(26/1) Serikat Pekerja Media dan Kreatif untuk Demokrasi (SINDIKASI) mengadakan diskusi terkait isu pemberlakuan barcode pada semua pers. Diskusi tersebut bertempat di LBHI (Lembaga Bantuan Hukum Indonesia). Barcode akan diberlakukan 9 Februari 2017. Nantinya barcode ini dapat dipindai melalui smarphone dan penggunanya sendiri dapat mengetahui informasi alamat redaksi dan penanggung jawab dari berita tersebut.
Ketua umum Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia, Suwarjono, alasan Dewan Pers memberlakukan aturan tersebut karena maraknya berita hoax, banyak wartawan abal-abal (wartawan yang cuma cari uang), dan media yang belum terverifikasi. “Menurut Kominfo ada sekitar 44.000 media abal-abal di indonesia,” ujarnya.
Suwarjono menambahkan adanya perubahan perilaku pembaca yang tidak lagi membaca isi keseluruhan berita tetapi hanya dari judul berita dan siapa yang menyebarluaskan. “Generasi kita tidak lagi melihat dari kode etik yang digunakan tetapi melihat dari siapa yang menyebarluaskan,” tuturnya. Sayangnya dalam diskusi ini pihak dari Dewan Pers tidak datang untuk mengkonfirmasi isu pemberlakuan barcode pada pers.
Ada tiga konsep berkembangnya berita hoax yaitu konsep kamar gema, efek plasebo, dan kredibilitas media. Pembaca berita hoax tidak lagi melihat kode etik jurnalistik atau prinsip jurnalistik. “Konsep alogaritma yang dibentuk oleh media sosial mengunci kita dalam realitas yang sama dan ini menyebabkan sugesti,” kata Muhamad Heychael selaku Direktur Remotivi.
Heychael mengatakan pembaca hoax itu tidak akan bisa dikasih tau secara rasionalis karena pembaca cenderung membaca berita yang dia anggap benar. “Pembaca berita hoax akan sulit dikasih tau karena sudah terbentuk di maindsetnya,” ujarnya.
Barcode ini bukan solusi dalam menyelesaikan masalah berita hoax justru menyebabkan masalah baru seperti pemblokiran, kebebasan berekspresi, berpikir secara birokratis, dan legalitas dari negara. Untuk memerangi berita hoax membutuhkan waktu yang cukup lama karena ini persoalan media literasi. “Masalah berita hoax bukan ada atau tidaknya pers memiliki barcode tetapi masalah critical of thinkingnya,” tandasnya.
Senada dengan Heychael, Kristian Ginting selaku perwakilan dari SINDIKASI, mengatakan tidak perlu adanya barcode karena dewan pers juga memiliki mekanisme untuk memverifikasi berita hoax. “Ketika dewan pers memberlakukan kebijakan barcode, ini menjadi ambiguitas karena persoalan barcode hanya persoalan secara administrasi seperti harus ada PT (Persero Terbatas), dilengkapi dengan susunan redaksi dan lain-lain,” ujarnya.
(An nissa nur istiqomah)