Petani Desa Pundenrejo, Kecamatan Tayu, Kabupaten Pati masih berjuang untuk merebut kembali tanah leluhur yang dirampas korporasi. Konflik ini sudah berlangsung selama puluhan tahun tanpa perhatian serius pemerintah..
Tenda beratap terpal biru terlihat berdiri kokoh di depan Kantor Tanah (Kantah) Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Kabupaten Pati, Jawa Tengah pada Jum’at (21/02). Salah satu penghuni, Suryanto (79) tengah berdiskusi dengan kawannya terkait rencana ke depan dalam memperjuangkan hak tanah mereka.
“Yang paling penting itu jaga komunikasi, jangan asal pergi tanpa mengabari satu sama lain,” ujar pria yang akrab dipanggil Mbah Suri itu.
Hari ini (21/02) adalah hari ke-12 Mbah Suri dan para petani desa Pundenrejo yang tergabung dalam Gerakan Masyarakat Pundenrejo (Germapun) mendirikan tenda, mereka menyebutnya tenda perjuangan. Tenda setinggi dua meter tersebut didirikan guna mendesak pihak ATR/BPN agar segera menyelesaikan konflik agraria yang petani hadapi. Diketahui, konflik agraria tersebut imbas perampasan lahan yang dilakukan perusahaan tebu PT. Laju Perdana Indah (PT. LPI).

Awalnya, tenda didirikan tepat di halaman kantor dengan diiringi aksi teatrikal para petani pada 10 Februari. Dua hari setelahnya, tenda mereka tiba-tiba dibongkar paksa oleh kepolisian. Petani yang merasa tuntutannya belum terpenuhi, lantas mendirikan ulang tenda di luar gerbang kantor ATR/BPN Pati. Meski di tengah keterbatasan air dan listrik, hingga kini Germapun tetap teguh bertahan.
Salah satu yang bertahan adalah Mbah Suri. Meskipun perawakan Mbah Suri terlihat kurus dan ringkih karena lanjut usia, namun semangat yang dikobarkan bisa dirasakan orang-orang sekitarnya. Hampir setiap hari dirinya selalu berada di tenda perjuangan, dan pulang sesekali guna memberi makan ternak kambingnya. Padahal jarak dari kantor BPN Pati dengan rumahnya sejauh + 40 KM.
“Saya di sini hanya memperjuangkan tanah milik nenek moyang kami, jangan sampai dikuasai asing” tegasnya saat ditemui Tim Didaktika pada (21/02).
Sebagai seseorang yang ditokohkan, Mbah Suri merasa memiliki beban moral untuk membela petani di desanya. Ia tidak bisa diam saja atas perampasan lahan yang selama ini dilakukan oleh negara dan korporasi.
Terlebih, Mbah Suri melihat sendiri bagaimana kondisi para petani di desanya yang hidup kekurangan karena tidak punya lahan garapan. Bahkan, kata Mbah Suri, beberapa petani tidak memiliki lahan untuk tempat tinggal.
“Kalau memang BPN belum mengembalikan lahan itu kepada masyarakat, maka kami siap berdiam di sini bahkan sebulan lamanya,” ujar pria kelahiran 1946 tersebut.
Baca juga: Proyek Geotermal Ancam Kearifan Lokal, Masyarakat Gunung Gede Melawan
Babad Kasus Masyarakat Pundenrejo
Sejarah panjang melandasi tekad perjuangan petani Pundenrejo dalam merebut kembali hak tanah leluhurnya. Hal tersebut disampaikan oleh Ketua Germapun, Sarmin (45) saat ditemui Tim Didaktika pada Jumat (21/02). Sarmin mengaku mendapat banyak cerita bersejarah dari para orang tua perihal konflik agraria yang selama ini mereka hadapi.
Sarmin mengawali cerita, jauh sebelum kolonial belanda datang petani Pundenrejo sudah turun-temurun bertani di lahan seluas 7,3 hektar tersebut. Barulah ketika tahun 1879, perusahaan gula Belanda, NV Pakkies Redjo Agung merampas lahan. Sejak saat itu, palawija milik petani tergusur dan mulai digantikan tanaman tebu.
“Kalau diminta mana surat legalitas tanahnya, ya emang kita ga punya. Belanda kan dulu rampas dan jajah, yang ngga mau pergi dari lahan nanti ditembak mati,”ujar Sarmin
Sarmin melanjutkan, setelah kemerdekaan Indonesia tahun 1945, seiring dengan perginya bangsa kolonial, perusahaan Belanda menelantarkan lahan tersebut. Mengetahui hal ini, petani Pundenrejo pun menggarap kembali lahan yang mereka miliki.
Namun tak berselang lama, tahun 1958 pemerintah Indonesia mengeluarkan Undang-undang (UU) Nomor 86 Tahun 1958 tentang Nasionalisasi Aset Perusahaan-Perusahaan Milik Belanda. Hal ini berimbas pada beralihnya status tanah di desa Pundenrejo menjadi tanah negara bebas. Kendati demikian para petani tetap berkebun seperti biasa.
Hingga akhirnya situasi politik mengubah segalanya. Tahun 1965, bersamaan dengan tragedi G 30 S dan dibasminya para anggota Partai Komunis Indonesia (PKI), petani Pundenrejo diusir dari lahan garapan oleh satuan militer dari rumpun sari Kodam Diponegoro. Siapa yang masih menggarap lahan, ujar Sarmin, akan diancam dan dianggap sebagai simpatisan PKI.
“Siapa yang nggak takut, diancam di bawah moncong senjata seperti itu,” jelas Sarmin sembari makan ceriping pisang, salah satu makanan khas daerah Pati.
Sejak saat itu warga tidak pernah lagi menyentuh lahan yang menjadi sumber penghidupan mereka. Hingga di tahun 1973, secara tiba-tiba muncul perizinan Hak Guna Bangunan (HGB) milik PT. Bappipundip, perusahaan di bawah naungan militer Kodam VII Diponegoro (saat ini Kodam IV Diponegoro). HGB ini berlangsung selama dua periode, yakni dari tahun 1973 – 1994 dan 1994 – 2024.
Dalam sertifikat yang tertera, HGB PT. Bappipundip diperuntukan untuk komplek perkantoran dan emplasemen. Hal itu sesuai dengan pasal 86 Peraturan Menteri ATR/BPN RI No 18/2021 yang menyebutkan bahwa HGB hanya bisa dipakai untuk kegiatan non-pertanian. Namun dalam implementasinya, dari rentang waktu 1973 hingga 1999 perusahaan PT. Bappipundip malah menanam perkebunan tebu.
Baca juga: Warga Protes Proyek Geothermal Berjalan Tidak Transparan
Selanjutnya pada tahun 1999 PT. Bappipundip mengalami kebangkrutan dan lahan pun ditelantarkan. Setahun setelahnya, petani Pundenrejo kembali bertani di lahan yang sempat dirampas paksa tersebut. Namun kali ini berbeda, para petani juga mulai berjuang melalui ranah hukum.
Pada tahun yang sama, akhirnya disepakati pembentukan Germapun sebagai wadah perjuangan para petani di Pundenrejo. Germapun banyak melakukan aksi demonstrasi hingga audiensi ke beberapa lembaga pemerintahan, baik tingkat lokal maupun nasional.
“Jadi kita memang berjuang nggak cuma sekarang ini, dari tahun 2000-an kita coba berbagai upaya termasuk aksi dan audiensi ke lembaga pemerintah,” ujar Sarmin.

Di tengah upaya tersebut, pada tahun 2001 ternyata izin HGB dilanjutkan oleh PT. LPI, sebuah perusahaan gula yang terafiliasi langsung dengan Indofood. Sama halnya dengan perusahaan sebelumnya, PT. LPI tidak pernah menggunakan lahan sesuai dengan ketentuan UU. Bahkan perusahaan cenderung menelantarkan. Maka masyarakat pun tetap melakukan penggarapan lahan karena percaya bahwa hak sesungguhnya dari lahan itu adalah milik leluhur mereka.
Sembari itu petani tetap berjuang menuntut pihak ATR/BPN untuk segera mencabut status HGB di tanah desa. Bahkan pada tanggal 7 Desember 2015, Kepala Kanwil Prov. Jateng ATR/BPN RI melalui surat bernomor 1990.1/16-33.500/XII/2015 sudah meminta kepada Kementerian ATR/BPN untuk mengeluarkan tanah HGB PT LPI dari database tanah terindikasi terlantar. Namun dokumen itu tidak kunjung mendapat balasan dari pemerintah pusat.
Hingga akhirnya pada tahun 2020, PT. LPI bersama pihak aparat kepolisian dan TNI mengusir dan merusak ladang milik warga Pundenrejo. Secara sekejap palawija milik warga diubah menjadi perkebunan tebu. Petani yang masih menanam terkena intimidasi dan ancaman dari preman yang disewa perusahaan.
“Dari tahun 1999 sampai 2020 masyarakat menanam palawija dengan tenang di sana, hingga ada perampasan itu kami ketakutan,” ungkap Sarmin.

Namun alih-alih pasrah, Germapun justru semakin gencar melakukan audiensi dan tuntutan kepada pemerintah. Bahkan beberapa perwakilan petani sempat bertemu dengan Raja Juli Antoni selaku Wakil Menteri ATR/BPN RI pada (08/11/2022). Namun berbagai upaya warga tidak pernah ditanggapi serius oleh pemerintah.
Hingga 27 September 2024, masa perizinan HGB milik PT. LPI habis. Maka tepat keesokan harinya pada tanggal 28 September, para petani pun segera berbondong-bondong melakukan reklaiming atau pengambil alihan lahan. Masyarakat melakukan aksi ‘nandur’ (menanam) berbagai palawija secara serentak.
Meski perizinan sudah usai, PT. LPI tetap saja mengintimidasi warga. Hal itu dilakukan dengan upaya pengrusakan dan pencabutan tanaman milik petani oleh segerombol karyawan dan preman perusahaan. Tidak diam, petani pun melakukan perlawanan balik. Maka, di tanggal 28-30 September 2024 terjadi bentrok antara petani Pundenrejo melawan PT. LPI.
“Ketika tanggal 28 kami reklaiming, itu karyawan dan preman perusahaan yang jumlahnya ratusan berdatangan. Jadi terjadi bentrok besar selama tiga hari antara petani dengan PT. LPI,” tutur Sarmin.
Bentrok akhirnya redam ketika pemerintah desa Pundenrejo turun tangan melerai. Tak lama kemudian pada 04 Oktober 2024, kata Sarmin, ia menerima surat audiensi di balai Kabupaten Pati. Hasil dari audiensi tersebut adalah ditetapkannya lahan warga sebagai tanah status quo, yang berarti kedua belah pihak dilarang beraktivitas di sana. Namun menurut kesaksian warga, PT. LPI masih sering menyambangi tanaman tebu milik mereka.
Juga diketahui, PT. LPI sudah mengajukan perubahan sertifikat HGB menjadi Hak Pakai sejak tahun 2021. Petani yang geram mengetahui hal tersebut segera melakukan aksi langsung di Kantah ATR/BPN Kab. Pati, guna mendesak pihak ATR/BPN untuk menolak permohonan tersebut.
Aksi tersebut berupa demonstrasi, mimbar bebas, hingga pendirian tenda perjuangan (10/02). Aksi dilakukan secara terus-menerus hingga 12 Februari 2025, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Pati mengundang pihak ATR/BPN dan Germapun guna melakukan audiensi.
Hasil dari pertemuan tersebut tercatat melalui berita acara DPRD Pati dengan Nomor 500.6.1/425, yang menyatakan bahwa BPN Pati telah mengembalikan berkas permohonan dan mencoret PT. LPI dari daftar pengajuan administrasi. Kabar ini memberi sedikit angin segar bagi Sarmin dan petani Germapun lainnya.

“Memang kemarin (12/02) pengajuan izin dari PT. LPI sudah ditolak, tapi perjuangan kita belum selesai,” ucap Sarmin sembari bernafas lega.
Setelah pencoretan surat permohonan Hak Pakai PT. LPI, Sarmin bersama perwakilan petani lain pada Selasa (18/02), segera mengirim surat permohonan penetapan lahan garapan menjadi Tanah Objek Reforma Agraria (TORA) kepada pihak BPN. Hingga kini petani Pundenrejo masih menunggu surat rekomendasi yang diminta kepada BPN.
Sarmin sangat berharap pemerintah segera mengembalikan lahan kepada masyarakat. Menurutnya, masa depan perekonomian petani sangat bergantung pada lahan garapan tersebut. Terlebih, singgung Sarmin, pemerintahan prabowo kini menjadikan swasembada pangan sebagai program prioritas. Masyarakat Pundenrejo pun ingin turut berpartisipasi dalam mewujudkan cita-cita tersebut.
“Maka kami meminta pemerintah, dari kabupaten sampai pusat untuk memikirkan rakyat kecil demi terciptanya ketahanan dan kedaulatan ekonomi pangan, sampai anak-cucu kami nanti,” tutup Sarmin.
Kewajiban Negara
Sementara itu Asisten Pengabdi Bantuan Hukum LBH Semarang, Abdul Kholik mengatakan bahwa dalam penyelesaian konflik agraria di Pundenrejo pemerintah banyak mengabaikan amanat konstitusi. Dirinya menyebut bahwa dalam pasal 33 ayat 3 undang-undang dasar (UUD) sudah tertera jelas bahwa bumi dan kekayaan alam dikuasai oleh negara dan digunakan untuk kesejahteraan rakyat. Ditambah lagi, kata abdul, petani Pundenrejo pun memiliki sejarah panjang dalam penguasaan lahan.
“Dua faktor tersebut tidak pernah dijadikan pertimbangan negara dalam penyelesaian konflik agraria di desa Pundenrejo,” ungkap Abdul.
Selain itu, Abdul juga menyoroti ketimpangan kepemilikan lahan yang besar antara pihak PT. LPI dengan petani Pundenrejo. PT. LPI sebagai perusahaan besar yang terafiliasi dengan Salim Group, ungkap Abdul, memiliki perkebunan lebih dari 200 ribu hektare yang tersebar di seluruh Indonesia.
Sedang petani Pundenrejo tidak memiliki lahan sama sekali. Hal ini menurutnya bertentangan dengan semangat UU Pokok Agraria yang mengamanatkan penataan kekuasaan tanah.
Abdul menambahkan, kendati permohonan Hak Pakai yang diajukan PT. LPI sudah ditolak BPN, namun kewajiban pemerintah juga adalah memastikan bahwa tanah itu dikembalikan kepada rakyat. Upaya tersebut, jika menilik Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 86 Tahun 2018 tentang Reforma Agraria, bisa dilakukan dengan menetapkan lahan warga menjadi Tanah Objek Reforma Agraria (TORA).
Abdul juga menekankan, mesti ada pembentukan Gugus Tugas Reforma Agraria (GTRA) tingkat Kabupaten untuk menetapkan TORA. Menurutnya, GTRA bisa jadi forum penyelesaian konflik agraria. Sebab, GTRA beranggotakan BPN dan masyarakat yang berkonflik.
“Status lahan TORA kan sifatnya dimiliki bersama, jadi ini sebagai bentuk usaha petani guna mencapai kedaulatan dan kemandirian pangan, bukan pemenuhan kebutuhan pribadi,” pungkasnya.
Penulis/Reporter: Zidnan Nuuro
Editor: Ezra Hanif