. Bahkan, justru institusi pendidikan berubah menjadi sarana penindasan manusia, melalui mekanismenya yang terselubung. Saat ini, pendidikan hanya menjadi tempat reproduksi tenaga kerja saja. Dan itulah yang menjadi tujuan utamanya. Buku karangan Bartolomeus Samho ini secara ringkas mengulas sosok, latar belakang, dan pemikiran Ki Hadjar Dewantara. Di samping itu, buku ini juga menyajikan tantangan dan relevansi pemikiran sang pendiri Perguruan Taman Siswa dalam konteks pendidikan saat ini. Namun, buku ini tidak cukup untuk menyelami pemikiran Ki Hajar Dewantara mendalam. Singkatnya, buku ini dapat menambah khazanah pemikiran tentang pendidikan.

Penulis: Ahmad Qori

Editor: M. Muhtar