Rabu (14/3), Digital Culture Syndicate menyelenggarakan diskusi publik bertemakan “Menguak Aktor-Aktor Politik Hoaks di Tahun Politik” di Bakoel Koffie, Cikini. Diskusi ini hadir sebagai ruang publik dalam menanggapi hubungan hoax dan hate speech dengan pemilihan umum (pemilu) mendatang.

Ada empat pembicara yang turut mengisi acara ini, di antaranya: Savic Ali (Direktur NU Online), Arie Sujito (Sosiolog), Kuskridho Ambardi (Ahli Komunikasi Politik), dan J. Kristiadi (Pengamat Politik).

Di era digital ini siapa pun dapat memproduksi informasi. Demikian tutur Savic Ali. Tantangannya yakni sulit mengidentifikasi mana informasi yang benar dan mana yang tidak. “Kita hanya tahu cerita dan berita yang beredar, tapi tidak tahu mana yang benar,” katanya.

Menurut Savic, ini terjadi karena krisis legitimasi terhadap media. Faktor terbesar penyebab krisis ini ialah faktor politik.

Di Indonesia, kepercayaan terhadap media mainstream masih cukup tinggi. Kebanyakan media tersebut dikuasai segelintir konglomerat dan koorporat, bahkan di antaranya ada yang punya partai politik. Konten pemberitaan media tersebut memengaruhi legitimasi media di mata publik.

Selain itu, krisis ini juga terjadi akibat hoax dan hate speech yang mudah beredar. Di era ini sulit memverifikasi berita. Para wartawan dituntut mengejar deadline. “Yang mengecek ulang berita sangat sedikit. Wartawan dalam sehari bisa membuat 6 sampai 8 berita,” ujarnya. Ditambah lagi, maraknya portal abal-abal yang memiliki banyak pembaca.

Iklan

“Kami lacak, hasilnya, aktor hate speech yang paling konsisten ialah akun akun yang mendukung partai politik atau aktor politik tertentu,” tuturnya. Menurut Savic, apabila krisis ini terjadi terus, polarisasi akan semakin kuat.

Kuskridho Ambardi menyatakan bahwa demokrasi sedang dipertaruhkan. Di 2019 nanti, perpolitikan ditentukan hoax.

“Demokrasi kita itu krisis,” tutur Arie Sujito. Menurutnya, ini ditandai oleh kesesatan dalam memanfaatkan kebebasan. Kesesatan tersebut ditandai oleh hilangnya realitas akibat tafsiran yang beragam. Lalu, tak semua tafsiran ini benar dan justru berujung hoax.

Hoax itu merupakan representasi perpolitikan di Indonesia yakni pendangkalan demokrasi dan nalar kritis. Keduanya berkaitan dengan kepentingan. “Ketika kepentingan menghancurkan nalar kritis, maka demokrasi hanya memfasilitasi pertarungan kepalsuan,” ujarnya.

Menurut Arie, hoax harus dilawan. Mula-mula dengan mengedukasi masyarakat kalangan bawah. Sebab, produsen hoax ialah kelas menengah.

Kristiadi menganggap bahwa hoax merupakan virus yang mematikan. Tidak hanya membunuh manusia, tetapi membunuh nilai-nilai kemanusiaan. “Karena hoax bisa menyebarkan kebencian,” ujarnya. Bahkan, mempertajam perbedaan kodrati, seperti soal keyakinan.

Penulis: Lutfia Harizuandini
Editor: Uly Mega Septiani