Ketika Jurnalisme Dibungkam, Sastra Harus Bicara. Begitulah bunyi kumpulan esai termasyhur dari Seno Gumira Ajidarma (SGA). Buku tersebut relevan dengan era perjalanan karier seorang jurnalis sekaligus sastrawan tersebut. Pemerintahan Soeharto yang terlampaui sensitif, memang rajin membredel pemberitaan.
Banyak karya fiksi yang dikeluarkan oleh Rektor Institut Kesenian Jakarta ini. Saksi Mata, Sepotong Senja untuk Pacarku, Dilarang Menyanyi di Kamar Mandi, Penembak Misterius, dan lainnya. Temanya dominan seputar orde baru yang mencekam.
Salah satu karyanya yang unik ialah novel bertajuk Jazz, Parfum dan Insiden. Novel ini sempat dikeluarkan kembali oleh Bentang Pustaka menjadi Trilogi Insiden. Berisi kumpulan cerpen Saksi Mata, novel Jazz, Parfum dan Insiden, serta kumpulan esai Ketika Jurnalisme Dibungkam Sastra Harus Bicara. Novel yang pertama kali diterbitkan pada 1997 ini dibagi menjadi tiga tema yang dikisahkan bergantian.
Bagian pertama novel ini menyuguhkan pembaca bagaimana menikmati musik Jazz. Alih-alih mencitrakan Jazz sebagai musik kalangan atas, tokoh Aku lebih banyak mengangkat musisi Jazz dan sedikit kisah hidupnya. Kedua mengenai perempuan dan ragam parfumnya. Dari sini kita mengetahui bahwa SGA cukup memberi perhatian pada seniman parfum. Dua bagian tersebut berhasil mengentalkan sisi metropolitan yang akrab dengan SGA. Sebut saja kumpulan esainya, Tiada Ojek di Paris.
Pada bagian ketiga, musik jazz dan wewangian parfum seolah tertelan oleh bau amis darah yang tanpa tendeng aling-aling digambarkan SGA. Tak ada istilah lain yang digunakan untuk menyebut kuping yang dipotong atau kepala yang dipukul hingga bocor.
Tokoh Aku merupakan seorang pegiat pers yang tengah mendalami laporan-laporan mengenai peristiwa Dili, Timor Timur (sekarang Timor Leste). Cerita ini merupakan rekaan dari tragedi yang terjadi pada 12 November 1991. Saat itu merupakan hari penguburan dari seorang mahasiswa yang ditembak mati oleh militer Indonesia. Ratusan orang berkumpul di pemakaman. Beberapa spanduk dan bendera kebebasan mewarnai.
Kemudian begitu memasuki prosesi, tentara Indonesia secara membabi buta menembak dengan jarak yang terbilang cukup dekat. Banyak orang yang kemudian berlari menyelamatkan diri. Ada pula yang masuk ke dalam kuburan. Usai penembakan, tentara sengaja berkeliling. Saat menemukan yang bernapas, mereka memukulnya hingga tewas.
Kesaksian atas insiden yang dibaca oleh tokoh Aku datang dari berbagai kalangan. Dari mereka sesama mahasiswa, sanak saudara, atau jemaat gereja.
Meski SGA sedang menyajikan fiksi, novel yang diterbitkan ulang pada Maret 2017 ini tetap menyajikan ciri khas jurnalistik yaitu keberimbangan. Sudah tentu perspektif korban yang mendapat ruang lebih banyak. Selain itu, pejabat daerah juga diberinya tempat. Hingga petinggi militer tak luput memberi klarifikasinya yang membenarkan tindakan anak buah mereka.
Apabila dalam berita kita mengenal nilai berupa timeliness alias aktual, maka Jazz, Parfum dan Insiden dekat akan hal tersebut. Walaupun tokoh Aku tidak menyebut dengan rinci di mana pembantaian tersebut terjadi. Bagi SGA, sebuah fakta menjadi karya fiksi tak lebih dari sekadar perubahan bingkai atau format semata. Sedangkan fakta dalam karya fiksi dibiarkannya menjadi sebuah temuan bagi pembaca.
Sejak awal halaman, SGA sudah menyajikan sentilan dengan menulis, disebut fiksi boleh dianggap fakta terserah. SGA sendiri dalam kumpulan esainya menolak menyebut diri sebagai penulis fiksi atau bahkan sastrawan. Ia lebih suka dibilang sebagai penulis dengan akal bulus guna mengungkapkan fakta.
Membaca kembali karya-karya pra-reformasi cukup memberi kita pengalaman tentang kekejaman dan keserakahan suatu rezim. Buku yang tadinya banyak dilarang, kini sudah menjamur bahkan berhasil menjadi etalase utama di sebuah toko buku terbesar.
Dalam dunia pers sendiri kita sudah bisa merasakan kebebasan yang berbeda dengan era sebelumnya. Hanya saja bicara pers hari ini, kita tak bisa melepaskan diri dari industri dan figur di baliknya. Ada penanaman ‘akal bulus’ yang cenderung nakal dan berdampak amat berbeda dari SGA. Sebut saja Harry Tanoesoedibjo dengan MNC dan Mars Perindo-nya yang mendominasi bahkan sampai ke anak-anak.
Bila di orde baru, akal bulus pers ialah menyiasati bagaimana fakta sampai ke masyarakat, maka orde reformasi akal bulus menjadi bagaimana menutupi kepentingan pribadi atas nama rakyat. dan sayangnya, hal tersebut menjangkiti pers kita.
Penulis: Latifah
Editor: Muhammad Rizky Suryana